NovelToon NovelToon
Pria Pilihan Sang Perawat

Pria Pilihan Sang Perawat

Status: tamat
Genre:Romantis / Komedi / Tamat / Nikahkontrak / Cintamanis
Popularitas:475.7k
Nilai: 4.9
Nama Author: SHIRLI

Cantik, cerdas dan mandiri. Itulah gambaran seorang Amara, gadis yang telah menjadi yatim piatu sejak kecil. Amara yang seorang perawat harus dihadapkan pada seorang pria tempramental dan gangguan kejiwaan akibat kecelakaan yang menimpanya.

Sanggupkah Amara menghadapi pria itu? Bagaimanakah cara Amara merawatnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SHIRLI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bisik di telinga

Amara berjalan dengan santai melintasi deretan perumahan dinas untuk para medis di rumah sakit tempatnya bekerja sembari menikmati segarnya udara pagi.

Amara belum terlalu hafal seluk belum tempatnya bekerja, mengingat baru seminggu yang lalu ia pindah kemari. Ia juga belum terlalu banyak mengenal tetangga sekitar. Mungkin hanya beberapa nama saja yang sudah ia hafal di luar kepala.

Siang itu di rumah sakit.

Suara sirine ambulans yang memasuki lobi rumah sakit itu spontan menciptakan kepanikan para tenaga medis yang sedang bertugas hari ini.

Ambulans itu membawa seorang pria korban kecelakaan tunggal dengan luka parah bagian kepala hingga bersimbah darah.

Begitu ambulans berhenti, para petugas perawat pria segera menyiapkan brankar dorong dan dengan cekatan memindahkan tubuh lemas itu.

Decitan roda yang beradu dengan lantai mewarnai koridor rumah sakit. Suara derap langkah pun mengiringi saat para perawat berlari-lari sebab tak ingin membuang waktu mendorong brankar menuju ruang IGD untuk melakukan tindakan pertolongan pertama.

Dokter dan perawat begitu cekatan menjalankan tugasnya. Mereka memang sudah terlatih untuk ini, hingga pada saat dibutuhkan, masing-masing bisa menempatkan diri pada tanggung jawabnya.

Setiap kali terdengar suara sirine mobil itu, maka dimulailah kesibukan di ruangan IGD saat para tenaga medis bahu membahu memulai aksi penyelamatan.

Menyentuh darah sudah menjadi makanan sehari-hari. Banyak pasien kecelakaan yang berlanjut ke meja operasi. Mereka bahkan tak jarang menyaksikan pasien melewati sakaratul maut di depan mata.

"Amara cepat bersihkan luka di kepala pasien!" Perintah Dokter Khanza pada Amara yang sudah dalam keadaan steril.

"Baik Dok." Amara menjawab tegas, lantas dengan cekatan memulai tugasnya dengan sangat hati-hati.

Sambil membersihkan darah itu, Amara sesekali menatap wajah dari pasien yang tampak masih sadarkan diri. Dia terluka sangat parah namun masih bertahan dengan kesadarannya.

Menghentikan kegiatan, Amara lantas bergeser mendekati wajah pasiennya. "Tuan, apa anda bisa mendengar saya?" tanyanya lirih dengan nada penuh kekhawatiran. Namun nihil, tak ada jawaban.

"Dia masih sadar?" tanya Dokter Khanza sambil berjalan mendekat.

"Iya Dok, tapi dia tidak menjawab pertanyaan saya. Dia juga hanya diam seperti tidak merasakan kesakitan."

"Dia akan segera dipindahkan ke ruang operasi begitu persiapannya selesai." Usai berucap, Dokter Khanza lalu pergi meninggalkan Amara.

Amara menyapukan kain kasa yang basah oleh air alkohol pada pelipis pasien itu. Meski bersimbah darah, namun ia bisa memastikan jika usia pasien itu masih muda.

Amara terkejut saat lelaki itu meraih tangannya dan menggenggam sangat erat. Ia membulatkan mata penuh keterkejutan. Berusaha menarik dan melepaskan tangannya namun sia-sia. "Tuan, apa ada yang ingin anda katakan?" Amara sengaja bertanya, barangkali saja pasien itu masih bisa diajak untuk berkomunikasi. Namun lelaki itu seperti enggan membuka mulutnya.

Bersamaan dengan itu, Dokter Khanza muncul bersama para perawat lain untuk melakukan persiapan pemindahan pasien ke ruang operasi.

"Mara, lepaskan tanganmu," perintah dokter Khanza. Matanya menatap tangan Amara dan sang pasien yang saling bertaut. "Kau mengganggu kerja kami."

Amara menggeleng cepat. "Tapi ini bukan saya yang memegangnya Dok. Dokter lihat," Amara menunjukkan tangannya yang sulit dilepaskan. "Dia yang tidak mau melepas tangan saya."

Dokter Khanza mengamati pasien itu dengan kening yang berkerut. Ia lantas menatap para medis satu persatu dengan wajah bingung. "Ada apa dengan dia?"

Semua yang ada di ruangan itu menggelengkan kepala. Tak ada yang bisa memberi jawaban.

"Dokter, sepertinya ada sesuatu yang ingin dia katakan," tutur Amara memecah keheningan hingga semua orang mengarahkan pandangan kepadanya penuh tanda tanya. Seketika Amara nampak kikuk menjadi pusat perhatian. Ia tertawa canggung dan berucap, "Yang saya lihat begitu, Dok."

Dokter Khanza mendesah pelan, lalu mengembalikan pandangan pada tubuh pasien. "Cepat pindahkan dia. Kita harus segera melakukan tindakan operasi." Dokter Khanza berucap tegas memberi perintah.

"T-tapi Dok, saya bagaimana?" tanya Amara tak bisa menutupi kegugupan.

"Mau bagaimana lagi, kau harus ikut ke ruang operasi jika dia tak mau melepaskan tanganmu." Dokter Khanza menjawab enteng sambil berlalu pergi mendahului.

Amara tak ada pilihan lain lagi. Ia segera mengangguk patuh sambil berucap, "Baik, Dokter."

Operasi yang menegangkan berlangsung selama beberapa jam. Selama itu pula sang pasien tak mau melepaskan tangan Amara sama sekali meski dalam kondisi tak sadarkan diri. Entah apa yang ada di benak lelaki ini andaikan dia bisa bicara.

Akhirnya operasi pun berhasil membuat para tim dokter yang bekerja pun bisa bernapas lega. Termasuk Amara. Namun lelaki ini harus dipindahkan ke ruang rawat secara intensif mengingat kondisinya yang tak begitu baik.

Menatap dua tangan yang masih bertaut, Dokter Khanza yang memasukkan dua tangan pada saku jas putih itu hanya bisa mendesah sambil geleng-geleng kepala. "Sebenarnya ada apa dengan kalian?"

"Tidak ada, Dokter. Saya bahkan baru melihatnya sekarang,"

"Lalu bagaimana bisa dia memegangi tanganmu begitu?"

"Mana saya tahu ,,,," jawab Amara setengah kesal, wajahnya terlihat sangat lelah. "Mungkin Dokter Khanza bisa bantu?"

"Baik. Tak ada salahnya dicoba lagi, kan." Dokter Khanza mencoba memisahkan tangan keduanya, tapi ternyata itu tak mudah hingga membuatnya menyerah. Meski beberapa paramedis pria juga ikut membantu, tapi tak ada hasil juga. Malahan membuat tangan Amara semakin sakit karena terlalu di paksa.

"Kau benar-benar tidak mengenalnya? Dari kartu identitas yang ditemukan, pasien ini bernama Dimas." Dokter Khanza masih berusaha memastikan. Amara yang benar-benar tak mengenal hanya bisa menggeleng lemah.

Suasana kembali hening dengan semua pasang mata tertuju pada genggaman tangan itu.

"Apa pihak keluarganya tahu kalau dia mengalami kecelakaan?" tanya Amara pada semua yang ada di ruangan itu. "Kenapa belum ada keluarga yang datang?"

"Saat dihubungi, orang tuanya bilang sedang ada di luar negeri. Mereka menitipkan puteranya pada kita." Dokter Haris yang sejak tadi diam kini buka suara memberikan jawaban.

"Apa tak ada anggota keluarga lain?"

"Entah," jawab dokter Haris sambil mengedikkan bahu. Dokter muda berperawakan sedang itu melangkah mendekati ranjang dan kemudian mengamati sang pasien. Ia diam sejenak, lalu menoleh menatap Amara. "Amara, kenapa tak kau coba saja bicara di telinganya. Siapa tahu dia bisa mendengar dan mau melepaskan tanganmu." Usulnya kemudian.

Semua orang saling pandang sebelum kemudian tersenyum lebar, dan secara bersamaan menatap Amara penuh tuntutan.

Lagi-lagi Amara mendadak kikuk saat menjadi pusat perhatian. Sebagai orang baru, apa lagi yang bisa diperbuatnya selain melakukan apapun yang diperintahkan, toh ini untuk kepentingannya juga. "Ah iya, iya. kenapa tidak mencobanya, ya kan?"

Amara lantas membungkuk kan badan untuk mendekatkan bibirnya pada telinga pasien. "Tuan Dimas, silahkan beristirahat dengan nyaman, ya. Tuan Dimas tidak perlu khawatir, kami semua yang ada di sini akan menjaga anda dengan baik. Bahkan setiap hari saya akan datang untuk menjenguk anda. Jadi saya mohon, lepaskan tangan saya sekarang."

Semuanya saling pandang saat tubuh pasien tak bereaksi. Bahkan tangan itu semakin kuat mencengkeram jemari Amara.

Tim dokter yang melakukan operasi itu merasakan ada yang aneh dengan pasien ini. Bagaimana mungkin orang yang masih terpengaruh pada reaksi obat bius bisa menggenggam sekuat itu.

"Hahaha! Seperti tidak mempan sodara-sodara!" Tawa Haris menggelegar di tengah kesunyian. "Sepertinya kau terlalu pelan saat membisikkannya. Cobalah bicara yang lebih keras. Atau kalau perlu berteriak yang kencang," suruhannya dengan gigi menggemertak jengkel.

"Hey, jangan sembarangan!" sahut dokter Khanza. "Kurasa berteriak bukan cara yang efektif. Dia baru di operasi, itu bisa mengganggu proses pemulihannya. Bukankah lebih baik membisikkan kata-kata mesra saja padanya? Barangkali dia mengira Amara adalah kekasihnya."

Amara sontak membulatkan mata tak percaya. "Berbisik mesra Dokter? Saya?" tanyanya sambil menunjuk pada dirinya sendiri.

"Masa iya saya. Ya kamu, lah!" Dokter Haris menyahut enteng. "Yang dipegang tangannya kan kamu, Amara." Pria berkulit putih itu menatap Amara sambil menyipitkan mata. "Atau jangan-jangan kamu memang ingin menginap di sini ,,,?" tuduhnya penuh curiga.

"Dokter jangan ngaco, ya! Tentu saja, tidak!" Amara menyahut kesal, sedangkan dokter Haris justru tertawa geli.

Dokter Khanza melirik jam di pergelangan tangannya, lantas kembali menatap Amara. "Hari sudah semakin malam, Amara. Bukankah kita perlu istirahat cepat dan menyimpan tenaga untuk besok? Ayolah, lakukan apapun sebisamu agar lepas dari dia."

"Tapi, apa yang mesti saya katakan, Dokter?"

"Anggap saja kau sedang merayu kekasihmu," jawab Dokter Khanza dengan enteng.

Tapi masalah nya saya tidak pernah bermesraan dengan lelaki Dokter, saya kan berjilbab, batin Amara. Ia masih diam dan terlihat berpikir. Ditatapnya satu persatu para Dokter serta teman-teman yang masih menunggu keputusan darinya. Wajah mereka terlihat sangat lelah setelah berkutat dengan rutinitas seharian ini.

Amara mendesah pelan. Walaupun semula ia tampak ragu-ragu, namun akhirnya ia dengan mantap membungkuk lagi dan mendekatkan bibirnya di telinga pasien.

Bersambung

1
Sumarni Tina
akhirnya Dimas ketahuan
Sumarni Tina
Luar biasa
Enjelika h
Lumayan
Sulistiawati Kimnyo
semangat lg kakak....
Via
kebanyakan dram jd bosen bacanya
Via
huhhh TOLOL si Amara goblok anjing gitu aj mau ngalah setan😤😤😤😏😏😏
Firda Fami
dah tinggalin aja tuh si Dimas biar mati sekalian 👿
beybi T.Halim
gak asek .., karakter wanitanya seharusnya keren.,barbar dan gak gampang ditindas.,biasanya anak yatim-piatu itu punya sifat yg keren😊
Fa Rel
amara bodoh mending minta cerai biarin dimas nyesel seumur idup
Fa Rel
rasain lu dimas emang enak di.bhongin biar amara ma juan aja lah dripada.ma.dimas g tau trima kasih
Zahra Cantik
masa udah tamat thor 😔😔
kasih bonus dong 😘😘😘
Nina Latief
Lanjut thooorrr...nanggung nih
Bagus X
tamat ?
😨😨
Bagus X
wah wah wah,,tanda tanda wereng coklat ini😌
Bagus X
💖💞👄
Bagus X
eeelahdalah,,,
Bagus X
wadaw,,dalem bngeeeet
Bagus X
😁😁😁😁😁😁😁😁 sa ae mu Thor idenyaaa
Bagus X
ooohhhh,,,so swiiiitttt 😜
Bagus X
ya'ampun othooor,,,benar benar tega dehhh🤦
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!