Dua tahun menjadi istri dari pria cuek nan dingin yang tak pernah mencintaiku, aku masih bersabar dalam pernikahan ini dan berharap suatu hari nanti akan ada keajaiban untuk hubungan kami.
Tetapi, batas kesabaranku akhirnya habis, saat dia kembali dari luar kota dengan membawa seorang wanita yang ia kenalkan padaku sebagai istri barunya.
Hatiku sakit saat tahu dia menikah lagi tanpa izin dariku, haruskah dia melakukan hal seperti ini untuk menyakiti aku?
Jujur, aku tak mau di madu, meskipun awalnya aku meyakinkan diriku untuk menerima wanita itu di rumah kami. Aku memilih pergi, meminta perpisahan darinya karena itulah yang ia harapkan dariku selama ini.
Aku melangkah pergi meninggalkan rumah itu dengan hati yang hancur berkeping-keping. Kupikir semua sudah berakhir begitu aku pergi darinya, namun sesuatu yang tak terduga justru terjadi. Ia tak mau bercerai, dan memintaku untuk kembali padanya.
Ada apa dengannya?
Mengapa ia tiba-tiba memintaku mempertahankan rumah tangga kami?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lisdaa Rustandy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku pergi, Mas...
[Esoknya]
Naysila membawa nampan dengan semangkok bubur dan segelas air putih, ia berjalan ke arah kamar Alden. Sejak pagi, Naysila sudah sibuk mengerjakan pekerjaan rumah dan menyiapkan keperluan perawatan suaminya yang sakit. Semalam ia kurang tidur, Alden yang demam tinggi harus terus ia kompres sampai panasnya benar-benar turun.
Naysila membuka pintu kamar Alden. Di sana Serena sedang duduk sambil menyesap sebatang rokok di dekat jendela. Begitu melihat Naysila masuk, wanita buru-buru mematikan rokoknya dan mengusir asap rokok dengan tangannya.
"Nay," ucapnya gugup.
Serena terkejut saat tahu Naysila masuk ke kamar. Ia yang pecandu rokok tentu tak mau hal itu diketahui oleh Naysila, karena ia tak mau terlihat lebih buruk dibandingkan Naysila.
"Aku... aku cuma merokok karena lagi gabut aja," ucap Serena tanpa menunggu Naysila bertanya, terlihat sekali Serena sangat gugup.
Naysila tidak merespon, ia bahkan tidak bertanya sama sekali pada Serena. Naysila langsung saja masuk ke dalam ruang kerja Alden di mana pria itu berada.
Alden sudah bangun, namun masih terlihat lemah di tempat tidur. Naysila mendekat dan berkata, "Makan dulu, Mas, setelah itu minum obat."
Alden berusaha bangun, Naysila membantunya hingga Alden duduk dengan bersandar pada tumpukan bantal. Naysila mulai menyendok bubur yang masih panas itu, meniupnya hingga hangat dan menyuapi Alden perlahan.
Alden tak menolak saat di suapi, pria itu tampak pasrah dengan apa yang Naysila lakukan padanya. Suasana di ruangan itu hening, baik Alden maupun Naysila sama-sama diam, hanya terdengar suara sendok yang beradu pelan dengan mangkok yang Naysila pegang.
Setelah beberapa suapan, Alden menolak suapan dari Naysila. "Aku kenyang."
"Kamu baru makan beberapa sendok. Kamu harus menghabiskan buburnya biar kamu cepat sembuh, Mas," kata Naysila.
Alden menggelengkan kepala, "Itu sudah cukup, aku nggak mau makan lebih banyak lagi. Aku merasa mual setiap kali memakan bubur terlalu banyak."
Naysila menghela napas, ia menyimpan mangkok buburnya di atas nampan dan memberikan Alden minum.
"Sekarang minum obatnya, biar demam kamu gak balik lagi," kata Naysila, memasukkan sebutir obat ke mulut suaminya yang kemudian diikuti dengan tegukan air.
Setelah itu, Naysila beranjak untuk menyimpan mangkok dan gelas yang kosong ke dapur. Tapi, tiba-tiba Alden menahannya dengan memegang tangan Naysila. Naysila terkejut, ia berbalik dan melihat Alden menggenggam tangannya dengan tatapan sayu.
"Tolong kembali lagi... Aku butuh teman," pinta Alden dengan suara parau.
"Mas, tugasku sudah selesai. Kamu bisa minta Serena untuk menemani kamu, biar kalian juga lebih nyambung. Aku akan kembali nanti siang, untuk memberikan kamu makan dan obat. Aku gak bisa mengandalkan Serena untuk hal itu, dia sama sekali gak bisa membuat bubur," Naysila melepaskan tangan Alden perlahan, lalu pergi dari hadapan suaminya tanpa menoleh lagi.
Alden menatap kepergiannya dengan perasaan yang berat. Ia ingin Naysila ada di sisinya di saat sakit. Ia tahu, hanya Naysila yang bisa di andalkan dan cekatan dalam mengurusnya. Alden berbaring kembali, matanya menatap lurus ke arah jendela ruangan.
Pintu ruangan terbuka kembali, Alden menoleh. Namun dia kecewa karena yang masuk bukanlah Naysila, melainkan Serena. Serena tersenyum padanya dan berjalan mendekat, tetapi Alden justru memalingkan muka seolah tak suka dengan kehadirannya.
"Gimana keadaan kamu sekarang?" tanya Serena yang kini duduk sisi kasur.
"Kamu gak perlu bertanya, toh kamu sudah lihat kondisiku," jawab Alden datar.
Serena mendengus, agak jengkel dengan sikap Alden yang selalu dingin padanya dibelakang Naysila. Alden sudah tak seperti di awal lagi, di hadapan Naysila pun ia seakan enggan untuk bersentuhan dengan Serena lagi.
"Sepertinya, akhir-akhir ini kamu sangat suka dekat dengan Naysila. Apa kamu mulai suka padanya?" tanya Serena lagi.
"Bukan urusanmu," jawab Alden dengan sikap dingin.
"Kenapa? Kalau kamu memang suka dia, bukankah seharusnya kamu bilang jujur dan minta agar dia tidak meninggalkanmu?" Serena seolah memancing kejujuran Alden.
Alden tak menjawab, ia hanya diam dan tidak peduli pada Serena. Alden menarik selimutnya dan berpura-pura tidur, niatnya agar Serena tak mengganggunya.
Namun, ketika mata Alden terpejam, Serena justru menggenggam tangannya dan menyandarkan kepalanya di dada Alden. Spontan Alden terkesiap dan mendorong Serena.
"Jangan coba-coba menyentuhku!" hardik Alden tanpa ragu. Ia tampak marah sekarang.
Serena terbelalak, Alden benar-benar ingin berjarak dengannya.
"Kenapa kamu kasar sekali? Kamu kan bisa bicara dengan nada lembut padaku!" ujar Serena, kecewa.
"Lembut? Untuk apa aku bersikap lembut pada wanita yang tidak tahu malu seperti kamu? Berapa kali haru aku bilang, kamu hanya boleh menyentuhku saat di hadapan Naysila. Itu artinya apa? Apa kamu gak paham?"
"Bukan aku gak paham. Tapi sikap kamu jauh berbeda dengan sebelumnya, Al. Saat pertama aku masuk ke rumah ini, kamu yang sengaja menggandeng tanganku untuk memanas-manasi Naysila supaya dia pergi, tapi sekarang? Kamu bahkan bergantung padanya dan aku tersisihkan! Itu gak adil, Al. Kenapa kamu harus memulai jika akhirnya akan seperti ini?"
Alden mengatupkan rahangnya kuat-kuat, menahan amarah dan rasa bersalah yang bercampur jadi satu. Ia tahu Serena tidak sepenuhnya salah. Tapi tetap saja, ini sudah kelewatan.
"Baik, aku minta maaf atas sikapku. Pergilah, aku ingin istirahat," ucap Alden akhirnya, mengakhiri percakapan mereka tanpa mau memperpanjang apa yang tengah mereka bahas.
Serena bangkit, tanpa berkata-kata ia pergi dari kamar itu, meninggalkan Alden yang kini perasaannya campur aduk.
Ia termenung, apa yang dijalani saat ini terasa begitu rumit. Perlahan ia merasakan penyesalan atas apa yang ia lakukan, entah itu pada Naysila maupun Serena.
Alden mungkin tak seharusnya melakukan hal bodoh, mempermainkan dua hati perempuan yang sebenarnya tak memiliki dosa padanya. Sekarang ia mulai berpikir, bagaimana mengakhirinya?
Alden terpejam di atas ranjangnya, tapi pikirannya terus berputar tanpa henti. Rasa bersalah terhadap Naysila semakin menggerogoti hatinya. Ia teringat semua perlakuan Naysila selama ini. Perhatian, kesabaran, bahkan pengorbanan kecil seperti begadang untuk merawatnya saat demam. Padahal wanita itu tak pernah menerima cinta darinya sedikit pun.
Ia menarik napas panjang. Lalu berbisik pada dirinya sendiri, "Hidupku terasa makin rumit, entah bagaimana aku mengakhiri semua ini."
*
Siang harinya, Naysila benar-benar kembali ke kamar Alden dengan semangkuk bubur dan air putih. Saat Naysila masuk, Serena tak ada di dalam kamar, entah ke mana dia pergi.
Naysila tak peduli, ia langsung saja pergi ke ruang kerja Alden dan membuka pintunya.
Kali ini, Alden sudah terlihat lebih baik, ia duduk dengan bersandar, matanya terfokus pada Naysila saat wanita itu masuk.
"Mas, waktunya makan siang dan minum obat lagi," ucap Naysila.
Wanita itu mendekat, duduk di sisi tempat tidur dan meletakkan nampan di atas meja. Naysila menempelkan punggung tangannya di dahi Alden untuk mengecek suhu panas.
"Alhamdulillah, sudah reda," ucap Naysila tampak lega saat dahi Alden hangatnya normal.
Ia kemudian menyuapi Alden dengan lembut, telaten dan penuh kasih. Alden sesekali mencuri pandang terhadap Naysila, wanita itu memang sempurna tapi ia terlambat menyadarinya.
Di sela-sela menyuapi Alden, Naysila mulai berkata, "Hari ini aku akan pulang, kondisi kamu sudah membaik. Kamu pasti bisa merawat diri kamu sendiri, atau Serena juga bisa merawat kamu. Kamu gak perlu mengantarkan aku pulang lagi, biar nanti aku bicara dengan orang tuaku kalau kamu gak bisa mengantarkan aku."
Alden tertegun dan menatap wanita itu, kemudian bertanya, "Kenapa harus sekarang? Kamu mau bikin aku jadi buruk di mata orang tua kamu?"
Naysila menggeleng. "Aku gak pernah punya niat seburuk itu, Mas. Aku akan bilang pada mereka kalau aku yang meminta (cerai) dari kamu. Dengan begitu mereka gak akan pernah memandang kamu buruk walaupun kita berpisah. Kamu gak usah khawatir, aku pastikan nama kamu tetap baik di mata orang tua kita," tutur Naysila sembari mengulas senyum simpul.
Ia kembali menyuapi Alden, namun pria itu menolaknya. "Aku kenyang."
"Baiklah, minum obatnya dan istirahat lagi," Naysila tak memaksa.
Dengan hati-hati, Naysila menyodorkan obat dan segelas air putih kepada Alden. Pria itu menurut, meminum obatnya tanpa banyak bicara. Tapi pandangannya tak lepas dari wajah Naysila. Ada sesuatu dalam sorot mata Alden yang membuat Naysila merasa aneh, seolah pria itu ingin mengatakan sesuatu, tapi tertahan.
Setelah selesai, Naysila mengambil nampan dan bersiap untuk pergi. Namun, kali ini Alden kembali menahan pergelangan tangannya, sama seperti pagi tadi. Tapi sentuhannya lebih lembut, dan tatapannya lebih dalam.
"Nay…" gumamnya, nyaris seperti bisikan. "Jangan pergi dulu."
Naysila memandangnya, ragu. "Mas, kamu butuh istirahat. Aku harus bersiap untuk pergi, aku gak mau Serena menyebutku 'menjilat ludah sendiri' lagi."
"Aku gak mau kamu pergi begitu saja," ucap Alden akhirnya. "Aku tahu aku salah, Nay. Banyak salah. Tapi jangan pergi dulu. Setidaknya… beri aku waktu untuk memperbaiki semuanya. Mungkin aku bisa berubah dan membuat kamu lebih merasa dihargai."
Naysila menghela napas, berusaha menahan perasaannya yang mulai menghangat. "Mas... ini bukan tentang siapa yang salah. Aku lelah bertahan sendirian dalam pernikahan ini. Kita sama-sama terluka. Sudah terlalu lama kita bersama, sekarang sudah waktunya kita akhiri dan mencari kebahagiaan masing-masing. Itu yang kamu harapkan, bukan?"
Alden menunduk, suaranya lirih. "Tapi kamu tetap di sini waktu aku sakit... kamu masih rawat aku seperti aku berarti untuk kamu…"
"Aku hanya melakukan apa yang menurutku benar. Bukan karena aku masih mengharapkan apa-apa dari kamu, Mas," jawab Naysila dengan suara tenang, meski hatinya mulai bergetar.
"Aku gak bisa berharap apa-apa dari pria seperti kamu. Pengkhianatan yang kamu lakukan sudah cukup untuk membuatku lelah bertahan. Aku ingin pergi. Aku ingin memberikan kamu kebebasan yang selama ini kamu inginkan. Anggap saja aku mewujudkan impianmu, yaitu berpisah dariku," tambah Naysila dengan suara bergetar menahan air mata.
Alden menggenggam tangannya lebih erat. "Tapi aku berharap kamu masih mengharapkan aku…"
Naysila menatapnya lama, dan perlahan melepaskan genggaman Alden. "Jangan berharap pada orang yang sudah terlalu lama kamu abaikan. Setiap orang punya batas kesabaran untuk menunggu, termasuk aku."
Wanita itu kemudian berdiri, mengambil nampan, dan berbalik meninggalkan Alden. Kali ini, pria itu tak menahan lagi. Ia hanya bisa menatap punggung Naysila yang menjauh, membawa serta seluruh harapannya yang mulai tumbuh namun mungkin sudah terlambat.
Begitu pintu tertutup, Alden menyandarkan tubuhnya ke bantal, menatap langit-langit kamar dengan mata kosong. Hening menyelimuti ruangan, hanya terdengar suara napasnya yang berat.
Sementara itu, di dapur, Naysila berdiri sambil memegangi nampan kosong. Matanya berkaca-kaca, namun ia menahan air mata itu jatuh. Ia tahu, langkah berikutnya akan sangat berat. Tapi ia juga tahu, ia pantas untuk bahagia, meski harus tanpa Alden.
Selang beberapa menit, Naysila benar-benar pergi dari rumah itu, meninggalkan cincin kawin yang selama ini melingkar di jari manisnya, dengan sepucuk surat, di atas meja di kamarnya.
Naysila tak ingin membawa apapun yang berkaitan dengan Alden, hatinya terlalu sakit untuk mengingat apa yang berkaitan dengannya.
Naysila mengalah, tapi ia melakukannya demi kebaikan semua orang, termasuk dirinya. Ia yakin ini jalan terbaik, tak ada gunanya terus mempersatukan hati yang tak mau bersatu.
*****