NovelToon NovelToon
Reborn To Revenge

Reborn To Revenge

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Reinkarnasi / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Balas dendam dan Kelahiran Kembali / Bullying dan Balas Dendam
Popularitas:545
Nilai: 5
Nama Author: Lynnshaa

Seorang siswa SMA yang bernama Revan Abigail adalah siswa yang pendiam dan lemah ternyata Revan adalah reinkarnasi seorang Atlet MMA yang bernama Zaine Leonhart yang ingin balas dendam kepada Presdirnya.
Siapakah Zaine Leonhart yang sebenarnya? mengapa Zaine melakukan Reinkarnasi? Rahasia kelam apa yang disembunyikan Presdir itu?
Ikuti misteri yang ada di dalam cerita ini!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lynnshaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 12 - SUBJEK Z-07 DAN Z-09

Mobil melaju kencang di jalanan gelap, suara mesin bergemuruh di antara keheningan. Revan masih menatap layar ponsel, tangan gemetar setelah mendengar kata-kata Darius.

“Kau adalah Subjek Z-07, Revan. Sama seperti Zaine, namun kau menjalani subjek itu sejak masih kecil.”

Kalimat itu terus terngiang di kepalanya, seperti bom yang baru saja meledak dalam pikirannya.

"Revan?" suara Emma penuh kekhawatiran. "Kita bakal ngelakuin apa?"

Revan menutup matanya sesaat, mencoba menenangkan diri. "Kita cari tau lebih banyak tentang proyek ini. Kita harus tau siapa yang ada di balik semua ini."

Riko mendengus. "Sadar, lo gila? Orang-orang tadi hampir membunuh kita. Jika kita terus menggali, mereka nggak akan membiarkan kita lolos begitu aja."

"Nggak ada jalan kembali," Revan menjawab mantap. "Gue harus tau kebenarannya."

Mereka tiba di sebuah rumah kosong di pinggiran kota, tempat persembunyian yang telah disiapkan Emma jika keadaan darurat. Dindingnya usang, namun cukup aman untuk berlindung.

Revan duduk di meja kayu tua, menatap dokumen yang mereka curi dari arsip Distrik Selatan.

"Eksperimen Subjek Z-09"

"Zaine Leonhart—kondisi tidak stabil"

"Subjek Z-07 dalam pengawasan ketat—memori dimanipulasi"

Matanya menyapu setiap kata, lalu berhenti pada satu catatan kecil di bagian bawah halaman:

"Penanggung jawab: Dr. Alden Graves."

Nama itu… terdengar familiar. Tapi dari mana?

Emma mengetik cepat di laptopnya. "Dr. Alden Graves... Ah! Dia ilmuwan senior yang terlibat dalam berbagai proyek militer rahasia. Tapi lima tahun lalu, dia menghilang setelah laboratorium tempatnya bekerja terbakar habis."

Revan mengernyit. "Jadi dia orang yang bertanggung jawab atas eksperimen ini?"

"Atau seseorang yang tau lebih banyak dari yang kita duga," kata Emma.

Riko menyandarkan punggungnya ke sofa. "Katakanlah kita menemukan orang ini, lalu apa? Kita minta dia menjelaskan semuanya? Kau pikir dia akan langsung berbicara?"

"Kita tidak punya pilihan," sahut Revan. "Jika dia masih hidup, kita harus menemukannya."

Emma menggigit bibirnya. "Gue bisa mencoba melacaknya... Tapi ini tidak mudah. Jika dia benar-benar bersembunyi, pasti ada alasan besar."

Revan mengangguk. "Kita mulai dari tempat terakhir dia terlihat."

...***...

Pagi harinya, mereka menuju lokasi bekas laboratorium yang terbakar lima tahun lalu. Bangunan itu kini hanya reruntuhan, dengan dinding hangus dan puing-puing berserakan.

Emma membawa tablet dengan peta digital, mencari titik penting. "Menurut laporan, kebakaran ini bukan kecelakaan. Nggak ada mayat yang ditemukan, hanya abu dan beberapa sisa dokumen."

Revan melangkah hati-hati di antara reruntuhan, lalu matanya menangkap sesuatu—sebuah pintu baja setengah tertutup di lantai.

"Ini..." Ia berjongkok, menggeser puing-puing yang menutupi pintu itu. "Sepertinya ini jalan ke bawah tanah."

Riko membantu mendorong pintu itu. Dengan sedikit usaha, pintu akhirnya terbuka, memperlihatkan tangga gelap menuju bawah tanah.

Emma menelan ludah. "Ini terasa seperti awal dari film horor..."

"Atau awal dari kebenaran," gumam Revan, lalu mulai menuruni tangga.

Di bawah, mereka menemukan sebuah ruangan tua dengan meja-meja laboratorium berdebu. Di salah satu meja, ada berkas lama yang tidak ikut terbakar.

Revan mengambil satu map dan membuka halaman pertama.

"Proyek Venari—Eksperimen Genetika Tingkat Lanjut."

Tangannya gemetar saat membaca lebih jauh.

"Tujuan: mengembangkan manusia dengan kemampuan di atas normal melalui modifikasi genetik dan manipulasi memori. Subjek utama: Z-07 (Revan) dan Z-09 (Zaine). Percobaan menunjukkan reaksi berbeda pada setiap subjek."

Revan menatap tulisan itu, napasnya berat. "Jadi... mereka mengubahku. Sejak kecil."

Emma melihat halaman lain. "Ada catatan di sini… tentang efek samping jangka panjang. 'Subjek dapat mengalami aktivasi spontan jika terkena pemicu emosional atau ingatan tertentu.'”

Riko menatap Revan. "Itu sebabnya tadi malam mata lo bercahaya dan tubuh lo bereaksi aneh?"

Revan mengepalkan tangannya. "Jadi mereka nggak hanya mengubah tubuh gue… Mereka juga mengatur pikiran gue. Gue hidup dengan ingatan yang telah dimanipulasi selama ini."

Saat mereka masih mencoba mencerna informasi ini, suara langkah kaki terdengar di atas mereka.

Emma membelalakkan mata. "Seseorang ada di sini!"

Riko langsung menarik Revan ke belakang tumpukan meja. "Kita harus keluar dari sini, sekarang!"

Langkah kaki semakin mendekat. Dari balik bayangan, muncul seorang pria tua dengan jas laboratorium yang sudah kumal.

Matanya menatap mereka tajam.

"Kalian akhirnya menemukanku," katanya dengan suara berat.

Revan menegang. "Lo siapa?"

Pria itu tersenyum tipis.

"Aku Alden Graves. Dan jika kalian ingin tahu yang sebenarnya… kalian harus siap menghadapi sesuatu yang lebih besar dari yang bisa kalian bayangkan."

Revan berdiri tegang, menatap pria tua di hadapannya. Alden Graves—sosok yang selama ini mereka cari—ternyata masih hidup.

"Apa maksud lo?" tanya Revan, suaranya penuh kewaspadaan.

Alden melangkah mendekat, matanya mengamati mereka satu per satu. "Kalian sudah menemukan potongan kecil dari kebenaran, tapi kalian belum melihat keseluruhannya."

Emma melirik Revan, memberi isyarat untuk tetap waspada. "Kalo gitu, jelaskan," katanya dengan nada tajam.

Alden menarik napas panjang. "Proyek Venari bukan hanya tentang kalian berdua—Z-07 dan Z-09. Ini adalah proyek yang jauh lebih besar, melibatkan lebih banyak subjek daripada yang kalian kira. Kalian hanyalah bagian dari tahap awal."

Revan merasakan jantungnya berdegup kencang. "Berapa banyak?"

Alden menatapnya dalam. "Puluhan. Dan sebagian besar dari mereka sudah tidak bisa diselamatkan."

Emma membeku. "Apa maksud lo?"

Alden berjalan ke salah satu rak tua di laboratorium bawah tanah itu. Dia menarik sebuah map berdebu dan meletakkannya di atas meja. Dengan tangan gemetar, dia membuka halaman pertama.

"Laporan Percobaan Subjek Venari—Fase 3"

"Sebagian besar subjek mengalami degradasi seluler dan kehilangan kontrol kognitif. Hanya dua yang bertahan: Z-7 dan Z-9."

Revan menelan ludah. "Jadi… mereka semua mati?"

Alden mengangguk pelan. "Kecuali satu orang lagi yang selamat. Subjek X-1."

Emma langsung menoleh. "X-1? Siapa itu?"

Alden menghela napas. "Dia adalah proyek khusus. Tidak seperti kalian yang dimodifikasi sejak kecil, dia adalah hasil dari eksperimen tahap akhir. Lebih kuat. Lebih stabil. Dan dia sekarang ada di luar sana… mencari kalian."

Riko mendecak. "Hebat. Seperti itu nggak cukup buruk."

Revan mengepalkan tinjunya. "Lo tau dimana dia sekarang?"

Alden menggeleng. "Aku hanya tahu bahwa organisasi yang menciptakan kalian masih beroperasi. Mereka tidak pernah berhenti. Dan mereka sedang mencari kalian… terutama kau, Revan."

Suasana ruangan terasa semakin berat.

Emma menatap Alden curiga. "Kenapa lo membantu gue nemuin informasi ini, Dr. Graves? Kalo lo bagian dari proyek ini, kenapa lo melarikan diri?"

Alden menatap matanya dengan sorot penuh penyesalan. "Karena aku sadar… aku telah menciptakan monster."

Revan mengepalkan tangannya. "Jadi lo ngaku bahwa lo ikut bertanggung jawab?"

Alden mengangguk. "Dan itulah sebabnya aku bersembunyi. Tapi aku tahu, aku tidak bisa terus bersembunyi selamanya. Jika kalian ingin menghentikan proyek ini, ada satu tempat yang harus kalian datangi."

Emma dan Riko saling bertukar pandang.

"Di mana?" tanya Revan.

Alden menarik napas dalam-dalam. "Markas utama mereka… ada di sebuah fasilitas tersembunyi di utara. Dan di sanalah mereka menyimpan semua jawaban yang kalian cari."

Sebelum Revan sempat bertanya lebih lanjut, suara gemuruh terdengar dari atas.

BOOM!

Ledakan mengguncang laboratorium bawah tanah. Debu berjatuhan dari langit-langit.

Riko segera menarik pistolnya. "Sial! Mereka nemuin kita!"

Alden terlihat panik. "Mereka datang lebih cepat dari yang kuduga. Kita harus keluar dari sini sekarang!"

Suara langkah kaki memenuhi tangga menuju bawah tanah.

Emma menarik Revan. "Kita harus pergi!"

Revan menatap Alden. "Lo ikut dengan kami!"

Alden ragu sejenak, tapi akhirnya mengangguk. "Baik, tapi jalannya hanya satu—melalui terowongan rahasia di belakang ruangan ini!"

Mereka bergegas ke sudut ruangan, tepat saat sekelompok pria bersenjata turun dengan senapan teracung.

"AMBUSSH!" teriak Riko, sebelum melepaskan tembakan pertama.

Suasana langsung berubah kacau. Peluru berdesing di udara saat mereka berlari menuju pintu baja kecil di sudut ruangan.

Revan menggertakkan giginya. Aku akan menemukan kebenaran, dan aku akan menghancurkan mereka yang telah mengambil hidupku.

Tapi satu hal yang tidak ia sadari—di antara bayangan, seseorang sedang mengawasinya.

Seseorang dengan mata yang bersinar merah.

Revan menutup matanya, mencoba menenangkan napasnya yang memburu. Kata-kata Darius masih menggema di kepalanya.

...***...

Ingatan-ingatan yang samar mulai muncul, tapi semuanya berantakan—potongan gambar yang tak lengkap. Cahaya putih menyilaukan, suara mesin berdengung, dan seseorang berbicara dengan suara berat…

"Kita sudah menemukannya. Dia yang kita cari."

Revan menggertakkan giginya. Ia tak bisa percaya begitu saja, tapi tubuhnya… Tubuhnya merespons kata-kata Darius dengan cara yang tak bisa ia jelaskan.

"Gue nggak akan bermain dalam permainan lo, Darius," Revan akhirnya berkata. "Gue bakal nemuin kebenaran sendiri."

Tawa kecil terdengar di seberang telepon. "Silakan coba, Revan. Tapi ingat, semakin dalam kau mencari… semakin berbahaya semuanya."

Klik. Sambungan terputus.

Emma dan Riko menatapnya dengan waspada.

"Apa rencana lo sekarang?" tanya Riko.

Revan menggenggam dokumen di tangannya. "Kita ke tempat aman dulu. Lalu kita pecahkan ini."

...***...

Mereka tiba di apartemen Emma, sebuah tempat kecil yang tersembunyi di lantai atas gedung tua. Begitu masuk, Emma langsung menutup semua tirai dan mengaktifkan sistem pengacak sinyalnya.

"Kalo Darius beneran memantau kita, ini akan memperlambatnya," gumamnya sambil mengetik di laptop.

Riko duduk di sofa, sementara Revan membentangkan dokumen yang mereka bawa.

"Jadi," kata Riko, "apa yang sebenarnya kita hadapi di sini?"

Revan mengambil satu lembar kertas dengan label 'Proyek Venari – Eksperimen Z-0Seri'. Ia membaca isinya dengan seksama, lalu menatap mereka dengan ekspresi serius.

"Proyek ini… adalah penelitian untuk menciptakan manusia dengan kemampuan di luar batas normal," katanya pelan. "Mereka melakukan eksperimen genetika pada bayi dan anak kecil. Zaine adalah Subjek Z-09."

Emma menelan ludah. "Dan kau… Z-07."

Revan mengangguk perlahan. "Itu berarti gue udah menjadi bagian dari ini sejak dulu. Tapi gue nggak ingat apa pun."

Emma mulai mengetik sesuatu di laptopnya, mencoba mencari informasi tambahan. Layar berkedip beberapa kali sebelum akhirnya ia menemukan sesuatu.

"Ada arsip lama yang terhapus dari jaringan pemerintah," katanya. "Tapi gue bisa merekonstruksinya sebagian."

Mereka bertiga menatap layar. Sebuah gambar buram muncul—foto lama dari dalam laboratorium. Ada beberapa anak kecil di dalamnya, semuanya mengenakan pakaian rumah sakit.

Di sudut gambar itu, dua nama tertera:

Zaine Leonhart (Z-09)

Revan Abigail (Z-07)

Jantung Revan berdetak kencang.

"Jadi ini benar..."

Riko menunjuk bagian bawah layar. "Tunggu. Ada satu nama lagi."

Mereka melihatnya bersama-sama.

Darius Varen – Kepala Penelitian

Ruangan itu mendadak terasa lebih dingin.

"Darius..." bisik Revan. "BRENGSEK! Dia bukan hanya seseorang yang tahu tentang ini. Dia bagian dari proyek ini sejak awal."

Emma membolak-balik file yang mereka dapatkan dari arsip Distrik Selatan. "Tapi menurut catatan ini, proyek Venari dihentikan lima tahun lalu. Lalu kenapa Darius masih mengawasi kita?"

Revan mengepalkan tangannya. "Karena proyek ini mungkin nggak pernah beneran dihentikan."

Hening.

Kemudian Riko bersuara. "Kalo gitu, kita harus menemukan Darius dan memaksanya bicara."

Emma menatapnya dengan ragu. "Lo tau itu gila, kan?"

Riko mengangkat bahu. "Semua yang kita alami sejauh ini udah cukup gila."

Revan mengangguk. "Kita nggak bisa terus bersembunyi. Jika kita ingin tau kebenaran, kita harus melacak Darius."

Emma menarik napas dalam. "Gue bisa mencoba mencari jejaknya di sistem lama. Tapi kalo dia beneran ada di belakang semua ini, dia pasti akan berusaha menghentikan kita."

Revan menatap dokumen yang masih terbuka di depannya. "Biar dia mencoba. Gue nggak akan berhenti sekarang."

...***...

Emma akhirnya menemukan sesuatu. "Darius punya properti lama yang masih terdaftar atas namanya di pinggiran kota. Sebuah gudang tua. Bisa jadi dia ada di sana."

Tanpa membuang waktu, mereka bertiga langsung menuju lokasi.

Malam sudah larut ketika mereka tiba. Gudang itu terlihat sepi, tapi ada beberapa mobil hitam terparkir di dekatnya.

"Kita nggak sendiri," bisik Riko.

Revan menatap sekeliling, mengamati pintu masuk utama yang dijaga dua pria berbadan besar. "Kita butuh cara masuk tanpa menarik perhatian."

Emma menunjuk ke samping. "Ada pintu belakang. Kalo kita bisa mengalihkan perhatian mereka, kita bisa menyelinap masuk."

Riko menyeringai. "Serahkan pada gue."

Tanpa menunggu, ia mengambil batu besar dan melemparkannya ke salah satu jendela di sisi lain gudang. Kaca pecah dengan suara keras, membuat para penjaga menoleh kaget.

"Siap," kata Revan.

Mereka berlari cepat ke pintu belakang dan menyelinap masuk.

Di dalam, suasana terasa lebih menyeramkan. Lampu redup berkedip-kedip, dan ada suara mesin yang berdengung pelan.

Emma menarik tablet kecilnya dan mulai meretas sistem keamanan gudang. "Gue bisa membuka pintu utama ke ruang inti, tapi kita harus bergerak cepat."

Revan mengangguk dan melangkah lebih dalam. Di balik pintu besi besar di depan mereka, ia tahu—jawaban yang ia cari ada di dalam.

Dengan satu tarikan napas, ia mendorong pintu itu terbuka.

Dan di dalam, Darius sudah menunggu.

"Tepat waktu," katanya dengan senyum tipis.

Di belakangnya, layar besar menampilkan rekaman eksperimen lama. Anak-anak di dalam laboratorium.

Revan melihat dirinya sendiri—lebih muda, lebih kecil, dengan kabel-kabel yang menempel di tubuhnya.

Darius melangkah maju. "Kau ingin tau kebenaran, Revan?"

Revan mengepalkan tinjunya. "Gue udah sejauh ini. Gue nggak akan mundur sekarang."

Darius tersenyum, lalu menekan sesuatu di meja di sampingnya.

Ruangan bergetar.

Dan dari balik kaca tebal di belakang Darius, sebuah siluet muncul.

Revan menahan napas.

Karena sosok itu… adalah Zaine.

Masih hidup.

Tapi sesuatu tentang dirinya telah berubah.

1
Jing Mingzhu5290
Cepatlah melengkapi imajinasi kami, author!
nasipadangenakjir: bab 7 akan segera update yaa! terimakasih atas dukungannya 🤍
total 1 replies
Yuzuru03
Gilaaa ceritanya!
nasipadangenakjir: terimakasih! 🤍
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!