Kehidupan Zenaya berubah menyenangkan saat Reagen, teman satu kelas yang disukainya sejak dulu, tiba-tiba meminta gadis itu untuk menjadi kekasihnya.
Ia pikir, Reagen adalah pria terbaik yang datang mengisi hidupnya. Namun, ternyata tidak demikian.
Bagi Reagen, perasaan Zenaya tak lebih dari seonggok sampah tak berarti. Dia dengan tega mempermainkan hati Zenaya dan menginjak-injak harga dirinya dalam sebuah pertaruhan konyol.
Luka yang diberikan Reagen membuat Zenaya berbalik membencinya. Rasa trauma yang diberikan pria itu membuat Zenaya bersumpah untuk tak pernah lagi membuka hatinya pada seorang pria mana pun.
Lalu, apa jadinya bila Zenaya tiba-tiba dipertemukan kembali dengan Reagen setelah 10 tahun berpisah? Terlebih, sebuah peristiwa pahit membuat dirinya terpaksa harus menerima pinangan pria itu, demi menjaga nama baik keluarga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim O, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31 : Mengidam.
Zenaya lagi-lagi tidak dapat memejamkan matanya. Wanita itu sudah belasan kali berganti posisi tidur demi menyamankan diri, tetapi tak juga kunjung terpejam.
Sudah tiga malam ini Zenaya memang tak dapat tidur nyenyak. Bukan karena sedang sakit atau mengalami insomnia, melainkan ada sesuatu hal yang diinginkan wanita itu.
Jika saat pagi hari dia susah menelan makanan, tapi begitu dengan tengah malam ada saja sekelebat makanan yang terlintas dalam benaknya.
Kemarin Zenaya membayangkan semangkok sup jamur hangat dengan garlic bread, dan kali ini bayangan seporsi ayam goreng begitu memikat hatinya hingga mendadak gundah gulana.
Zenaya bisa saja membelinya sendiri, tetapi entah mengapa dia tidak mau melakukannya. Wanita itu menginginkan makanan yang dibeli orang lain.
Batinnya meringis, hampir menangis. Dua hari kemarin dia masih bisa menahan keinginannya, tetapi sekarang tidak lagi. Dia benar-benar menginginkan seekor ayam goreng yang baru di angkat dari wajan. Aromanya bahkan sudah dapat dirasakan wanita itu.
Matanya menoleh pada sosok di sebelahnya yang tampak tertidur pulas di sana. Pria itu sama sekali tidak terusik dengan tingkah Zenaya yang tak bisa diam, padahal dia yakin gerakan tubuhnya membuat kasur mereka bergerak.
Zenaya mengusap-usap perutnya yang mulai bergemuruh. "Kita pergi berdua saja ya, Nak," gumam wanita itu sembari menghapus air matanya. Semenjak hamil, wanita itu memang sedikit lebih sensitif.
Zenaya memandang bengis sang suami, sebelum kemudian beranjak dari ranjang.
...***...
Waktu sudah menunjukkan pukul dua pagi ketika Zenaya sampai di area parkir apartemen dengan berjalan kaki.
Mata Zenaya memandangi satu persatu kedai makanan yang berderet di sisi kirinya, sembari membaca plang nama kedai-kedai tersebut dan bergumam senang saat mendapati salah satu kedai makanan ayam goreng yang berada tak jauh dari sana. Tanpa pikir panjang, dia langsung masuk ke dalam dan memesan satu ekor ayam goreng dengan sauce keju di atasnya.
Zenaya mengambil tempat duduk tepat di sebelah jendela. Jadi, sembari menunggu dia bisa menatap suasana di luar kedai.
Meski tak banyak kendaraan yang berlalu lalang, tetapi aktifitas di tempat itu masih terlihat hidup. Zenaya juga masih mendapati beberapa penghuni apartemen yang baru pulang.
"Permisi, Nona. Ayam goreng dengan saus keju sudah siap." Seorang lelaki muda mengantarkan pesanan Zenaya. Sepertinya dia anak dari pemilik kedai. Tak lupa, dia juga menyajikan sebotol air dingin untuk pelanggannya tersebut.
"Padahal ayam ini lebih enak dinikmati dengan segelas bir dingin. Sayang sekali Anda tidak terbiasa minum," ujar pemuda tersebut, mengingat perkataan Zenaya saat memesan tadi.
Zenaya tersenyum simpul. "Ayam ini sendiri yang membuatnya enak." Jawabnya ramah.
Si pemuda tersenyum senang mendengar pujian Zenaya. "Terima kasih, Nona. Kalau begitu, silakan dinikmati," katanya sembari undur diri dari hadapan Zenaya.
Zenaya tertawa kecil mendengar panggilan yang disematkan si pelayan. Nona adalah panggilan bagi wanita yang belum menikah.
Sepiring besar ayam goreng yang masih menguap tersaji di depan matanya.
"Akhirnya!"
Meski makanan itu bukanlah makanan yang dibeli orang lain, Zenaya tetap bisa menikmatinya.
...***...
Reagen berlari tunggang langgang ke luar dari apartemen menuju mobilnya. Pria itu terkejut saat mendapati Zenaya tak ada di dalam apartemen mereka.
Reagen sempat berpikir kalau Zenaya kabur dari rumah. Namun, pikiran itu kontan tertepis saat melihat seluruh pakaian sang istri masih tertata rapi di lemari.
"Ke mana dia?" gumam Reagen khawatir. Dia memundurkan mobilnya dan keluar dari tempat parkir, sambil terus mencoba mengenyahkan pikiran-pikiran jelek lain.
Zenaya tak mungkin kabur ke rumah orang tua mereka. Terlebih pada tengah malam begini. Sehambar apapun rumah tangga yang mereka jalani, dia pasti tak ingin membuat para orang tua dilanda kekhawatiran.
Perasaan bersalah menghampiri benak Reagen. Kemarin mereka memang baru saja bertengkar karena dirinya bersikeras melarang Zenaya membawa mobil sendiri, untuk berkunjung ke rumah orang tuanya. Namun, menurut Reagen itu bukanlah sebuah masalah besar.
Reagen memijit keningnya. Baru saja dia hendak melajukan mobilnya secepat mungkin, sesosok wanita yang sedari tadi dikhawatirkannya tiba-tiba terlihat duduk di dalam sebuah kedai ayam goreng yang sudah sepi.
Zenaya terlihat asyik menikmati makanannya sendirian.
Reagen tertawa kecil. Pikiran-pikiran jelek yang semula berkeliaran dalam benaknya kini mendadak lenyap.
Pria itu kemudian memutuskan memarkirkan mobilnya di samping kedai dan turun dari sana.
"Sel–"
Reagen tersenyum sembari memberi isyarat pada si penjaga kedai untuk diam. Dia lalu menunjuk Zenaya yang sama sekali belum menyadari keberadaannya.
Zenaya menghentikan acara makannya ketika Reagen tiba-tiba duduk di hadapan wanita itu.
"Kenapa tidak membangunkanku kalau ingin makan di luar? Kamu membuatku khawatir," ujar pria itu.
"Kamu m4ti suri, bukan tidur!" jawab Zenaya kejam, sebelum kembali menggigit ayam gorengnya lagi.
Reagen mengembuskan napasnya. Dia sudah mulai terbiasa dengan kata-kata Zenaya yang terbilang ceplas-ceplos. Matanya kemudian beralih pada seporsi ayam goreng pesanan sang istri yang kini tinggal setengah.
"Kamu menghabiskan ayam ini sendirian?" tanyanya terperangah.
Zenaya hanya melirik sekilas tanpa berniat menjawab.
Memperhatikan sang istri makan dengan lahap membuat perut Reagen tiba-tiba ikut merasa lapar. Pria itu kemudian mencoba mengambil sepotong ayam goreng milik sang istri yang nampak menggiurkan.
Akan tetapi, tanpa diduga Zenaya malah menampar punggung tangan Reagen. "Pesan sendiri sana! Ini milikku!" ketusnya.
Reagen tertawa kecil. "Maaf," ucapnya gemas. Tak ingin mengganggu kesenangan sang istri, dia pun memesan makanannya sendiri.
...***...
Reagen dan Zenaya baru sampai di apartemen menjelang subuh. Untung saja besok merupakan hari libur, jadi dia tak perlu cemas akan bangun kesiangan.
Pria itu berjalan menuju ke dapur dan meletakkan tiga kantong plastik di meja pantry, sementara Zenaya pergi ke kamar mandi.
Selepas makan ayam goreng, keduanya mampir ke sebuah minimarket 24 jam untuk membeli berbagai camilan.
Pria itu tentu dengan senang hati menuruti kemauan Zenaya. Meski wanita itu tetap berlaku dingin, setidaknya Reagen dapat menghabiskan waktu bersama tanpa harus bertengkar.
Zenaya sudah tertidur pulas begitu Reagen selesai merapikan camilan di rak makanan.
Dia mematikan lampu apartemen dan ikut bergabung di ranjang bersama sang istri.
Reagen menatap sendu dua buah guling berukuran besar yang diletakkan di tengah-tengah mereka.
Zenaya memang tidak menolak tidur di ranjang yang sama dengannya, asal tidak saling bersentuhan. Maklum saja, wanita itu pernah berteriak-teriak histeris kala Reagen tanpa sadar memeluknya erat. Sejak saat itulah Reagen memutuskan untuk membuat pembatas di antara mereka.
Hingga kini, wanita itu pun masih menjalani konseling walau tidak sesering dulu. Itulah mengapa dia tak lagi merasa ketakutan berhadapan dengan Reagen.
"Maafkan aku," ucap Reagen seraya mendaratkan kecupan ringan di kening Zenaya.