La' Grande
...Pov Marlin...
La’ Grande, sebuah dunia impian tempat dimana aku ingin mewujudkan mimpiku menjadi seorang ahli desain interior.
Sebuah perusahaan raksasa dengan orang-orang hebat dan berkelas di dalamnya.
Sayangnya, semua itu hanya khayalanku saha.
Aku tak mampu jadi seorang desain interior, karena aku bukan dari keluarga kaya yang mampu menyekolahkan ku dibidang itu.
Karena itulah, aku menulis cerita, dimana dunia idealku berada dengan semua hal yang aku inginkan. La’ Grande.
Tapi, aku tidak se-narsis itu menjadikan diriku sendiri sebagai pemeran utamanya.
Aku lebih suka menjadi pengamat, NPC, makhluk tak terlihat atau apalah, yang serba tahu dan bisa mengubah jalannya cerita sesuai keinginanku.
Hahaha... tentu saja itu hanya dalam cerita.
Inilah juga, alasan kenapa aku memutuskan menjadi seorang penulis amatir.
Karena dengan menulis, aku bisa mengekspresikan diriku yang sesungguhnya, yang aku tak mampu lakukan di dunia nyata.
...Pov end
...
Siang terik di pinggiran kota Metropolis, debu dan asap kendaraan yang pekat menyatu, membuat paru-paru manusia sesak.
“Permisi... Maaf, permisi...,” ucap seorang gadis.
Dia memakai topi baseball berwarna mauve, yang dipenuhi beberapa pin dengan karakter lucu.
Rambut ikalnya dikuncir satu, dengan helaian anak rambut yang menjuntai di sisi kedua telinganya.
Peluh nampak keluar dari pelipis, hingga menetes di dagunya. Membuat gadis bermata bulat itu terganggu, dan sesekali menyekanya dengan punggung tangan.
Dia berlari menyusuri koridor stasiun bawah tanah distrik Aster, sambil memeluk erat sebuah binder map hijau, seolah itu adalah harta berharga baginya.
Gadis tersebut melihat bahwa keretanya hampir berangkat, dan pintunya pun nyaris menutup.
“Pak, tunggu!” pekiknya.
Dia pun melompat dengan segera, dan masuk tepat sebelum pintu benar-benar tertutup.
Meski nafasnya terlihat tersengal, namun bibirnya terus mengukir lengkung indah yang membuat dia semakin cantik dan juga ceria.
Terlebih pembawaannya yang supel, menyapa siapapun orang yang ditemui.
“Marlin,” panggil seseorang dari dalam kereta.
Gadis itu pun menoleh dan melambaikan tangannya.
“Viona, kau disini?” tanya Marlin sembari menghampiri temannya.
Mereka pun bercakap-cakap sambil bergelantungan di dalam kereta yang penuh sesak oleh manusia.
“Apa itu naskahmu?” tanya Viona.
“Ehm... Sudah ku perbaiki sesuai yang diinginkan editorku. Semoga saja kali ini bisa diterima,” sahut Marlin.
“Tuan Yue itu benar-benar ketat. Kau harus sabar dengannya,” ujar Viona.
“Kau benar. Aku harus tahan banting menghadapi makhluk itu,” cibir Marlin.
Keduanya pun terkekeh, dan membuat suasana semakin renyah.
...🐟🐟🐟🐟🐟
...
Beberapa saat kemudian, di sebuah kantor penerbit tempat Viona bekerja.
Plak!
Sebuah naskah tebal terbang dan nyaris tepat mengenai wajah Marlin. Tumpukan kertas itu pun jatuh dan beberapa darinya nampak tercecer di lantai.
Dia saat ini sedang menghadapi kemarahan Editor Yue yang bertanggung jawab atas tulisannya.
“Kau bilang sampah ini adalah naskah terbaikmu?” bentaknya.
Marlin berusaha menjelaskan, namun belum juga berucap, dia kembali disela oleh sang editor.
“Tulisanmu itu terlalu murahan, dan kau dengan percaya diri bilang itu akan jadi best seller? Mimpi saja sana,” lanjut Editor Yue.
Pria paruh baya berperawakan kurus dengan kacamata tebal bertengger di tulang hidungnya itu, benar-benar terlihat sangat tidak puas dengan hasil karya Marlin.
Tatapan tajamnya ke arah Marlin yang sedari tadi tertunduk, kini beralih ke Viona yang duduk tak jauh dari tempat sang editor.
“Apa tidak ada penulis berbakat lain yang bisa kau rekomendasi kan kepadaku, hah?!” bentuknya.
Viona pun segera bangun, dan buru-buru menghampiri sambil membungkuk.
“Maaf, Editor Yue. Tapi menurut ku, cerita Marlin cukup bagus, dan...,” bela Viona.
“Cukup!” potong Editor Yue.
Sontak keduanya kembali terkejut hingga nyaris melompat mundur.
“Bawa temanmu ini keluar. Aku tak mau lagi melihatnya. Biar dia cari editor lain saja,” titah Editor Yue.
“Tapi...,” sahut Marlin.
Namun, Viona yang tahu bagaimana situasinya, meminta Marlin untuk segera menjauh dari tempat tersebut.
“Kau keluar dulu saja. Naskahmu biar aku yang bereskan,” bujuk Viona.
“Tapi aku harus menjelaskan alur ceritaku agar dia paham,” sahut Marlin.
Viona tak menyahut, dan terus menarik temannya itu pergi hingga di depan lift.
“Tunggu aku di kantin bawah. Akan ku bawakan naskahmu ke sana. Menurutlah, oke,” seru Viona.
Marlin pun dengan lemas masuk ke dalam lift yang terbuka. Namun saat dia berbalik hendak menekan tombol tutup, seseorang terlihat berdiri di depannya.
“La' Grande, yah. Aku pernah iseng membaca tulisanmu itu. Kurasa, yang harus kau lakukan adalah merubah sudut pandangmu,” ucap seorang wanita usia sekitar tiga puluhan.
Marlin yang mendengar itu, sontak hendak melangkah keluar, namun dengan cepat wanita tersebut melangkah masuk dan menekan tombol tutup, dan kembali melangkah keluar.
“Jika sudah kau ubah, bawalah padaku,” ucapnya tepat sebelum pintu lift tertutup, lengkap dengan sebuah kedipan sebelah matanya.
...🐟🐟🐟🐟🐟
...
“Apa menurutmu sudut pandangku ini salah?” tanya Marlin.
Dia tengah berbaring di ranjang kamarnya, sembari menempelkan ponsel ke telinga.
“Aku tidak begitu tau yang dimaksud Editor Liu padamu, tapi sepertinya ucapannya perlu kau lakukan. Dari yang ku tau, beliau sangat jeli dalam memberi penilaian, tapi juga mau memberi masukan dengan cara yang benar,” jelas Viona dari seberang sambungan.
“Kalau dia begitu bagus, kenapa kau memberikan naskahmu pada Editor Yue yang galak itu? Kau ini temanku bukan sih?” keluh Marlin.
“Hei, bukan begitu. Editor Liu itu eksklusif. Direktur tidak akan mengijinkan beliau menangani penulis pemula seperti mu,” sanggah Viona.
“Apa benar begitu?” tanya Marlin.
“Hei, Marlin. Kau tidak sedang mencurigai ku yang tidak-tidak bukan? Ingat, kita ini sudah berteman sejak lama. Apa aku pernah berbuat curang padamu, hah?” terka Viona.
“Entahlah. Mungkin aku hanya sedang merasa begitu lelah hari ini,” elak Marlin.
“Hehm... Baiklah. Sebaiknya kau beristirahat sekarang,” seru Viona.
“Kalau begitu, ku tutup teleponnya. Selamat malam,” sahut Marlin.
“Selamat malam,” ucap Viona, tepat bersama bunyi telepon terputus.
Marlin nampak menjatuhkan tangannya yang sedari tadi terus menempel di pipi.
Helaan nafasnya terdengar jelas, dan terasa begitu berat.
“Sudut pandang? Bagian mana memangnya yang salah?” gumamnya.
Dia pun memejamkan mata, sampai perlahan dengkuran halus mulai terdengar dari mulut gadis tersebut.
...🐟🐟🐟🐟🐟
...
Keesokan paginya, mentari nampaknya tak mau kompromi dengan sosok gadis yang masih terlihat nyaman di tempat tidur dan enggan beranjak.
Silau seolah sengaja mengusik mata Marlin yang masih rapat terpejam.
Terdengar suara ketukan keras di pintu, dan seketika membuat Marlin mau tak mau membuka matanya dengan malas.
“Marlin, cepat bangun! Kau akan tertinggal jadwal wawancara nanti,” teriak seorang wanita dari balik pintu.
“Sebentar lagi, Bu. Aku masih mengantuk,” sahut Marlin malas sambil kembali menarik selimutnya, menutupi hingga kepala.
Namun sedetik kemudian, sontak Marlin pun membuka matanya lebar-lebar dan membuka selimut yang menutupi wajahnya.
Ibu? Bukankah aku tinggal sendiri di kota ini? Batin Marlin.
Dia pun segera bangun dan hendak keluar kamar. Namun, langkahnya terhenti ketika dia melewati lemari pakaian.
Marlin pun lalu menoleh perlahan, dan mencoba melihat dengan jelas apa yang sekilas ia lihat.
Gadis itu nampak terpaku melihat pantulan dirinya di cermin, hingga membuatnya membeku sesaat. Dan tiba-tiba...
AAARRRHHGGGGG.....
Bersambung▶️▶️▶️▶️▶️
Jangan lupa like, komen, rate dan dukungan ke cerita ini 😄🥰
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Evelyne
haiii... awal yg bagus... cuuusss... kita lanjut... apakah semakin seru di part selanjut nya...☺️🤗
2025-02-26
1