NovelToon NovelToon
Karmina Dan Ketua OSIS

Karmina Dan Ketua OSIS

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen / Horor / Action / Ketos / Balas Dendam / Mata Batin
Popularitas:2.1k
Nilai: 5
Nama Author: Ira Adinata

Prediksi Karmina mengenai kehidupan Dewa--ketua OSIS di sekolahnya--serta kematian misterius seorang mahasiswi bernama Alin, justru menyeret gadis indigo itu ke dalam kasus besar yang melibatkan politikus dan mafia kelas kakap. Akankah Karmina mampu membantu membalaskan dendam Dewa dan Alin? Ataukah justru mundur setelah mengetahui bahwa sasaran mereka bukanlah orang sembarangan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ira Adinata, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Jenazah Pria

Hawa dingin merasuk ke dalam tulang Karmina tatkala berjalan menuju ruang autopsi yang berada jauh dari sekian banyaknya kamar di rumah sakit. Suasana hening nan sunyi seakan menambah kengerian di benak gadis berambut pendek itu. Ketika pintu dibuka, semilir aroma asam bercampur basa khas jenazah menguar hingga membuat Karmina bergidik ngeri.

"Ayo masuk!" ajak Yuniza.

Dengan canggung, Karmina memasuki ruangan tempat Yuniza bekerja. Gadis itu menyapukan pandangan ke sekitarnya, memperhatikan berbagai peralatan medis. Mulai dari brankar tempat membaringkan jenazah saat akan diperiksa, sampai timbangan untuk mengukur berat badan tubuh tak bernyawa. Sesekali, ia menyapa penjaga kamar jenazah yang kebetulan sedang berada di sana, menemani Yuniza.

Semakin jauh ke dalam, aroma ruangan semakin lain adanya. Kali ini, Karmina mencium aroma sanitasi bercampur basa dan asam semakin pekat. Sepintas, matanya menangkap beberapa bayangan di sudut-sudut ruangan. Saat memberanikan diri untuk menoleh, Karmina tak melihat siapa pun di sana.

"Karmina," ujar Yuniza mengagetkan gadis berambut pendek itu.

Sontak, Karmina terperanjat, mengalihkan pandangan pada Yuniza.

"Saya mau tanya, apa benar kamu berani melihat jenazah yang mau saya tunjukkan? Kalau kamu takut, nggak apa-apa. Saya bisa maklum. Kita bisa lanjutkan obrolan kita di luar," tutur Yuniza.

Terdiam Karmina mendengar perkataan Yuniza. Sesekali ia menatap sebuah lemari pendingin jenazah serta body bag yang tergeletak di sudut ruangan lain. Rasa waswas bercampur takut menggelayuti benaknya, hingga menimbulkan ragu atas niat baik membantu Yuniza.

"Gimana, Karmina?" tanya Yuniza menatap Karmina lekat-lekat.

Karmina menelan ludah. Kendati merasa takut menyelimuti jiwa, setidaknya ia masih memiliki setitik keberanian untuk melihat jenazah yang diceritakan oleh Yuniza di sepanjang jalan. Gadis berambut pendek itu mengangguk yakin.

Sebelum mengambil jenazah, Yuniza memberikan alat perlindungan diri pada Karmina, seperti masker, penutup kepala, sarung tangan, serta baju pelindung. Tanpa banyak bertanya, gadis bertubuh mungil itu memakai semua perlengkapan yang diberikan oleh sang dokter.

Setelah keduanya memakai perlengkapan perlindungan diri, Yuniza memanggil penjaga kamar jenazah. Tak lama kemudian, wanita itu kembali menuju lemari pendingin.

"Sudah siap, Karmina? Kamu jangan kaget, ya. Jenazah ini sudah disimpan di lemari pendingin dua bulan sebelum suami saya meninggal," kata Yuniza, sambil berjalan menuju lemari pendingin jenazah.

Berdebar dada Karmina melihat Yuniza membuka lemari pendingin itu. Dibantu oleh penjaga ruangan jenazah, sang dokter forensik berhasil memindahkan tubuh yang masih terbungkus plastik ke brankar. Selanjutnya, sang penjaga ruangan menaruh brankar itu di hadapan Karmina.

Perasaan Karmina semakin tak karuan ketika Yuniza membuka plastik yang membungkus jenazah itu secara hati-hati. Bagaimanapun juga, adab harus tetap diterapkan sebaik mungkin, bahkan pada jenazah sekalipun.

Setelah plastik itu dibuka, tampak jenazah pria lanjut usia kisaran umur enam puluh atau tujuh puluh tahun. Tubuhnya kering kerontang, kulit-kulitnya sudah mengelupas.

"Dia ditemukan di pinggir kali oleh warga sekitar. Tak ada yang tahu siapa dia dan bagaimana dia bisa tenggelam di kali. Sampai saat ini, identitasnya belum diketahui," jelas Yunizar sambil memandangi jenazah pria lanjut usia yang sudah dibalsam itu.

"Apa keluarganya nggak ada yang nyariin?" tanya Karmina menoleh pada Yuniza.

Yuniza mengedikkan bahu. "Polisi pun nggak menerima laporan kehilangan dari jenazah ini."

"Begitu, ya," gumam Karmina mengangguk takzim.

"Sekarang, coba kamu periksa lewat penglihatan mata batinmu. Siapa tahu kita bisa menemukan petunjuk sebelum saya memutuskan jenazah ini dijadikan kadaver untuk keperluan mata kuliah," ujar Yuniza.

Karmina menghela napas dalam-dalam dan mengembuskan ya kembali. Ini kali pertamanya ia menerawang peristiwa kehidupan seseorang yang sudah lama tak bernyawa. Sangat wajar, jika ia merasa gugup dan gelisah ketika mulai mencaritahu seluk-beluk dari jenazah pria itu.

Kendati demikian, keberanian Karmina masih lebih besar dari keraguannya. Gadis itu mencoba menyentuh lengan jenazah, sampai suatu kilasan peristiwa melintas di depan matanya.

Untuk lebih meyakinkan, Karmina menutup matanya. Sebuah kilas balik peristiwa dimulai dari permukiman kumuh di kolong jalan layang. Saat sang pria lansia hendak berangkat bekerja, seorang wanita paruh baya dengan daster lusuh serta rambut diikat asal tampak kesal dengan berkacak pinggang. Dengan saksama, Karmina pun berusaha mendengar percakapan di dalam penerawangannya.

"Nyesel gua kawin sama lu, Badrun! Dari dulu sampai bangkotan gini masih aja miskin. Pergi sonoh! Gua nggak butuh laki miskin kayak lu!" hardik wanita itu sembari menunjuk ke depan.

Perkataan wanita yang merupakan istri dari pria bernama Badrun itu benar-benar menusuk tepat ke jantung hati. Pria dalam bayangan Karmina tampak lesu meninggalkan kediamannya yang hanya berupa rumah bedeng dari kardus bekas. Ia melangkah menuju becak tuanya, berharap memperoleh rezeki yang lebih banyak hari itu.

Bersama berlalunya waktu, Badrun tak putus asa untuk mendapatkan penumpang di tengah gempuran angkot dan ojek yang semakin merajalela. Meski penumpang yang didapat masih bisa dihitung dengan jari, pria lansia bertubuh kurus kering itu tetap bersyukur atas rezeki dari Tuhan. Alih-alih mengeluh, Badrun tetap pantang menyerah dalam mengais rezeki.

Hingga malam datang, Badrun masih enggan pulang. Sang istri selalu memasang raut masam ketika mengetahui penghasilan Badrun tak seberapa. Maka dari itu, ia tetap mangkal, menunggu penumpang datang memakai jasanya.

Waktu terus berlalu, kegelapan malam semakin pekat. Angin yang berembus begitu dingin menusuk tulang. Kendati demikian, Badrun masih pantang pulang. Tak peduli sudah hampir tengah malam, ia masih berharap mendapatkan penumpang.

Dari ujung jalan, tampak seorang gadis belia berlari sekuat tenaga. Ia melepaskan sepatu hak tingginya, lalu melemparnya dengan sembarang. Kecepatan berlarinya semakin kencang, hingga langkahnya terhenti di depan becak Badrun.

"Pak, tolong antar saya ke terminal. Saya mau pulang ke Sukabumi," pinta gadis itu terengah-engah.

"Tapi sekarang sudah sepi, Neng. Mana ada bus yang mengangkut penumpang tengah malam begini," sanggah Badrun.

"Saya nggak peduli, Pak. Pokoknya bawa saya pergi jauh dari sini. Saya nggak mau mempertaruhkan harga diri hanya demi uang," desak gadis itu dengan wajah memelas.

Atas kebaikan hatinya, Badrun mengangkut gadis belia itu untuk pergi jauh dari sana. Dikayuhnya becak tua itu dengan sisa tenaga yang ia miliki. Badrun berusaha keras agar segera tiba di terminal bus demi menyelamatkan harga diri penumpangnya.

Ketika melewati jembatan, dua pria yang berboncengan menggunakan motor matic, tiba-tiba mencegat Badrun. Sontak, gadis belia itu tampak panik mengetahui dua pria yang merupakan anak buah seorang germo ibukota, berhasil mengejarnya.

Gadis itu bergegas turun dari becak, lalu bersembunyi ke belakang Badrun. Tentu saja, Badrun pun tidak tinggal diam dan turun dari kemudi becak untuk melindungi penumpangnya.

"Serahkan perempuan itu sama kami! Jangan coba-coba menghalangi kami!" bentak salah satu pria berbadan besar.

"Kalian nggak berhak maksa orang! Pergi sonoh!" sergah Badrun, membentangkan kedua tangannya untuk melindungi si gadis.

Tanpa tedeng aling-aling, pria berbadan besar itu mendamprat Badrun sampai tersungkur. Ia langsung menarik lengan penumpang Badrun, meski terus saja mendapat pemberontakan.

Dengan susah payah, Badrun berdiri dan memukul pria berbadan besar itu agar melepaskan si gadis malang. Akan tetapi, kekuatannya yang kalah besar, membuat Badrun lagi-lagi terjatuh.

Di tengah pertengkaran itu, seorang lelaki remaja menghentikan motor di seberang jalan. Ia tidak lain adalah Dewa, si ketos dingin yang andal bertarung. Lelaki itu segera menghampiri keempat orang di seberang jalan, kemudian menghajar wajah pria berbadan besar yang menarik lengan penumpang Badrun.

Pada kesempatan itu, Badrun segera meraih si gadis malang dan berusaha melindunginya dari teman pria berbadan besar. Adapun Dewa, sedang sibuk jual beli serangan dengan anak buah sang germo. Ia menendang dan memukul pria berbadan besar itu tanpa jeda sedikit pun sampai lawannya tumbang.

Sementara itu, Badrun berusaha mengerahkan tenaga untuk menepis serangan anak buah germo lainnya. Akan tetapi, kekuatannya yang tak sebanding membuat Badrun kewalahan menahan pukulan dan tendangan lawan sampai babak belur. Pria tua itu benar-benar telah kehilangan daya untuk bertarung.

Ketika Badrun jatuh terkapar di pinggir jembatan, anak buah germo itu menendang tubuhnya hingga tercebur ke kali. Badrun yang sudah kehabisan tenaga, tak bisa melawan derasnya arus sungai. Semakin ia berusaha naik ke permukaan, kekuatannya perlahan menghilang. Badrun yang malang, akhirnya menemui ajal dan hanyut terbawa arus.

Kilas peristiwa telah berakhir. Karmina membuka mata, memandang Yuniza. Di samping Yuniza, tampak seorang pria tua dengan setelan kaos oblong lusuh dan celana pendek berwarna hitam sedang berdiri menatap Karmina. Tentu saja, gadis berambut pendek itu langsung bisa mengenali bahwa ia tidak lain adalah Badrun.

"Apa yang sudah kamu lihat, Karmina? Apa kamu mendapatkan petunjuk?" tanya Yuniza memandang Karmina.

Alih-alih memperhatikan Yuniza, pandangan Karmina masih tertuju pada sosok Badrun yang kurus kering dan pucat pasi. Pria tua itu berjalan menghampiri Karmina dengan tatapan kosong.

Bulu kuduk Karmina meremang tatkala Badrun berdiri tepat di sampingnya. Arwah pria tua itu menatapnya lekat, hingga Karmina berdiri mematung akibat rasa takut yang kian mencengkram benaknya. Gadis berambut pendek itu menghela napas dalam-dalam, menyadari Badrun akan membisikkan sesuatu ke telinganya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!