Kathleen tidak pernah menyangka bahwa rasa penasaran bisa menyeret hidupnya ke dalam bahaya besar!
Semua berawal dari kehadiran seorang cowok misterius di kelas barunya yang bernama William Anderson. Will memang selalu terkesan cuek, dingin, dan suka menyendiri. Namun, ia tidak sadar kalau sikap antisosialnya yang justru telah menarik perhatian dan membuat gadis itu terlanjur jatuh hati padanya.
Hingga suatu hari, rentetan peristiwa menakutkan pun mulai datang ketika Kathleen tak sengaja mengetahui rahasia siapa William sebenarnya.
Terjebak dalam rantai takdir yang mengerikan, membuat mereka berdua harus siap terlibat dalam pertarungan sesungguhnya. Tidak ada yang dapat mereka lakukan lagi, selain mengakhiri semua mimpi buruk ini sebelum terlambat!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rivelle, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23 - Gombalan basi.
Entah apa yang terjadi padaku sejak kemarin. Ini benar-benar aneh. Rasanya seperti ada ribuan bunga yang sedang bermekaran dalam hatiku. Andai saja aku bisa membaca pikiran orang lain. Maka, orang pertama yang sangat ingin kuketahui isi lubuk hatinya adalah cowok itu, William. Sungguh tidak bisa dipungkiri lagi. Jalan pikirannya benar-benar rumit bagaikan mencari jarum dalam tumpukan jerami.
Mom pagi ini menyiapkan sereal dengan tambahan kacang almond dan yoghurt segar sebagai menu sarapan. Selain karena cepat dan praktis, Dad juga harus berangkat lebih awal untuk meeting bersama atasannya di kantor.
Kebetulan sekali aku pun sedang tidak ingin naik bus sekolah dulu hari ini. Bertemu dengan Will di sana hanya akan membuatku semakin kikuk. Bagaimana tidak? Wajahnya yang rupawan itu selalu tampak jelas dalam bayang-bayang otakku.
“Ayo, Kathleen. Kau sudah selesai belum?” tanya Dad seraya bangkit berdiri dari tempat duduknya.
“Ya, sebentar lagi, Dad. Kau duluan saja. Aku akan menyusul nanti,” sahutku lalu buru-buru melahap tiga sendok terakhir dari mangkuk.
“Baiklah, kalau begitu aku pergi ke depan dulu. Kau habiskan makananmu.” Ia mengambil tas kerjanya kemudian berjalan keluar untuk menyiapkan kendaraan.
Hari ini Dad terlihat sangat gagah dengan sepatu pantofel dan juga blazer abu tua yang cukup sedap dipandang oleh mata. Biasanya ia hanya memakai kemeja polos serta jas hitam. Tapi, kali ini ia harus berpakaian lebih rapi karena ada klien penting yang juga akan datang ke acara meeting. Sekadar informasi, ayahku bekerja sebagai manajer pemasaran di salah satu perusahan swasta yang berada di dekat kawasan Downtown Crossing. Ia sudah bekerja cukup lama di sana.
Selesai makan aku pun cepat-cepat menaruh mangkuk kotor di dapur dan menyusulnya ke depan. Ia terdengar sudah membunyikan klakson mobilnya beberapa kali—pertanda siap untuk berangkat.
Setiap pergi ke high school, aku pasti selalu melewati rumah William yang berada di ujung persimpangan jalan dari kompleks perumahan ini. Menurutku tempat kediamannya itu terbilang sangat artistik. Bercat putih gading dengan pagar hitam minimalis setinggi 2,5 meter yang dilengkapi ornamen batu alam sebagai desain eksteriornya.
Tepat saat itu pintu rumah yang memiliki nomor 214 tersebut tiba-tiba saja terbuka. William keluar dari sana sembari memakai jaket yang pernah ia pinjamkan padaku tempo lalu. Aku jadi teringat dengan aroma manis tubuhnya yang selalu berhasil membuat jantungku berdebar kencang.
Cowok itu terlihat melambaikan tangan pada seorang pria dewasa yang mengantarnya sampai ke teras depan. Itu adalah Mr. Thompson.
“Hati-hati di jalan, William!” Suaranya terdengar begitu lembut dan perhatian.
Dad melirikku. “Itu Willson, pemuda yang mengantarmu ke pesta kemarin, 'kan?” tanyanya sembari fokus memegang kemudi.
“William, Dad. Bukan Willson. Siapa Willson?” sahutku.
“Oh ya, maaf. Aku lupa,” balasnya sambil nyengir lebar. “Tapi kurasa sama saja.”
“Apanya yang sama?”
“Willson—William Anderson.”
Aku geleng-geleng kepala dan cuma bisa menepuk jidat mendengarnya.
***
Rencananya, sebelum masuk ke kelas pertamaku pagi ini aku ingin mengambil buku tugasku dulu yang sempat tertinggal di loker sejak akhir pekan kemarin. Namun, baru saja menginjakkan kaki di koridor, salah satu pemandangan yang menyebalkan sudah menantiku di depan sana. Aku yakin sorot mata itu memang sengaja sedang menungguku datang.
“Morning, Baby!” Steve mengedipkan sebelah matanya padaku.
Ia benar-benar genit dan aku benci itu. Sialnya, loker baruku berada persis di sebelah ruang kelasnya. Cowok berambut cokelat keemasan ini jadi selalu punya kesempatan untuk membuat mood-ku hancur seketika.
“Ada apa?” ketusku sambil menghela napas pendek.
“Aku suka warna bibirmu hari ini. Kau manis sekali,” rayunya sembari menyandarkan badan ke pinggir pintu. “Boleh aku menciumnya?”
“Kau mau kupukul?”
Ia malah tertawa. “Aku hanya bercanda, Baby. Tapi, kalau kau tadi menganggapnya serius juga tidak masalah. Aku bisa melakukannya sekarang,” balasnya seraya menyunggingkan senyum nakal.
Aku memutar bola mata.
Walaupun Steve memang terkenal playboy, kudengar dia belum pernah berpacaran dengan siapa pun. Yeah, tentu saja. Ia hanya main-main dan memainkan perasaan orang lain adalah hobinya. Dasar buaya darat.
Setelah mengambil buku tugas, aku langsung mengunci pintu lokerku kembali. Terkadang ruang sempit ini jadi seperti tempat penitipan barang kalau aku lupa menguncinya lagi—itu semua berkat anak-anak jail yang suka menaruh benda-benda aneh di sini tanpa sepengetahuanku.
Kutatap arloji kecil yang melingkar di tangan kiriku, kelas filsafat sebentar lagi akan dimulai. Aku pun pamit pergi, tapi Steve tiba-tiba malah menarik lenganku.
“Kathleen, tunggu sebentar!” Ia menyentuh puncak kepalaku begitu saja.
Spontan aku membulatkan mata karena terkejut.
“Sori, ada daun maple di rambutmu,” katanya kemudian menunjukkan daun kecil yang berwarna oranye kemerahan itu sebagai bukti.
“Oh, thank’s ....”
“Yeah, it’s okey.” Steve lalu beralih mengamati daun kecil itu secara intens. “Ngomong-ngomong, apa kau tahu makna dari daun maple ini?”
Aku mengedikkan bahu. “Entahlah.”
“Well, biar kuberi tahu. Karena tadi aku yang sudah mengambil daun ini dari atas kepalamu, itu berarti kau akan menjadi milikku suatu saat nanti.”
“Huh? Mana mungkin. Itu hanya mitos,” tampikku tak percaya.
“Ya, tapi siapa tahu bisa menjadi kenyataan, bukan?” Ia tersenyum lebar sementara aku hanya mengangkat satu alis dengan lirikan skeptis. Ada-ada saja.
“Aku duluan!” imbuhku, kemudian berjalan pergi dari sana.
Dari area pintu masuk, aku melihat William yang baru saja datang. Cowok itu langsung berbelok menaiki anak tangga menuju kelas filsafat di lantai dua. Ia berjalan cepat sekali. Kaki jenjangnya mampu meraup beberapa anak tangga sekaligus dalam sekali melangkah.
“William!” panggilku, namun ia tidak menoleh. Pandangannya menatap lurus pada layar ponsel yang sedang dipegangnya. Mungkin ia memang tidak dengar. Jadi, aku segera berlari menaiki tangga untuk mengejarnya. Kupanggil namanya beberapa kali dengan suara yang lebih lantang. Tapi, Will tetap tidak menoleh.
“William, tunggu!” teriakku lagi.
Nahasnya, sewaktu hampir tiba di depan ruang kelas kakiku malah tergelincir. Tubuhku hilang keseimbangan dan aku pun jatuh terduduk di lantai diiringi bunyi gedebuk yang menyakitkan. Semua orang yang sedang berada di koridor saat itu kaget—refleks menengok ke arahku, begitu juga dengan William. Ia akhirnya menoleh dan raut wajahnya langsung memancarkan rasa cemas.
“Ow!” Aku mengaduh sambil memegangi bokongku yang terasa nyut-nyutan.
Will memasukkan ponselnya ke dalam saku jaket serta berusaha ingin menolongku. Tetapi di saat tinggal beberapa langkah lagi, gerakan kakinya malah terhenti. Entah apa yang sudah terbesit dalam benaknya. Sekarang ia hanya berdiri mematung sembari menatapku dengan sorot ragu dari kejauhan.
“Kathleen, kau tidak apa-apa?” tanya Jillian khawatir. Ia menghampiriku dan berusaha membantuku berdiri.
Aku mengangguk dan tersenyum kecil. “Ya, aku baik-baik saja.”
“Jangan berlari. Lantainya masih licin. Petugas kebersihan tadi baru saja mengepelnya karena ada minuman yang tumpah.” Ia menunjuk tanda peringatan di samping mulut tangga.
“Oh, maaf. Tadi aku tidak lihat,” kataku lalu kembali melirik William. Cowok itu malah melangkah mundur dan berbalik pergi, masuk ke dalam kelas.
Ada apa dengan Will? Tidak biasanya dia mengabaikanku begitu.