Setelah kepergian istrinya, Hanan Ramahendra menjadi pribadi yang tertutup dan dingin. Hidupnya hanya tentang dirinya dan putrinya. Hingga suatu ketika terusik dengan keberadaan seorang Naima Nahla, pribadi yang begitu sederhana, mampu menggetarkan hatinya hingga kembali terucap kata cinta.
"Berapa uang yang harus aku bayar untuk mengganti waktumu?" Hanan Ramahendra.
"Maaf, ini bukan soal uang, tapi bentuk tanggung jawab, saya tidak bisa." Naima Nahla
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asri Faris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
"Astaghfirullah ... kenapa kamu nggak paham Mas," batin Nahla sembari merintih sakit berjalan ke kamar Icha. Meringkuk di sebelah putrinya seraya mencoba memejam dan cepat bertemu mimpi agar rasa nyeri itu hilang.
Kenapa Mas Hanan seakan tidak mengerti, atau pria itu tidak paham kalau wanita itu kadang mengalami nyeri begini. Nahla mengolesi minyak kayu putih untuk mengolesi perutnya agar sedikit menghangatkan dan berharap berangsur menghilang.
Hingga bertemu pagi, Nahla tertidur di kamar Icha dan mendapati waktu sudah lewat subuh. Perempuan itu beranjak, turun dari ranjang. Lebih dulu membenahi selimut Icha agar terasa nyaman.
Saat Nahla kembali ke kamar, Mas Hanan masih tertidur lelap. Ada rasa niatan ingin membangunkannya karena sudah subuh. Namun, mendadak ia bingung sendiri. Membiarkan saja takut berdosa. Lantas pilihan membangun setelah Nahla mandi pun menjadi pilihannya.
"Mas, bangun sudah lewat subuh!" seru Nahla mengguncang bahunya pelan.
"Olive ... bentar sayang!" celetuk Hanan begitu saja.
Deg
Hati perempuan itu mencelos, Olive? Bukankah Olive nama mendiang istrinya. Apakah pria itu sadar dengan apa yang diucapkan? Atau hanya mimpi sebagai bunga tidur saja. Tiba-tiba hati Nahla bertalu nyeri. Ia tak ingin berprasangka buruk, mencoba bersabar mungkin suaminya mimpi dan terbawa sampai mengigau.
"Bukan Mas, ini aku Nahla. Sudah subuh bangun! Aku siapin ganti dan airnya ya?" kata Nahla dengan perasaan tidak nyaman dan sakit. Dia hanya berkamuflase agar terlihat baik-baik saja. Walau sebenarnya hatinya berdenyut lara.
"Eh, maaf Dek, iya aku bangun!" Hanan tergeragap seakan terciduk tengah melakukan suatu kesalahan. Langsung melesat ke kamar mandi. Sementara Nahla sendiri, mulai menghubung-hubungkan prasangkanya waktu itu dengan sikap Hanan akhir-akhir ini dan pagi ini benar-benar menyebut namanya.
"Astaghfirullah ... kenapa kamu gini Mas, aku tidak ingin berburuk sangka terhadapmu, tetapi sikapmu kadang membuat aku bingung," batin Nahla mulai ragu.
Perempuan itu keluar dari kamar setelah menyiapkan pakaian ganti suaminya. Seperti biasa menyiapkan menu sarapan. Baru membangunkan Icha. Mengurusi semua keperluan Icha pagi ini lalu bersama-sama keluar menuju meja makan.
"Pagi sayang!" sapa Hanan menyambut kedatangan putrinya.
"Pagi Pa! Kok cuma aku yang disapa mama nggak?" celetuk Icha membuat Hanan tersenyum.
"Mama juga dong, pagi Ma!" sapa Hanan lalu mendekat menyambar pipi kanannya dengan senyuman lembut. Namun, hatinya yang tengah bimbang tak merespon apa pun. Jangankan rona merah jambu, hatinya malah kesal atas sikapnya yang plinplan dan membuat orang bingung.
"Pagi," jawabnya datar. Senyum tipis terpaksa Nahla hadiahkan dibalik rasa entah yang pagi ini mulai mendera.
Nahla makan dengan cepat, fokus pada isi piringnya. Beranjak lebih dulu mengemas ke belakang setelah selesai.
"Icha habisin sarapannya ya, mama berangkat dulu, hati-hati nanti sama papa!"
"Yah ... nggak bareng lagi Ma," keluh Icha terlihat kecewa.
"Kan bareng sama papa, nanti mama ngekor mobil Icha, gimana?"
Gadis kecil itu mrengut, membuat Nahla makin bingung saja sedang Hanan malah asyik menyuap sarapannya begitu saja.
"Aku mau bareng sama Mama aja naik motor," ucap Icha antusias sekali.
"Sayang, berangkatnya sama papa, nanti siang kan setelah pulang ada mama juga di rumah."
Icha kembali mrengut, gadis penurut itu tak berani menyela banyak jika ayahnya sudah bertitah membuat keputusan. Sebenarnya kasihan juga sama Icha, tetapi apalah daya yang tidak begitu didengar omongannya.
"Mas, apa nggak pa-pa berangkat bareng aku, dari pada mau berangkat nggak semangat gitu," pinta Nahla lembut.
"Tidak usah, biar bareng aku saja. Icha itu sebenarnya butuh banyak waktu denganmu, apa tidak sebaiknya kamu resign saja dari sekolahan. Gajiku lebih dari cukup tanpa kamu harus bekerja."
Lagi-lagi Hanan berkata yang membuatnya jelas shock. Apa pria itu tidak tahu perjuangannya hingga bisa menjadi pendidik. Walau terlihat simple, setiap hari bertugas mencerdaskan anak bangsa. Nahla tidak mungkin melepas begitu saja, toh dia masih bisa mengurusi rumah dan juga keluarga walau tetap bekerja.
Tersinggung? Jelas iya. Kenapa dengan mudahnya berkata seolah itu bukan perkara yang sulit untuk istrinya sendiri. Memilih diam tidak menanggapi lagi.
"Bagaimana Dek?" tandas pria itu jelas meminta kepastian.
"Aku pikir-pikir dulu Mas," jawab Nahla jelas tidak setuju. Hatinya makin kesal saja, tetapi ia tahan-tahan sebisanya.
"Nggak pa-pa sekarang berangkat bareng papa, Icha kan nanti bisa bareng mama setelah pulang sekolah. Mama langsung pulang ke rumah. Sini peluk sama cium dulu." Nahla melentangkan tangannya. Gadis itu berhambur dalam pelukan manjanya.
Icha tak lagi merengek manja setelah ditenangkan, terbukti gadis kecil itu sangat penurut dengan ibunya. Mau berangkat bersama ayahnya tanpa drama.
"Dari sekolah langsung pulang ya?" pesan Hanan sebelum akhirnya masuk ke mobilnya. Nahla menggiring mobil mereka di depannya. Perempuan itu mengklakson saat hendak menyalip di jalur yang berbeda.
Sampai di sekolah siap menepikan sejenak masalahnya di rumah. Fokus mendidik putra kutri bangsa yang sudah mempercayakan tunas bangsa sebagai tempatnya belajar.
Sedikit terhibur, bahkan sejenak lupa setelah bersibuk ria seharian. Bergelut dengan tema angka yang berjejer sudah menjadi makanan kesehariannya.
"Ada pertanyaan? Atau ada yang belum jelas!" ucap Nahla menginterupsi murid-muridnya.
Hening beberapa saat, semua nampak menatap ke depan. Ada yang mulai mikir cara mengerjakan.
"Kalau sudah paham kerjakan dari angka 1-5 dulu sisanya bisa diselesaikan di rumah di buku PR."
Usai mengajar sesi terakhir, Nahla belum juga berminat untuk pulang. Padahal kemarin ia sangat ingin cepat pulang, tetapi kenapa sekarang serasa jenuh dan tak betah di rumah itu kalau bukan sadar tanggung jawabnya terhadap status dan juga kasihan dengan Icha.
"Pulang Bu!" seru Pak Agam pamit lebih dulu.
"Iya Pak, menyusul!" sahut Nahla mengangguk dengan senyuman.
Ia memang pandai menyimpan semua risalah hatinya. Jujur Nahla malu kalau pernikahannya yang baru seumur jagung sudah harus pupus begitu saja.
Nahla pulang dengan perasaan tak seminar biasanya. Sampai rumah, melakukan kegiatan seperti biasanya. Sibuk bersama Icha dan pekerjaan ibu rumah tangga lainnya.
"Icha, mama boleh tanya nggak?" tanya Nahla mulai sadar akan sikap dingin suaminya selama ini.
"Iya Ma, boleh, tanya saja," jawab Icha tak masalah.
"Icha punya foto mamah Icha kandung nggak? Maksud mama, Mama Nahla pengen tahu, pasti cantik ya kaya Icha."
"Banyak, di kamar papa. Disimpen rapih, Icha nggak boleh mainin atau ngebukanya."
"Owh ... emangnya disimpan di mana? Mama boleh kenalan dong, pengen tahu siapa yang udah melahirkan gadis kecil secantik Icha."
"Jangan, nanti kalau dibuka dimarahin papa," tolak gadis kecil itu jujur sekali.
"Emangnya ada di mana? Simpan di tempat jauh ya?"
"Bukan Ma, sini Icha tunjukin, tapi jangan bilang-bilang sama papa. Nanti papa marah Icha takut."
"Oke sayang," ujar Nahla terpaksa kepo demi mencari tahu perasaan suaminya yang sesungguhnya. Karena Nahla mulai merasa Mas Hanan dekat dan lembut hanya saat butuh saja, selebihnya begitu dingin dan jutek. Seakan mereka bukan layaknya partner suami istri. Apakah selama ini pria itu menikahinya hanya untuk sebagai pengasuh? Atau bahkan sebagai tempat syahwatnya saja yang perlu disalurkan.
"Ya Tuhan ... kenapa sakit ya," batin Nahla menjerit.