Satu tahun menikah, tapi Sekar (Eka) tak pernah disentuh suaminya, Adit. Hingga suatu malam, sebuah pesan mengundangnya ke hotel—dan di sanalah hidupnya berubah. Ia terjebak dalam permainan kejam Adit, tetapi justru terjatuh ke pelukan pria lain—Kaisar Harjuno, CEO dingin yang mengira dirinya hanya wanita bayaran.
Saat kebenaran terungkap, Eka tak tinggal diam. Dendamnya membara, dan ia tahu satu cara untuk membalas, menikahi lelaki yang bahkan tak percaya pada pernikahan.
"Benihmu sudah tertanam di rahamiku. Jadi kamu hanya punya dua pilihan—terima atau hadapi akibatnya."
Antara kebencian dan ketertarikan, siapa yang akhirnya akan menyerah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
"Dasar murahan! Katakan padaku, semalam kamu tidur dengan siapa?" tanya Adit dengan nada sarkastik, tatapannya penuh amarah dan penghinaan.
Baru saja, asisten pejabat menelpon membawa kabar yang mengejutkan—Eka tidak masuk ke kamar yang telah disiapkan untuknya. Rencana yang telah ia susun dengan begitu matang hancur begitu saja, membuatnya murka.
Namun, alih-alih terlihat terpojok, Eka justru tersenyum penuh kemenangan. Sementara itu, tiga wanita yang tadi mengolok-oloknya kini saling bertukar pandang, kebingungan dengan situasi yang berbalik begitu cepat.
Eka tertawa terbahak-bahak, suaranya memenuhi ruangan, menciptakan kontras tajam dengan ekspresi gelap Adit. "Dengan siapa pun boleh, asal rencanamu gagal," katanya santai, sebelum menatap pria itu dengan tajam. "Kamu tahu karma, Dit? Kamu akan segera mendapatkannya."
Adit mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. "Jangan sok bicara soal karma, Eka. Kamu pikir aku akan membiarkan ini begitu saja?"
Eka melangkah mendekat, menantang dengan dagu terangkat tinggi. "Coba saja, Dit. Aku ingin tahu sejauh apa kamu akan jatuh setelah ini."
Nadin, yang sejak tadi hanya menjadi penonton, ikut terpancing emosi. "Omong kosong apa yang kamu katakan?! Lagipula, ini semua kesalahanmu!"
"Aku yang salah?" Eka menatapnya tajam.
"Kalau bukan karena keteledoranmu, ini tidak akan berakhir seperti ini! Harusnya kamu bersyukur, gadis desa bau dapur sepertimu masih diinginkan laki-laki dengan jabatan mentereng," sahut Nadin dengan nada mengejek.
Eka menyeringai. "Kalau begitu, kenapa bukan kamu saja yang dijual Adit? Biar kamu lebih bersyukur memiliki lelaki dengan jabatan mentereng daripada Aditya, lelaki tak berguna itu!" katanya sarkastik.
Adit tersulut emosi mendengar ejekan itu. Tangannya hampir saja terangkat, siap memberikan tamparan, namun ponsel di genggamannya tiba-tiba bergetar. Dengan napas berat, ia mengangkat telepon tanpa mengalihkan tatapannya dari Eka.
"Apa?" suaranya dingin dan tajam.
Namun, ekspresi wajahnya berubah drastis saat suara di seberang memberi kabar yang tidak ia duga. Kemarahannya yang meledak-ledak seketika menghilang, berganti dengan ketegangan. Rahangnya mengeras lebih dalam, seolah baru saja mendengar sesuatu yang jauh lebih buruk dari kegagalannya menghadapi Eka.
Tanpa menjawab apa pun, Adit menutup telepon, lalu menoleh ke arah Rina, adiknya. "Ambil barangnya. Suruh dia pergi dari sini."
Ia kemudian beralih pada Eka dan menatapnya dengan penuh kebencian. "Aku talak kamu, Eka. Dasar murahan!"
Eka tersenyum tipis. Namun, jauh di dalam hatinya, ia menyimpan dendam pada lelaki yang selama tiga tahun ini ia cintai dengan buta. Kini, ia membenarkan satu hal—cinta boleh bodoh, tapi mata jangan pernah buta.
"Bawa sampahmu dan pergi!" Rina menimpali tanpa belas kasih.
Tanpa banyak bicara, Eka menunduk, memungut pakaian yang kini berserakan di lantai. Dulu, saat pertama kali diboyong ke rumah ini, ia disambut penuh cinta. Sekarang? Ia tak lebih dari sampah yang dibuang tanpa sedikit pun penghargaan.
Eka menatap Rina dan tersenyum dingin. "Ingat ini, Rina. Kakakmu melakukan ini padaku. Suatu hari, semuanya akan berbalik padamu."
"Mulutmu busuk sekali! Pergi!" usir Rina dengan tatapan penuh jijik.
Eka mengalihkan pandangannya, menatap satu per satu wajah yang telah menorehkan luka di hatinya. Ia menarik napas panjang, mengangkat kepalanya, lalu melangkah keluar dari rumah yang kini tak lebih dari neraka baginya.
Namun, di setiap langkahnya meninggalkan tempat itu, pikirannya terus bertanya—siapa lelaki itu?
Dalam kepasrahan, tangannya tanpa sadar menyentuh saku bajunya. Ia merasakan sesuatu di dalamnya.
"Jam tangan?" gumamnya.
Eka menatap benda itu, baru menyadari bahwa ia tadi tak sengaja memasukkannya ke dalam saku. Matanya menyipit saat melihat inisial yang terukir di permukaannya.
"KH?"
Ia mengamati jam tangan itu lebih saksama. Bukan jam tangan biasa—desainnya terlalu eksklusif.
Eka mengepalkan tangan, tatapannya penuh tekad. "Aku akan mencari tahu."
***
Di sisi lain, Kai melangkah memasuki ruang kerjanya dengan ekspresi tenang, tetapi sorot matanya tajam, seolah sedang menyusun strategi. Asisten pribadinya, Rendi, berjalan di belakangnya dengan sikap profesional, membawa beberapa berkas yang tampak penting.
"Ini dokumen yang harus ditandatangani," ucap Rendi sambil meletakkan setumpuk dokumen di meja, berhadapan langsung dengan Kai.
Kai hanya mengangguk, pikirannya kacau sejak mengetahui bahwa wanita yang semalam ia tiduri ternyata masih perawan. Tidak hanya itu, wanita itu juga menolak diberi uang—sesuatu yang justru meninggalkan beban di hati pria dingin itu.
"Ren, transfer sejumlah uang dua digit kepada wanita yang semalam kamu sewa untuk menemaniku," ucap Kai dengan nada datar, tanpa menunjukkan rasa bersalah sedikit pun.
Rendi yang berdiri di sampingnya menelan ludah kasar. Ia takut jika bosnya itu marah karena kenyataannya wanita tersebut sama sekali tidak ada. Ia gagal menjalankan tugasnya mencari wanita penghibur untuk menemani Kai karena pacarnya mendadak sakit.
"Pak, soal wanita itu..."
"Jika dia menolak, aku akan memberikannya langsung. Aku minta nomornya saja," kata Kai tegas. Ia mengingat bahwa jam tangan pemberian dari almarhum ibunya kemungkinan besar dibawa oleh wanita itu.
"Apa? Wanita? Nomor? Maksudnya, Pak?" tanya Rendi, mendadak bingung.
"Rendi, jangan main-main dan pura-pura bodoh. Semalam kamu yang mendatangkan wanita itu, kan?"
Rendi tergagap sebelum akhirnya berkata, "Pak, maaf... semalam saya tidak jadi mencarikan Bapak wanita penghibur. Saya benar-benar lupa karena pacar saya kecelakaan dan harus masuk rumah sakit. Jadi... wanita yang Pak Kai maksud ini siapa?"
"Apa?" Kai menggebrak meja, tatapannya langsung menajam. Dalam sekejap, ekspresinya berubah dingin. Napasnya terasa berat, pikirannya berputar cepat mencoba memahami situasi yang baru saja terjadi.
"Ulangi," perintahnya dengan suara rendah, tetapi penuh ancaman.
Rendi menelan ludah, merasakan hawa dingin yang kini mengelilingi ruangan. "Saya… saya tidak jadi mencarikan Bapak wanita penghibur. Saya benar-benar lupa karena pacar saya kecelakaan dan harus masuk rumah sakit," ulangnya lebih pelan.
Kai memejamkan mata sesaat, mencoba menenangkan pikirannya. Lalu, siapa wanita itu? Wanita yang ia sentuh semalam… yang tubuhnya begitu murni, begitu tak tersentuh.
Ia mengingat kembali bagaimana wanita itu tampak ketakutan, tetapi tidak menangis ataupun meminta belas kasihan. Dia hanya diam, menerima, lalu pergi tanpa meminta imbalan sedikit pun.
Ada sesuatu yang janggal.
“Cari dia,” suara Kai terdengar lebih dalam dan gelap. “Aku ingin tahu siapa dia sebenarnya.”
Rendi terperanjat. “Pak, bagaimana saya bisa—”
"Cari tahu!" Kai kembali menggebrak meja, membuat tumpukan dokumen bergeser. “Aku ingin semua informasi tentangnya. Siapa dia, dari mana asalnya, dan bagaimana bisa dia berada di kamarku semalam.”
Rendi mengangguk cepat, meski pikirannya masih dipenuhi kebingungan. Ini bukan sekadar kejadian biasa. Ada sesuatu yang lebih besar dari yang terlihat.
Dalam hati, ia membatin, "Jangan-jangan si dingin anti-wanita ini sudah tidak perjaka lagi dan sekarang mau menikah?"