Ayudia Larasati, gadis cantik yang sudah berkali - kali gagal mendapatkan pekerjaan itu, memilih pindah ke desa tempat kelahiran ibunya setelah mendapatkan kabar kalau di sana sedang ada banyak lowongan pekerjaan dengan posisi yang lumayan.
Selain itu, alasan lain kepindahannya adalah karena ingin menghindari mantan kekasihnya yang toxic dan playing victim.
Di sana, ia bertemu dengan seorang pria yang delapan tahun lebih tua darinya bernama Dimas Aryaseno. Pria tampan yang terkenal sebagai pangeran desa. Parasnya memang tampan, namun ia adalah orang yang cukup dingin dan pendiam pada lawan jenis, hingga di kira ia adalah pria 'belok'.
Rumah nenek Laras yang bersebelahan dengan rumah Dimas, membuat mereka cukup sering berinteraksi hingga hubungan mereka pun semakin dekat
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fernanda Syafira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19. Terlupakan
"Kamu beneran mau kesana?" Dimas kembali meyakinkan Laras.
"Iya beneran, Mas."
"Kalo gak mau, gak apa, Ay. Nanti aku yang bilang sama ibuk." Kata Dimas yang menggenggam tangan Laras.
"Ish Mas ini. Kan aku bilang gak apa, lagian juga gak ada salahnya dateng kesana. Seenggaknya aku gak kikuk karena ibuk yang nyuruh bukan sekonyong - konyong dateng tanpa di undang." Cicit Laras.
"Yaudah." Kata Dimas sembari mengusap punggung tangan Laras.
"Ini harus banget di pegangin terus kayak gini? Aku gak kemana - mana loh! Lagian emang gak susah, kerja pake satu tangan?" Ujar Laras.
"Enggak. Dari pada tanganmu nganggur." Jawab Dimas yang fokus pada tab nya.
"Mas, udah telfon Uti? Aku udah chat Uti sih tadi."
"Udah, sekalian bilang kalo kamu ikut ke acara aqiqah." Jawab Dimas.
"Mas kenapa kok males kalau di ajak kumpul keluarga? Padahal kan seru, Mas. Ngobrol sama sepupu, berbagi cerita, tuker pikiran, bisa haha hehe. Kumpul kayak gitu tuh menurutku salah satu bentuk healing tau, Mas."
"Males di tanya kapan nikah." Jawab Dimas.
"Gara - gara itu aja? Serius sih, Mas." Laras tak percaya.
"Serius, Ay." Jawab Dimas.
"Astaga, Mas, gitu doang! Aku kira Mas ini orangnya cuek, taunya sensitif juga." Kekeh Laras.
"Kalo sekali dua kali tanya, gak masalah. Tapi kalo sering kan judeg." Ujar Dimas.
"Lagian, orang - orang tuh aneh. Pake nanya, kapan nikah? kapan punya anak? Kok belum nikah? kok belum punya anak?. Pertanyaan kayak gitu tuh gak penting buat sekedar basa basi. Ya kalo udah ada jodohnya dan udah mampu, pasti nikah lah. Kalo emang udah waktunya punya anak, ya pasti punya anak, kalo emang belum waktunya, mau usaha pake gaya angin tornado juga, ya gak bakal hamil. Hal yang sebenernya mereka juga tau jawabannya." Gerutu Dimas yang membuat Laras tertawa geli.
"Kalo menurutku, hal kayak gitu tuh udah jadi kelatahan dalam masyarakat sih, Mas. Latah aja gitu mulutnya ngucap pertanyaan itu."
"Padahal, ngebahas gitu juga gak ada untungnya buat dia. Kalo misal dia mau jadi donatur buat biaya nikah, atau biaya bayi tabung, iya juga. Mau tanya - tanya sebanyak apa juga pasti di jawab dengan setulus hati." Kata Dimas.
"Ya mau gimana dong? Kita kan hidup di tengah - tengah masyarakat yang jiwa sosialnya tinggi. Saking pedulinya, sampe hal - hal yang sensitif juga dipertanyakan. Jadi ya anggep angin lalu aja, jangan di masukin ke hati." Sahut Laras yang membuat Dimas terdiam.
"Ayo, kita beli kado dulu." Ajak Dimas yang mulai membereskan barang - barangnya.
Laras pun turut bersiap meninggalkan Cafe. Seperti yang di ucapkan Dimas, mereka mampir ke baby shop terlebih dulu untuk membeli kado sebelum pergi ke tempat acara.
...****************...
"Eh, kok rame banget, Mas." Celetuk Laras yang baru saja turun dari motor.
"Namanya lagi ada acara." Jawab Dimas sembari melepaskan helm yang di pakai Laras.
"Mas, aku gak kusut kan?" Tanya Laras.
"Cantik." Dimas mengulurkan tangan dan merapikan anak rambut yang keluar dari jilbab Laras.
"Keluar - keluar ya, rambutku?" Tanya Laras.
"Udah enggak, sayang." Lirih Dimas.
"Mas Dimas, jangan kayak gitu, dong! Aku jadi salting tau." Cicit Laras yang membuat Dimas tersenyum.
Mereka berdua berjalan masuk dengan Dimas yang menggandeng tangan Kekasihnya.
Di bawah tenda, Dimas mulai menyalami dan menyapa keluarganya satu persatu. Laras pun mengikuti Dimas yang menyalami keluarganya. Tak lupa, senyum ramah selalu tersungging di bibir Laras.
Kedatangan Laras di sambut hangat oleh keluarga besar Dimas dari pihak Bapak. Bu Asih pun tampak sumeringah saat melihat kedatangan putranya bersama Laras.
"Lama tadi meetingnya? Kok baru sampe?" Tanya Bu Asih saat Dimas dan Laras menghampirinya.
Bu Asih sendiri sedang duduk bersama ibu - ibu lain yang merupakan keluarga dan kerabat si empunya acara.
"Pacaran dulu." Jawab Dimas tanpa malu. Sementara Laras hanya bisa cengengesan karena jawaban bar - bar Dimas.
"Owalah, iki to cewekmu, Dim? Mbok yo ngene, digowo, dikenalke. (Owalah, ini to pacarmu, Dim? Mbokya gini, dibawa, dikenalin.)" Ujar seorang wanita yang merupakan bude Dimas.
"Njih, bude. Niki wau tiange purun. (Iya, bude. Ini tadi orangnya mau.)" Jawab Dimas.
"Yo kudu ngono to. Mosok kumpul karo sedulur calone ora gelem. Kan sekalian kenalan to, ben weruh dulur - dulure Dimas. (Ya harus gitu ti. Masak kumpul sama keluarga calonnya gak mau. Kan sekalian kenalan to, biar tau saudara - saudaranya Dimas.)" Ujar wanita yang sama.
"Sopo jenenge, mbak? (Siapa namanya, mbak?)" Tanyanya kemudian.
"Laras, bude." Jawab Laras ramah.
"Gek mangan sek kono. Ayo, Dim di jak mangan sek. (Makan dulu sana. Ayo, Dim di ajak makan dulu)". Ujar bude.
"Ah, iya. Nanti aja, bude." Jawab Laras.
"Gak mau makan?" Tanya Dimas.
"Nanti aja, Mas, aku masih kenyang. Mas mau makan? Aku temenin kalo mau makan." Ujar Laras.
"Nanti aja bareng kamu." Jawab Dimas.
"Yowes. Ojo isin nak arep mangan yo njimuk wae. (Yasudah. Jangan malu kalau mau makan ya ambil saja.)"
"Iya, bude." Jawab Laras.
Setelahnya, Dimas dan Laras melihat bayi dan ibunya yang berada di dalam kamar. Tak lama, mereka pun bergantian dengan tamu lain yang ingin melihat bayi mungil itu.
"Ya ampun lucu banget!" Gemas Laras yang malah meremas lengan Dimas.
"Nanti kita buat yang lebih lucu lagi, Ay." Sahut Dimas.
"Om, mulutnya tolong di kondisikan ya, om." Ujar Laras yang membuat Dimas tersenyum.
"Mau pulang, Ay?" Tanya Dimas.
"Gak enak lah, Mas. Masak baru dateng, mau langsung pulang." Cicit Laras.
"Yaudah, kita duduk di luar aja kalo gitu." Ajak Dimas.
"Ih, Mas ini. Ngapain aku ngintilin (ngikutin) Mas terus? Di luar tuh gak ada perempuannya. Mas aja yang ke luar, gabung sama laki - laki. Aku di sini aja sama rombongan perempuan." Jawab Laras.
"Yakin? Nanti kamu gak nyaman."
"Kan ada Ibuk. Udah, Mas tenang aja, aku mudah bergaul dan beradaptasi kok." Ujar Laras meyakinkan.
Laras memang orang yang mudah beradaptasi. Sikapnya yang ramah, membuatnya sangat mudah akrab dengan orang yang ia temui.
"Yaudah, kalo ada apa - apa, chat. Jangan diem aja." Pesan Dimas yang nampak khawatir.
"Apaan sih, Mas, khawatir banget. Kayak aku masuk ke kandang Harimau aja. Udah, Mas tenang aja pokoknya, aman." Kata Laras sambil mendorong pelan Dimas agar keluar dari rumah.
Dimas sendiri hanya bisa menghembuskan nafas berat dan menuruti Laras. Ada perasaan senang karena Laras mau berbaur dengan keluarganya, tapi juga ada perasaan khawatir jikalau ada kata - kata keluarganya yang nantinya akan melukai Laras.
Laras segera berbaur dengan Bu Asih dan juga para para perempuan lain di keluarga Dimas yang sedang mengobrol sembari membuat iwel - iwel yang akan di sajikan untuk acara marhabanan nanti malam.
"Sini nduk, duduk sini. Masnya mana, nduk?" Tanya Bu Asih pada Laras yang duduk di sebelahnya.
"Itu, di luar, buk." Jawab Laras yang tanpa di minta, ikut membantu membungkus iwel-iwel.
Bu Asih kemudian memperkenalkan Laras pada kerabat - kerabatnya yang ada di sana. Wanita itu tampak bahagia kala memperkenalkan Laras.
"Ayune calon Mas Dimas. Mas Dimas pinter nggolek cewek. (Cantiknya calon Mas Dimas. Mas Dimas pinter cari pacar.)"
"Wajar to, Mas Dimas yo ngguanteng poll kok e. (Wajar to, Mas Dimas juga ganteng banget kok)" Ujar kerabat Dimas.
Laras tersenyum dan berterimakasih menanggapi pujian - pujian yang di lontarkan untuknya. Dengan mudahnya, ia akrab dan bisa mengimbangi obrolan di sana.
Dimas yang masih merasa khawatir, sesekali melihat ke arah Laras yang nampak asyik mengobrol dengan ibu dan keluarganya. Bahkan gadisnya itu tampak beberapa kali ikut tertawa dengan lelucon yang terlontar dari para ibu - ibu.
["Ay, aman?"]
["Baru jadian, harusnya bisa berduaan. Malah jauhan gini, piye to iki?"]
["Kok koyone kepenak leh ghibah?"]
["Ay, betah amat disana? Coba liat aku."]
["Ya Allah, ngasi lali cowok e?."]
["Ay...."]
["Ayang..."]
["Sayaaaanggggg...."]
["Tenane wes ra nggagas bojone blas."]
Chat Dimas yang masuk ke ponsel Laras tanpa gadis itu sadari.
update trus y kk..
sk bngt ma critany