Tiga gadis desa yang memiliki pemikiran sama, tidak mau menikah muda layaknya gadis desa pada umumnya. Mereka sepakat membuat rencana hidup untuk mengubah citra gadis desa yang hanya bisa masak, macak dan manak di usia muda, menjadi perempuan pintar, santun, dan mandiri.
Nayratih, dan Pratiwi terlahir dari keluarga berada, yang tak ingin anak mereka menikah muda. Kedua orang tua mereka sudah berencana menyekolahkan ke luar kota. Terlebih Nayratih dan Pratiwi dianugerahi otak encer, sehingga peluang untuk mewujudkan citra perempuan desa yang baru terbuka lebar.
Tapi tidak dengan, Mina, gadis manis ini tidak mendapat dukungan keluarga untuk sekolah lebih tinggi, cukup SMA saja, dan orang tuanya sudah menyiapkan calon suami untuk Mina.
Bagaimana perjuangan ketiga gadis itu mewujudkan rencana hidup yang mereka impikan? ikuti kisah mereka dalam novel ini.
Siapkan tisu maupun camilan.
Selamat membaca
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DUNIA BARU
Prediksi Tiwi benar, usai hari itu kesibukan mereka benar-benar sibuk. Jatah les bahasa Tiwi dan Nay sangat padat, begitu juga dengan Mina yang sibuk kerja. Mereka menjalani aktivitas positif tanpa mengeluh. Kadang saat weekend, Mina mampir ke kos Tiwi sekedar tanya kabar dan kasih roti. Kadang Tiwi yang ke toko Mina, sekedar beli roti plus cek kabar sang sahabat.
Bagaimana dengan Nay. Ia masih gengsi tapi tetep kepo dengan kabar Mina. Tiwi tahu, ia sengaja menyinggung Mina di hadapan Nay. Kadang tentang roti, maklum Tiwi dan Nay masih bertemu hampir tiap hari di les bahasa.
Kini Tiwi dan Nay sudah masuk dunia kampus. Masa pengenalan kampus dilalui keduanya dengan dramatis.
Nay yang masuk kedokteran tentu mendapat pengenalan tentang organ manusia dan masuk ke ruang laboratorium organ. Ada teman Nay yang jatuh pingsan, gak doyan makan sampai seminggu atau ada yang gak balik lagi. Gila aja sudah bayar UKT tinggi gak balik di hari ketiga masa pengenalan. Nay pun merasa khawatir dirinya tak sanggup. Belum kuliah saja sudah seberat ini.
Sedangkan Tiwi menjalani masa pengenalan di jurusan pendidikan tak terlalu ribet, ia sangat menikmati. Mau bagaimana pun Tiwi sekarang berada di lingkungan yang harus minim perploncoan. Masa pengenalan kampus dilalui dengan motivasi, diskusi tentang permasalahan remaja, outbond, dan yang paling seru adalah game pada tiap sesi. Teman baru dengan suasana ceria sangat memberikan dampak positif untuk pejuang ilmu.
Terlepas kegiatan kedua gadis rantau yang sedang berkutat menuntut ilmu, ada Mina yang hanya tersenyum getir. Kini ia punya ponsel yang bisa tahu kegiatan kedua sahabatnya. Dunia mereka memang berbeda, tapi mereka memiliki cita-cita yang sama, menjadi perempuan hebat di desanya nanti. Mungkin, jalan yang dilalui Mina sedikit berbeda dari mereka sekarang, tapi bukan berarti gagal. Tak apa terlambat untuk memulai, selagi niat dan tekad untuk mencapainya masih ada dalam hati.
"Ngelamun, Min!" tegur Mbak Kia, salah satu karyawan toko senior yang dekat dengan Mina. Ia juga tinggal di ruko setelah sang suami meninggal, tak punya anak jadi daripada hidup sendiri, nelangsa, mending tidur di ruko. Beliau sangat pandai membuat adonan roti, Mina pun mulai belajar cara membuat adonan maupun berkreasi membentuk roti manis atau pun cake.
"Lagi berkabar dengan sahabat-sahabatku lewat foto, Mbak!" jawab Mina dengan menunjukkan foto candid Tiwi.
Dalam foto itu, Tiwi menggunakan kaos olahraga berwarna navy, sedang berkacak pinggang dengan bibir sedikit monyong. Mina tahu ekspresi Tiwi itu, sang sahabat sedang kesal atau kecewa karena usahanya tak sesuai harapan.
"Seru ya mereka?"
Mina mengangguk sembari menyimpan ponsel ke dalam saku celana, cekatan membantu Mbak Kia.
"Kamu juga nanti mengalaminya, sabar saja! Kita semua sedang menjalani takdir masing-masing."
"Iya, Mbak!"
"Kadang hidup itu tak adil, melihat orang lain hidupnya kok lempeng-lempeng aja, sedangkan diri kita susah banget untuk hidup lempeng. Untuk tersenyum saja harus melalui naik turun emosi."
"Mbak Kia, puitis sekali!"
"Biasa habis lihat drakor!" keduanya kemudian tertawa bersama.
"Mina! Mina, dipanggil Bu Bos!" panggil Novi sedikit gopoh.
"Kenapa?" Novi mengedikkan bahu, kemudian menyuruh Mina segera ke sana. Ia pun menggantikan Mina untuk membantu Mbak Kia.
Meski bingung, Mina tetap saja menemui Bu Tyas di ruangannya. "Masuk!" ujar Bu Tyas ramah, Mina pun mengangguk hormat, sedikit kaget karena ada suami Bu Tyas juga yang sedang berdiri sembari bertelpon.
"Duduk, Min!" pinta Bu Tyas sembari mengalihkan laptop beliau. Mina duduk di depan beliau dengan sopan. "Begini, Min. Ibu lihat selama sebulan ini progres kerjamu baik dan cekatan! Kamu juga tak pilih-pilih pekerjaan, mana yang butuh bantuan langsung kamu bantu, termasuk membantu Kia."
Mina masih mendengarkan penjelasan Bu Tyas mengutarakan alasan Mina dipanggil. "Teman saya ada yang mengadakan pelatihan membuat kue kering, saya berniat mendaftarkan kamu. Bagaimana? Hitung-hitung buat menambah keahlian kamu. Apalagi sebentar lagi puasa, permintaan kue kering pasti melonjak. Kia, Rahman dan Hesti jelas kuwalahan. Saya pikir kamu cocok. Bagaimana?"
"Untuk pembayarannya? Apakah potong gaji?" tanya Mina khawatir. Ia sangat berminat, beberapa hari membantu Kia membuat adonan, dalam hati Mina sangat ingin mengikuti les. Hanya saja terkendala biaya yang pasti tidak murah.
Bu Tyas tersenyum, "Gratis!"
"Bu?"
"Saya melihat kamu seperti mengaca seperti muda saya dulu, Min. Semangat bekerja demi keluarga. Saya harap kamu setuju dengan penawaran ini. Setidaknya jangan jadi karyawan terus, harus punya mimpi menjadi bos!"
Mina tersenyum canggung. "Apa tidak menjadi masalah, Bu?"
"Masalah untuk?"
"Saya kan karyawan baru. Tentu penawaran ini bisa memicu ketidaksukaan karyawan lain?" ucap Mina tak enak. Tiba-tiba saja ia punya pikiran seperti itu.
Menurut Mina, karyawan di sini giat dan rajin. Kalau pengamatan selama sebulan dengan dasar cekatan saja, Mina khawatir mereka menaruh iri, Mina tak mau. Ia ingin kerja dengan nyaman tanpa ada senggol menyenggol demi menarik perhatian bos.
Bu Tyas tersenyum lagi, menoleh ke arah suami yang masih sibuk dengan telpon. "Kamu baik sekali sih. Enggak, yang saya tawari gak hanya kamu. Tapi mereka menolak, dan mereka menyarankan juga kamu."
"Benarkah, Bu?" Mina sangat bahagia. Ternyata ada juga yang menolak penawaran dari Bu Bos.
"Mereka sudah nyaman dengan posisi sekarang, tak mau menambah keahlian!"
"Oh begitu!"
"Jadi?"
Mina mengangguk, "Baik, Bu! Saya mau!"
Bu Tyas tersenyum. Beliau pun kemudian menjelaskan perubahan jam kerja Mina. Pelatihan kue akan dilaksanakan minggu depan, dan Mina dipersilahkan memakai satu sepeda motor milik toko.
Mina keluar ruangan Bu Tyas dengan sumringah. Dalam hatinya terus berucap syukur, ada jalan untuk belajar lagi, meski hanya les buat roti.
"Alhamdulillah!" ucapnya sekali lagi.
"Gimana?" tanya Novi yang menunggu dengan cemas, ia bahkan meletakkan nampan secara kasar. Mbak Fitri sempat menegur Novi juga.
"Aku dikasih tawaran oleh Bu Tyas!"
"Tawaran apa?" tanya Novi.
"Lea kue kering?" tanya Mbak Kia yang mulai mendiamkan adonan agar mengembang.
Mina mengangguk. "Bagus deh kalau kamu terima! Setiap tahun kita overload pesanan, anak sini gak ada yang mau les, katanya berat kalau bikin adonan berkilo-kilo saat puasa. Mending jadi penjaga toko saja."
"Kok aku gak ditawari?" ucap Novi sedikit kecewa. Senyum Mina mendadak redup. Ada rasa bersalah dengan teman seangkatannya itu.
"Tenang, nanti bergilir kok penawaran itu," ucap Mbak Kia menenangkan, meski dalam hati sangat tahu alasan Novi kenapa tidak ditawari les tersebut. "Cuma saranku hati-hati," lanjut Mbak Kia.
"Hati-hati kenapa?"
Mbak Kia tersenyum saja tanpa menjelaskan pasti.