Ini bukan kisah istri yang terus-terusan disakiti, tetapi kisah tentang cinta terlambat seorang suami kepada istrinya.
Ini bukan kisah suami yang kejam dan pelakor penuh intrik di luar nalar kemanusiaan, tetapi kisah dilema tiga anak manusia.
Hangga telah memiliki Nata, kekasih pujaan hati yang sangat dicintainya. Namun, keadaan membuat Hangga harus menerima Harum sebagai istri pilihan ibundanya.
Hati, cinta dan dunia Hangga hanyalah untuk Nata, meskipun telah ada Harum di sisinya. Hingga kemudian, di usia 3 minggu pernikahannya, atas izin Harum, Hangga juga menikahi Nata.
Perlakuan tidak adil Hangga pada Harum membuat Harum berpikir untuk mundur sebagai istri pertama yang tidak dicintai. Saat itulah, Hangga baru menyadari bahwa ada benih-benih cinta yang mulai tumbuh kepada Harum.
Bagaimana jadinya jika Hangga justru mencintai Harum saat ia telah memutuskan untuk mendua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yeni Eka, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
Sore ini Harum sampai rumah lebih dulu dibandingkan Hangga dan Nata. Begitu sampai rumah, ia pergi ke dapur untuk mengambil minum.
“Alhamdulillah,” ucap Harum usai menandaskan segelas air dingin sambil duduk.
Saat meletakkan gelas bekas minumnya di atas meja makan, matanya menemukan dus segi empat yang tutupnya dihiasi pita warna merah.
“Bi Jenah, ini apa?” tanya Harum pada Bi Jenah yang kebetulan melewati dapur.
“Oh iya, maaf bibi lupa bilang, Neng. Itu ada yang ngasih katanya untuk Neng Harum,” jawab Bi Jenah.
“Buat saya?” lontar Bi Jenah dengan kening mengernyit.
“Katanya begitu, Neng.”
“Dari siapa, Bi?” tanya Harum.
“Dari, engg ... duh, siapa ya?" Bi Jenah menggaruk kepalanya yang tidak gatal, berusaha untuk mengingat sesuatu.
“Dari tetangga sini?”
“Bukan, Neng. Kayaknya bukan warga kompleks sini deh. Tapi dia bilang, ini buat Neng Harum.”
“Coba dibuka, apa isinya nih.” Harum membuka tutup dus segi empat itu.
“Brownies, Bi," ucapnya sambil memandang kue yang dipotong segi empat kecil-kecil dengan aneka toping.
“Iya, Neng."
“Yang ngasih brownies ini orangnya seperti apa, Bi?”
“Laki-laki, Neng. Ganteng, kulitnya putih," terang Bi Jenah.
Dahi Harum mengernyit. Laki-laki dan ganteng? Setahu Harum, laki-laki yang ganteng itu cuma Hangga. Hati dan otak Harum sudah mendoktrin hal tersebut sejak lama.
“Kalau dari wajahnya sih kayak orang Sumatera, tapi kalau dari cara bicaranya kayak orang Jawa,” tutur Bi Jenah lagi.
Harum terdiam. Hatinya tengah menebak orang yang dimaksud Bi Jenah. Sebab baru kemarin malam, Harum bertemu lagi dengan orang yang ciri-cirinya seperti yang disebutkan Bi Jenah.
Apa laki-laki yang kemarin malam itu ya? Tapi dia kan temannya Kak Nata. Kenapa kuenya malah buat saya. Gumam Harum dalam hati.
"Bi Jenah enggak tanya namanya ya?" tanya Harum.
“Namanya kalau gak salah, Al apa Ar ....”
“Arya?”
“Nah bener, Neng. Namanya Mas Arya.”
“Oh.” Harum mangut-mangut. “Mungkin ini buat Kak Nata. Karena dia temannya Kak Nata,” ujarnya.
“Tapi katanya buat Neng Harum,” sahut Bi Jenah.
“Ya sudah, browniesnya Bibi makan saja. Dan nanti kalau Mas Hangga ngopi disuguhkan ini aja buat teman ngopi,” ujar Harum setelah terdiam sejenak.
“Siap, Neng.”
"Ya sudah, Bi. Saya mau ke kamar dulu."
“Ngapain laki-laki itu ngasih brownies segala?" Gumam Harum saat mengayun langkahnya menuju kamar.
Dan yang membuat Harum tidak habis pikir adalah adalah karena ada note di tutup dus berpita itu yang bertuliskan, “Just for U Harum.”
Kenapa buat saya? Kenapa bukan buat Kak Nata? Batin Harum bertanya-tanya.
*
Malam hari, Hangga tengah menonton televisi bersama Nata.
“Rum, sini!” panggil Nata saat Harum hendak masuk ke kamarnya. Kamar Harum memang berada dekat ruang televisi.
“Iya, Kak,” sahut Harum yang hendak membuka pintu kamar.
“Sini, nonton tivi bareng,” ajak Nata yang malam ini memakai atasan polo shirt warna hitam dan bawahan hotpants denim yang mengekspose paha dan kaki mulusnya.
Harum hendak menggelengkan kepala menolak ajakan Nata, namun Nata keburu berkata lagi. “Udah jangan nolak. Ayo nonton sini!” ajaknya lagi. “Lagian betah amat sih di kamar,” sambungnya.
Tidak enak untuk menolak ajakan Nata, perempuan berjilbab yang memakai daster kaus motif salur itu ikut duduk juga di depan televisi bersama suami dan madunya.
“Rum, kamu suka acara apa?” tanya Nata sembari tangannya memainkan remot televisi.
“Apa saja, Kak,” jawab Harum sembari menyunggingkan senyum.
“Ya udah kalau gitu nonton ini aja ya.” Nata meletakkan remote, membatalkan mengubah channel TV.
Acara yang tengah ditonton Nata dan Hangga adalah acara drama televisi tentang suara hati seorang istri. Kalau boleh jujur, Harum lebih suka menonton acara komedi. Ia kurang suka menonton drama yang sedih-sedih sebab hidupnya pun sudah dirundung pilu.
“Istrinya sakit, kok suaminya malah kawin lagi,” sewot Hangga mengomentari drama televisi yang ditontonnya.
Nata dan Harum sontak memandangi Hangga.
“Bukannya laki-laki memang begitu,” sahut Nata.
“Harusnya enggak begitu dong,” ujar Hangga.
“Terus harusnya gimana?”
“Harusnya nunggu ....”
“Nunggu istrinya mati, baru kawin lagi, gitu?” potong Nata.
“Enggak juga sih. Maksud aku, enggak perlu kawin lagi juga enggak apa-apa."
“Kamu juga kalau aku mati, pasti kawin lagi ‘kan?” tukas Nata
“Eng ....”
“Alah, laki-laki kan memang enggak ada yang setia.”
“Aku enggak termasuk laki-laki yang enggak setia itu. Aku laki-laki setia, Yang,” kata Hangga tidak terima.
Harum dan Nata kembali memandangi Hangga.
Laki-laki setia bagaimana? Kamu mengkhianati cinta aku dengan menikahi Harum. Gumam Nata.
Laki-laki setia bagaimana? Kamu bahkan menikah lagi dengan perempuan lain saat aku masih sehat bugar, Mas. Gumam Harum.
Hangga menggaruk kepalanya pura-pura gatal saat melihat kedua istrinya menatap tajam dirinya.
“Bi Jenah,” panggil Hangga pada ART-nya yang kebetulan lewat. Beruntung ada Bi Jenah, pria beristri dua itu jadi terselamatkan dari kemungkinan terjadinya perdebatan dengan kedua istrinya
“Iya, Mas," sahut Bi Jenah.
“Tolong buatkan kopi ya, Bi.”
“Kopi hitam, kopi coklat, apa kopi putih, Mas?”
"Kopi hitam aja, Bi. Jangan banyak-banyak gulanya.”
“Siap, Mas. Neng Harum dan Mbak Nata, mau dibuatkan juga?” tawar ART Hangga itu.
“Aku mau kopi susu ya, Bi," sahut Nata.
“Siap. Kalau Neng Harum mau apa?”
“Enggak, Bi. Terima kasih.”
“Siap.” Bi Jenah kemudian pergi ke dapur untuk membuatkan pesanan sang majikan.
“Saya permisi dulu, Kak. Belum salat Isya,” pamit Harum yang dijawab anggukan oleh Nata.
Harum bangun dari duduk, lalu pergi ke kamar mandi yang letaknya berdekatan dengan dapur untuk mengambil wudu.
“Bi Jenah, jangan lupa kuenya disuguhkan buat Mas Hangga dan Kak Nata,” pesan Harum saat melewati dapur.
“Siap, Neng,” sahut Bi Jenah.
Kopi pesanan Hangga dan Nata selesai dibuat. Bi Jenah membawa baki berisi dua cangkir kopi, serta beberapa iris brownies yang diletakkan di piring kecil ke ruang TV.
“Kopinya, Mas, Mbak,” ucap Bi Jenah. Ia lebih dulu meletakkan piring berisi brownies ke atas meja, baru setelahnya meletakkan dua cangkir kopi.
Hangga langsung mencomot irisan brownies itu lalu memakannya.
“Enak kuenya. Bi Jenah yang buat?” tanya Hangga pada ART-nya. Mulutnya tengah mengunyah brownies toping coklat dan kacang almond.
“Bukan, Mas. Itu Neng Harum," sahut Bi Jenah.
“Harum yang buat?”
“Bukan, Mas.”
“Harum dapat beli?”
“Bukan, Mas. Tadi ada yang ngasih untuk Neng Harum katanya.”
“Dikasih tetangga?”
“Bukan, Mas. Anu, yang ngasih laki-laki, namanya Mas Arya.”
“Uhuk uhuk.” Seketika Hangga terbatuk-batuk karena terkejut.
sungguh nikmat kn mas Hangga poligami itu 😈
yg bener nggak sadar diri
perempuan yang merendahkan diri sendiri demi cinta yg akhirnya di telan waktu