NovelToon NovelToon
Rumah Iblis Bersemayam

Rumah Iblis Bersemayam

Status: tamat
Genre:Horor / Tamat / Spiritual / Rumahhantu / Matabatin / Iblis
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: Rijal Nisa

Sebuah rumah besar nan megah berdiri kokoh di tengah pedesaan yang jauh dari perkotaan. Rumah yang terlihat megah itu sebenarnya menyimpan banyak misteri. Rumah yang dikira biasa, nyatanya malah dihuni oleh ribuan makhluk halus.
Tidak ada yang tahu tentang misteri rumah megah itu, hingga satu keluarga pindah ke rumah tersebut. Lalu, mampukah mereka keluar dengan selamat dari rumah tempat Iblis bersemayam itu? Ikuti perjalanan mistis Bachtiar Purnomo bersama keluarganya!k

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rijal Nisa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Part 8

Pagi yang cerah di kediaman pak Ivan, terdengar suara riuh kicauan burung peliharaannya, yang menambah kesan ramai di pagi hari itu. Narto duduk termenung di depan teras, ia masih menunggu sang majikan keluar.

"Kita pasti bisa melakukannya, Tiar. Tenang saja! Aku sahabatmu, aku akan berusaha supaya perusahaan yang sudah kau rintis dari nol bisa kembali berjaya seperti dulu."

Terdengar obrolan pak Ivan dan pak Bachtiar dari dalam. Tampaknya kedua sahabat itu sedang berjalan menuju tempat Narto duduk.

Narto buru-buru bangun begitu suara pak Ivan semakin terdengar jelas.

"Terima kasih, Pak Ivan. Kalau tidak ada kamu, saya tidak tahu harus minta bantuan pada siapa lagi."

"Santai saja! Kita kan sahabat dari kecil, Tiar.  Pak Ivan menepuk halus punggung Bachtiar.

"Selamat pagi, Pak!" sapa Narto seraya bangkit dari duduknya.

"Pagi, kamu sudah menunggu dari tadi ya?'

"Ah, tidak, Pak. Belum juga sampai sepuluh menit," jawab Narto sambil tersenyum. Lelaki itu berjalan menuju mobil dan membukakan pintu untuk majikannya.

"Silakan, Pak!"

"Ya halo," ucap pak Bachtiar, lelaki itu menempelkan benda pipih tersebut di telinganya.

"Papa kok enggak pernah nelpon kita? Tanyain kabar aku sama anak-anak?" tanya perempuan di seberang sana, yang tak lain adalah istrinya.

"Maaf, Ma. Papa lagi sibuk banget," ucap pak Bachtiar memberi alasan.

Terdengar helaan napas kecewa dari sang istri. Narto mengalihkan pandangannya ke arah pak Ivan, dan majikannya tersenyum seraya mengangguk.

"Pulang, Pa! Semenjak papa enggak ada di rumah, semakin banyak hal aneh yang terjadi."

Aduan Anggun pada suaminya bisa didengar oleh Narto dan pak Ivan.

"Sebentar lagi, Ma. Kalau semua sudah beres, papa pasti langsung pulang," jawab Bachtiar meyakinkan.

Narto sudah berada di balik kemudi, namun dia masih belum menghidupkan mesin mobilnya. Dengan sabar Narto dan pak Ivan menunggu sampai Bachtiar selesai bicara dengan istrinya.

"Aaaa_"

"Sisi!"

Jeritan itu memutuskan obrolan mereka, Bachtiar terkejut mendengar jeritan putrinya dan suara panik Anggun.

"Ma, kalian kenapa? tanya Bachtiar dengan ekspresi berubah khawatir.

"Loh, malah dimatiin."

"Kenapa, Tiar?" tanya pak Ivan bersimpati.

"Saya juga tidak tahu, tapi tadi saya mendengar suara Sisi yang menjerit kencang."

"Sebaiknya kamu segera pulang, Tiar. Saya khawatir dengan keadaan istri dan anak-anakmu," ucap pak Ivan.

Bachtiar nampak mempertimbangkan saran dari lelaki itu.

Yang terjadi kepada Sisi sekarang adalah hal yang benar-benar menakutkan.

"Kenapa, Si? Kenapa jerit-jerit seperti tadi? Kamu itu bikin mama takut aja, padahal ya tadi itu mama lagi ngobrol sama papa kamu," ucap Anggun sedikit kesal.

"Ma, emang feeling aku enggak pernah meleset. Sejak pertama melihat potret ini di bawah, aku sudah merasa ada yang aneh. Sekarang terbukti keanehannya kan?"

Anggun memperhatikan foto yang sudah diletakkannya di lantai bawah, dan sekarang malah kembali berpindah tempat.

"Kamu ngapain di kamar ini?" tanya Anggun

"Aku cuma mau ambil gelang aku yang ketinggalan di kamar ini, Ma," ucap Sisi, dia menunjukkan gelang yang sudah berada di dalam genggamannya.

"Biarkan saja foto ini di sini, sebaiknya kita keluar!" ajak Anggun, dia buru-buru menarik anaknya keluar dari kamar itu.

Brak!

Begitu mereka keluar, pintu tertutup sendiri. Anggun mengganggam erat tangan Sisi.

Sejurus kemudian, terdengar suara yang begitu riuh dalam rumah tersebut.

Hari yang tadi begitu cerah, mulai berubah gelap. Cuaca buruk, awan hitam seketika muncul. Dalam rumah hanya ada mereka berdua, sedangkan Bella masih di sekolahnya.

Takut? Jelas mereka takut.

Anggun dan Sisi masih berada di depan kamar yang dulu ditempati oleh nenek dan kakeknya.

Sayup-sayup dari dalam kamar tersebut terdengar dua orang laki-laki yang sedang mengobrol.

"Aku bisa mengabulkan semua permintaanmu, Purnomo. Namun, ada satu hal yang mesti kau ingat!"

"Apa itu, Mbah?"

"Sekali masuk tidak ada jalan keluar di sini," tegas lelaki tua itu.

"Saya ingin menjadi orang terkaya di desa ini. Punya kebun yang luas, dihormati masyarakat, dan saya ingin mereka menjadikan saya sebagai satu-satunya orang yang dapat membantu kehidupan mereka," ucap Purnomo.

"Ma, itu suara kakek. Suara kakek kok bisa terdengar begitu jelas," bisik Sisi.

"Mama juga enggak tahu." Anggun semakin mendekatkan telinganya ke daun pintu.

"Bagus sekali keinginanmu, keinginan yang besar tentu butuh pengorbanan yang besar pula."

Saat sedang fokus-fokusnya menyimak obrolan mertuanya dan seorang lelaki yang dipanggil mbah, mendadak semuanya kembali seperti semula. Cuaca di luar kembali terang, angin mulai berhembus pelan, tidak ada lagi suara riuh dalam rumah itu.

Sisi semakin bingung dengan keadaan rumah yang mereka tempati sekarang.

"Andini, gimana kabar lo sekarang? Keluarga lo gimana? Mereka semua sehat-sehat aja kan?" tanya Bella, saat ini dia dan Andini sedang melakukan video call.

Andini dengan leluasa bisa melihat seluruh isi kamar Sisi.

Sisi tidur dengan posisi tengkurap, sedangkan ponselnya dia sandarkan ke head board ranjang.

Malam ini cukup tenang, tidak ada hal aneh yang menggangu mereka setelah kejadian tadi siang.

"Alhamdulillah, Sisi. Keluarga gue sehat semua. Oh ya, adik sama nyokap bokap lo gimana?"

"Ya gitu deh, bokap gue balik lagi ke kota, ada yang harus dia urus menyangkut kepentingan perusahaannya. Saat semuanya kembali normal, kami bakal balik lagi ke sana," ucap Sisi.

"Oh ya? Bagus dong, gue juga udah kangen banget sama lo. Pengen ngumpul bareng kayak dulu lagi, semenjak enggak ada lo di sini, gue juga udah jarang keluar rumah."

"Tetangga lo kan banyak, Din. Kenapa enggak coba aja berteman akrab sama mereka."

"Gue? tanya sisi sambil menunjuk dirinya sendiri. "Ya kali mereka mau temenan ama gue, palingan nanti mereka nganggap gue cewek gila yang suka ngomong sendiri," desis Andini.

"Emang beneran kalau lo bisa lihat mereka?" tanya Sisi, bulu di tengkuknya mulai berdiri tegak.

Walau takut dia tetap harus menanyakan hal itu sama Andini.

"Bisa dong, lo masih enggak percaya sama kemampuan gue?" tanya Andini.

"Bukan enggak percaya, habisnya gue heran aja. Masa iya sih sahabat gue temenannya sama setan."

"Itu nenek lo ya?" tanya Andini.

"Yang mana?" Sisi buru-buru membalikkan badannya, menatap ke arah pintu masuk, ke seluruh sudut kamar. Tidak ada siapa pun di sana.

"Kenapa? Wajahnya kok panik gitu?"

"Ya panik dong, Din. Bercanda itu yang wajar aja dong, nenek sama kakek gue udah lama meninggal, ya kali mereka masih di sini."

"Serius lo? Tadi gue ngelihat nenek-nenek di belakang lo." Andini tampak terkejut dengan mata membola mendengar pengakuan Sisi.

"Udah ah, jangan nakutin gue. Enggak lucu!"

Andini seketika diam, dia merasakan ada yang tidak beres dengan rumah yang kini ditinggali Sisi dan keluarganya.

Rendra datang bersama nenek dan kakeknya ke rumah peninggalan Purnomo.

Memenuhi undangan makan malam dari Anggun, mereka datang dengan membawa beberapa plastik sayuran dan buah-buahan segar.

Sore hari ini cuaca kembali tak bersahabat, sudah seminggu sejak kejadian menyeramkan itu terjadi. Kali ini cuaca seolah mengabarkan bahwa peristiwa yang sama akan terulang kembali.

"Apa kami datang terlalu cepat?" tanya bi Iren.

"Tidak sama sekali kok, Bi. Saya malah senang Bibi datang lebih awal," jawab Anggun.

"Apa ada yang bisa aku dan nenek bantu di sini?" tanya Rendra.

"Enggak usah Kak Rendra, semua makanan udah kita siapin kok. Tinggal menyantapnya saja," jawab Bella cepat.

"Sebenarnya saya ingin melihat perempuan yang membuat kalian penasaran akan siapa dia," ucap ki Seto kemudian.

"Nah, memang itu yang kami tunggu, Ki. Kami pikir kita bisa membahasnya nanti setelah makan malam," sahut Sisi.

"Sekarang saja, lebih cepat lebih baik."

"Biar mama ambil dulu album itu." Anggun segera bangun dan melangkah ke dekat meja, membuka laci dan kemudian mengambil album yang tersimpan di sana.

Ki Seto mengerutkan dahinya, apa ki Seto juga akan memberikan jawaban yang sama seperti bi Iren?

"Pak Bachtiar pasti kenal siapa perempuan ini." Ki Seto menatap orang-orang di sekelilingnya dengan tatapan penuh misteri.

Melihat reaksi ki Seto, Sisi jadi semakin yakin kalau perempuan itu adalah istri kedua kakeknya.

"Ki, apa pikiran kita sama?"

"Kalau menurut saya, bisa jadi ini memang benar istri kedua kakek kalian."

"Kenapa Bapak begitu yakin?" tanya bi Iren, Rendra hanya diam dan mendengarkan. Jauh di dasar hatinya dia juga sependapat dengan kakeknya itu.

"Bu, selama ini kita selalu bertanya kenapa sampe sekarang rumah ini tidak diambil alih oleh pak Bachtiar. Tentu saja karena pemilik dari seluruh aset pak Purnomo bukan hanya dia saja, tapi masih ada ahli waris yang lain."

Ya, memang ada ada ahli waris yang lain. Yaitu, istri kedua sang kakek. Purnomo terpaksa menikah lagi karena dia tahu, bahwa Bachtiar putra semata wayangnya itu tidak mungkin mau menjadi ahli waris dari harta yang dia dapatkan dengan cara tidak benar.

Kisah ini sudah terkubur selama puluhan tahun, dan istri keduanya pun tidak ada yang tahu ada di mana sekarang.

Kediaman Bu Yati

"Aaaa..."

"Mbak, kenapa kamu teriak sekeras itu? Ini sudah malam, gangguin orang tidur aja." Lukman berdiri di ambang pintu dengan berkacak pinggang.

"Aku mimpi buruk lagi, Man." Yati menyeka keringat dingin yang membasahi keningnya.

Lukman masuk dan duduk di sisi tempat tidur kakaknya itu. "Kamu mimpiin Mulan lagi?" tanya Lukman.

"Iya, akhir-akhir ini Mulan memang selalu datang dalam mimpi aku. Dia mengendong bayi dan ingin membalaskan dendam padaku, dia menakuti aku, Man," adu Yati pada adiknya.

"Aku tidak tahu harus menghibur kamu gimana, Mbak. Aku tidak ingin berurusan sama masalah kamu ini, aku sudah memperingatkan kamu waktu itu, jangan menyentuh Mulan. Kalau memang Mbak enggak mau menanggung biaya hidup dia, biarkan aku yang akan mengurus keponakanku itu."

Yati memandang rendah adiknya dengan tatapan sinis. "Hidupmu aja masih aku yang tanggung, berani-beraninya kamu berkata seperti itu."

"Itu dulu, Mbak. Kalau mau, sekarang aku bisa aja pergi dan ninggalin kamu sendirian, tapi kamu memaksa aku untuk tidak pergi dan nemenin kamu di sini," ucap Lukman memperjelas.

Yati termenung, dia teringat akan ahli waris Purnomo yang sudah sebulan lebih pindah ke desanya. Iblis-Iblis itu pasti akan segera muncul, kegelisahan mulai menyelimuti segenap hatinya.

"Apa jangan-jangan ini ada kaitannya dengan kemunculan anak dan cucunya pak Purnomo?"

"Hais, aku tidak ingin terlibat dengan masalah kamu, Mbak." Lukman bangkit dari duduknya, lalu keluar dari kamar Yati.

1
Aksara L
Luar biasa
Aksara L
Biasa
Kakak Author
lanjut .. bagus banget ceritanya .../Pray/mampir ketempat aku dong /Ok/
🎧✏📖: semangat, kalo boleh baca ya judul baru 🤭
🥑⃟Riana~: iya kk
total 4 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!