windu pamungkas adalah seorang pria yang menanggung kutukan akibat kesalahan leluhur nya.
dalam perjalanannya dia ditemani kekasih nya ayu Kinasih, mengarungi dunia persilatan sekaligus menyempurnakan kekuatan empat unsur dalam tubuh nya...
mampukah windu pamungkas menghadapi tekanan, musuh yg belum diketahuinya ditambah sebuah organisasi misterius yang selalu membuat kekacauan di dunia persilatan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nopugho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ki jengger manuk
Satu purnama sudah windu berada di perguruan camar es, dan kitab serat pedang naga sudah di kuasai sepenuh nya oleh windu, dan atas saran dari bibi purwati, windu turun gunung bersama dengan ayu kinasih atau bidadari es. Ayu kinasih juga telah menamatkan kitab inti es berkat dukungan dari guru nya serta windu.
Windu diberikan sebuah kuda hitam yang besar, sedangkan ayu kinasih memakai kuda putih, mereka berdua berjalan kearah timur untuk menyelidiki organisasi jubah hitam.
Suatu rombongan orang berkuda tampak tengah melewati pinggiran sebuah hutan yang cukup lebat, dengan kecepatan bagai dikejar setan. Jumlah penunggang kuda itu sekitar lima belas orang. Dari cara berpakaian, bisa ditebak kalau mereka adalah orang-orang persilatan. Begitu kencangnya mereka mengendalikan kudanya sehingga debu mengepul di udara tersepak kaki-kaki kuda.
Tiga orang tampak berkuda paling depan. Yang tengah bertubuh kekar, terbungkus baju putih. Di punggungnya tersandang sebilah pedang. Sementara di bagian perutnya terlihat sebuah buntalan yang dikebatkan ke pinggang. Sedangkan dua orang yang mengapitnya berwajah garang. Masing-masing bersenjatakan sebilah golok dan sebuah tombak bermata golok.
"Heaaa...!"
Penunggang kuda yang di tengah menghela tunggangannya dengan wajah berkerut cemas. Sesekali kepalanya menoleh ke belakang. Tidak terlihat apa-apa selain kedua belas anak buahnya. Namun jelas, kalau dia mengkhawatirkan sesuatu.
"Hooo...!"
Orang yang berkuda di kiri laki-laki berbaju putih itu berteriak memberi isyarat kepada di depan jalan bersimpang dua.
"Ki Jengger Manuk! Jalan mana yang akan kita tempuh?" Tanya laki-laki bersenjata golok.
Laki-laki yang berada di tengah dan dipanggil dengan nama Ki Jengger Manuk mengangkat sebelah tangan, sehingga orang-orang yang berkuda di belakang menghentikan laju kuda.
Mata Ki Jengger Manuk segera beredar ke sekeliling tempat itu. Jalan ini masih asing baginya. Sehingga dia harus menentukan pilihan ke kiri atau ke kanan. Padahal, mereka harus segera sampai di tujuan, dan tidak boleh terlambat meski barang sekejap. Tapi bukan hanya itu yang membuat Jengger Manuk sedikit curiga. Tapi, suasana di sekitarnya yang membuatnya harus bersikap waspada. Suasa?na tampak sunyi. Bahkan burung pun seperti enggan melintas di atasnya. Sebagian orang yang telah kenyang makan asam garam dalam dunia persilatan, detak jantungnya yang mulai bergemuruh menjadi tanda kalau ada sesuatu yang tidak diinginkan bakal terjadi.
"Semua bersiaga! Siapkan senjata kalian...!" desis Ki Jengger Manuk, dingin.
Seketika seluruh anak buah laki-laki berbaju putih itu segera menggenggam senjata masing-masing. Pandangan mata mereka langsung berkeliaran, mengawasi sekitarnya.
Ki Jengger Manuk segera memberi isyarat dengan lambaian tangan. Maka anak buahnya bergerak pelan, mengikuti laki-laki berusia empat puluh tahun itu ke arah kiri. Betul saja. Karena mendadak...
Set! Set!
"Awaaas...!" teriak Ki Jengger Manuk memperingatkan, ketika beberapa batang panah melesat kencang ke arah mereka.
Dengan sigap laki-laki berbaju putih itu mencabut pedangnya. Dan seketika tubuhnya mencelat dari punggung kuda, langsung memapak beberapa anak panah yang meluncur ke arahnya.
Sring! Tras! Tras!
Demikian juga anak buahnya. Dengan tangkas mereka menghalau anak panah yang berhamburan mengancam nyawa.
"Hua ha ha...! Jengger Manuk keparat! Kau kira sedemikian mudah melarikan diri dariku, he"!"
Tiba-tiba terdengar bentakan keras menggeledek. Dan bersamaan dengan itu, beberapa sosok berseragam hijau berkelebat dari balik semak belukar.
"Yeaaa...!"
Tanpa basa-basi lagi, sosok-sosok berbaju hijau itu langsung mengepung rombongan Ki Jengger Manuk dan anak buahnya.
"Jangan takut! Hadapi mereka. Dan, hajar semua...!" teriak Ki Jengger Manuk memberi semangat.
Jumlah para penyerang hanya tujuh orang. Namun kecepatan gerak mereka amat mengagumkan. Bisa diduga kalau kepandaian mereka cukup tinggi. Tak heran kalau tak lama kemudian terdengar jeritan dua orang anak buah Ki Jengger Manuk dengan leher robek tertebas senjata tajam.
"Keparat!"
Laki-laki pemimpin rombongan berkuda ini mendesis geram. Pedangnya segera diayunkan ke arah para penyerang.
"He he he...! Kau adalah bagianku, Setan!" teriak satu suara, yang diikuti berkelebatnya sesosok tubuh.
Trang! Wuuut!
Dengan gerakan dahsyat Ki Jengger Manuk menangkis serangan yang datang ke arahnya.
Trang!
"Uhhh...!"
Tangan laki-laki berbaju putih itu seketika terasa kesemutan ketika pedangnya membentur senjata lawannya. Dan belum lagi bisa disadari apa yang terjadi, mendadak serangkum angin kencang melesat ke arah leher. Cepat tubuh Ki Jengger Manuk melenting ke belakang.
"Hup!"
Kedua kaki Ki Jengger Manuk menjejak tanah dengan manis, karena lawannya tidak meneruskan serangan. Kini jelas terlihat, siapa orang itu yang sebenarnya.
"Walatikta, Maling Hiram Tombak Sakti! Hm..., Sudah kuduga kaulah orangnya!" dengus Ki Jengger Manuk ketika melihat seorang laki-laki bertubuh kekar bersenjatakan tombak.
Laki-laki berkulit hitam yang dipanggil Walatikta itu tersenyum sinis mendengar kata-kata Ki Jengger Manuk.
"Kau kira bisa lari seenaknya setelah mencuri mustika milikku itu, he"!" dengus Ki Walatikta, yang berdahi lebar dengan mata sipit.
"Mustika milikmu Ha ha ha! Mudah sekali bagi maling sepertimu, mengatakan milik orang lain sebagai milikmu!" sahut Ki Jengger Manuk bernada mengejek.
"Apa pun yang telah berada di tanganku, maka itu menjadi milikku! Itulah hukum yang berlaku bagi Maling Hitam Tombak Sakti. Dan siapa pun yang coba merebutnya, boleh mampus di tanganku!" balas Ki Walatikta.
"He he he! Mustika itu milik kerajaan. Dan, tak ada seorang pun yang berhak memilikinya. Apalagi, orang sepertimu!" desis Ki Jengger Manuk.
"Jengger Manuk, apa yang kuinginkan harus kudapatkan. Kau telah merebut mustika itu, saat aku tidak berada di tempat. Lalu, membunuh beberapa orang anak buahku. Maka, kau harus mati!"
Laki-laki setengah baya bernama Ki Walatikta ini tampak geram sekali. Wajahnya berkerut dan gerahamnya berkerotokan. Tanpa basa-basi lagi, dia melompat menyerang sambil mengayunkan tombak di tangan.
"Huh!"
Ki Jengger Manuk mendengus dingin. Segera disambutnya serangan Maling Hitam Tombak Sakti.
Trang! Bet! Bet!
"Uhhh...!"
Beberapa kali pedang Ki Jengger Manuk menghantam senjata lawan. Dan saat itu juga tangannya terasa kesemutan. Disadari betul kalau tenaga Maling Hitam Tombak Sakti berada satu tingkat di atasnya. Bahkan gerakannya lebih cepat dari yang diduga semula. Tidak heran bila beberapa kali ujung tombak Maling Hitam Tombak Sakti mengancam keselamatannya. Dan itu membuat nyalinya perlahan-lahan mulai ciut dengan pikiran tidak tenang. Apalagi ketika mendengar pekik kesakitan yang saling sambung menyambung dari anak buahnya yang tewas satu persatu.
"Aaa...!"
"Hokhhh...!"
"Hhh...!"
Ki Jengger Manuk menghela napas sesak. Wajahnya tampak berduka. Namun dengan cepat berubah geram, ketika mengingat bahwa dia mempunyai tanggung jawab besar untuk mengembalikan mustika yang kini berada di tangannya.
"Kau masih punya satu kesempatan lagi untuk mengembalikan mustika itu. Atau..., nyawamu melayang di tanganku!" dengus Ki Walatikta.
"Huh! Kau boleh melangkahi mayatku dulu!" sahut Ki Jengger Manuk dengan sorot mata garang.
"Cacing busuk! Kau akan mampus di tanganku!" desis Maling Hitam Tombak Sakti seraya melompat menyerang lawan.
Bet! Tombak Ki Walatikta alias Maling Hitam Tom?bak Sakti bergemuruh tajam ketika angin sambarannya nyaris menggetarkan dada lawan. Agaknya, kemarahannya telah begitu menggelegak. Sehingga, dia bertekad hendak menghabisi si Jengger Manuk secepat mungkin.
Trang!
"Hiiih!"
Ki Jengger Manuk menangkis dengan sigap. Namun pedangnya nyaris terlepas dari genggaman. Bahkan tangannya terasa bergetar hebat. Belum juga getaran pada tangannya hilang, Ki Walatikta telah menyusul dengan tendangan menggeledek berisi tenaga dalam tinggi. Untung cepat bagai kilat Ki Jengger Manuk memiringkan tubuhnya ke kiri. Sehingga tendangan itu hanya menyambar angin kosong.