Alya tidak pernah menyangka hidupnya yang biasa akan berubah selamanya saat ia bertemu dengan Rheyan, sosok pria misterius dengan tatapan kelam dan aura yang terlalu menggoda. Ia datang di saat-saat antara hidup dan mati, membawa takdir yang tak bisa dihindari. Tapi yang tak ia duga, sang malaikat maut justru terpikat oleh kelembutan dan keberaniannya.
Di sisi lain, ada Davin, dokter penuh kasih yang selalu ada untuk Alya. Ia menawarkan dunia yang nyata, cinta yang hangat, dan perlindungan dari kegelapan yang perlahan menyelimuti kehidupan Alya.
Namun, cinta di antara mereka bukanlah hal yang sederhana. Rheyan terikat oleh aturan surgawi—malaikat maut tak boleh mencintai manusia. Sementara Alya harus memilih: menyerahkan hatinya pada keabadian yang penuh bahaya atau tetap berpijak pada dunia fana dengan seseorang yang bisa menjanjikan masa depan.
Ketika batas antara surga dan bumi kabur, bisakah cinta mengubah takdir? Atau justru cinta itu sendiri yang akan menghancurkan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irnu R, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rheyan yang Semakin Dekat, Tapi Semakin Hilang
Alya memandangi bayangannya di cermin, napasnya masih belum stabil sejak mimpi aneh tadi malam. Tangannya terangkat, menyentuh pipinya, mencoba memastikan bahwa dia benar-benar ada di sini, di dunia nyata. Tapi, kenapa sentuhan itu masih terasa nyata? Hangat, begitu nyata, seakan Rheyan benar-benar menyentuhnya.
Alya mengusap wajahnya, mencoba mengusir pikiran yang semakin kacau. Dia tidak seharusnya memikirkan hal ini terlalu dalam. Tapi, sejak kapan dirinya mulai merasa nyaman dengan kehadiran Rheyan? Sejak kapan sentuhannya yang bahkan tak nyata, terasa begitu nyata baginya?
Dia menghela napas panjang. Jika semua ini hanya khayalannya, kenapa perasaan itu tidak hilang? Kenapa justru semakin kuat, semakin nyata?
Dia menggeleng pelan. Ini hanya permainan pikirannya. Kelelahan dan kebingungan pasti membuatnya mulai berhalusinasi.
Tapi saat matanya kembali menatap cermin, sesuatu terasa berbeda. Bayangan di dalam sana tidak mengikuti gerakannya seperti seharusnya. Ada sedikit jeda, seolah cermin itu bukan sekadar pantulan, melainkan sesuatu yang lain.
Hawa dingin tiba-tiba menyelimuti kamar. Alya mengeratkan genggamannya pada kain selimut yang masih melingkari tubuhnya. Perasaan aneh menjalar di tengkuknya, seperti ada yang mengawasinya dari balik bayangan.
Dia mengumpulkan keberanian, lalu mendekat ke cermin. Perlahan, tangannya terulur, hampir menyentuh permukaannya—
"Alya."
Suaranya begitu pelan, hampir seperti bisikan. Tapi cukup untuk membuat tubuhnya menegang.
Dia berbalik cepat, dan di sana, di sudut kamarnya, berdiri sosok yang terlalu akrab dalam pikirannya.
Rheyan.
Matanya kelam, tak berpendar seperti biasanya. Wajahnya tetap tak terbaca, tetapi ada sesuatu dalam sorotannya. Ketegangan yang tak bisa disembunyikan.
"Kau…" Alya menelan ludah, mencoba menenangkan degup jantungnya. "Kenapa kau selalu muncul saat aku merasa aneh seperti ini?"
Rheyan diam, hanya menatapnya tanpa jawaban.
Alya mengerutkan kening, mendekat selangkah. "Ada sesuatu yang kau sembunyikan dariku, bukan?"
Rheyan tidak menjawab. Dia hanya berdiri di sana, membisu, seakan ada sesuatu yang menghalanginya untuk berbicara.
Alya menghela napas. Entah keberanian dari mana yang membuatnya berani bertanya lagi, "Jika aku menyentuhmu… apakah kau akan menghilang?"
Alya hampir mengulurkan tangannya, jarak mereka hanya beberapa langkah. Namun, ekspresi Rheyan membuatnya ragu. Ada ketakutan di sana, bukan ketakutan biasa, tapi sesuatu yang lebih dalam—seakan-akan dirinya adalah ancaman bagi keberadaan laki-laki itu.
Detik itu juga, Alya menahan diri. Jarinya mengepal di sisi tubuhnya, berusaha menekan dorongan untuk menyentuhnya. Dia ingin tahu lebih banyak, ingin memahami apa yang sebenarnya terjadi. Tapi jika satu sentuhan bisa membuat Rheyan menghilang… bisakah dia menanggung risikonya?
Seketika, ekspresi Rheyan berubah. Matanya sedikit melebar, lalu dalam sekejap, dia mundur.
"Alya, jangan," suaranya rendah, nyaris seperti peringatan.
Alya membeku di tempatnya. "Kenapa?"
"Kau tidak boleh menyentuhku," jawabnya, suaranya bergetar halus. "Jika kau melakukannya… aku akan semakin menghilang."
Kata-kata itu menusuk sesuatu di dalam diri Alya.
Menghilang?
Jantungnya berdetak lebih cepat. Sejak kapan ini terjadi? Apa artinya? Kenapa setiap kali dia ingin lebih dekat dengan Rheyan, laki-laki itu justru semakin menjauh?
Alya menggeleng, berusaha memahami semuanya. "Apa maksudmu? Kenapa aku tidak boleh menyentuhmu? Apa yang sebenarnya terjadi padamu, Rheyan?"
Rheyan terdiam. Matanya menatap Alya sejenak, lalu ia menunduk, seperti ada beban yang tidak bisa ia ungkapkan.
Alya merasa dadanya sesak. "Aku… aku tidak ingin kau menghilang," suaranya lebih pelan, hampir seperti bisikan.
Rheyan tetap tidak menjawab, tetapi ekspresi di wajahnya semakin sulit dibaca.
Sebelum Alya sempat mengatakan sesuatu lagi, cahaya kamar tiba-tiba meredup.
Bukan karena lampu padam.
Bukan karena malam semakin larut.
Tapi seolah ada sesuatu yang menyerap cahaya di ruangan ini.
Bayangan mulai bergerak di sudut kamar, seperti kabut hitam yang perlahan membentuk sesuatu. Udara semakin dingin, menusuk hingga ke tulang.
Alya merasakan ketakutan merayap di benaknya. Dia melirik Rheyan, berharap mendapatkan jawaban dari tatapannya.
Tapi yang dia lihat di mata laki-laki itu justru sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Ketakutan.
"Kita harus pergi dari sini," suara Rheyan terdengar lebih dalam, mendesak.
Alya tidak sempat bertanya apa yang terjadi ketika tiba-tiba bayangan itu bergerak lebih cepat. Ia merasakan tekanan yang tidak terlihat, seperti sesuatu berusaha menariknya masuk ke dalam kegelapan.
Rheyan mengulurkan tangannya ke arah Alya, tetapi tidak menyentuhnya.
"Alya, tutup matamu!"
"Apa?"
"Tutup matamu dan jangan buka sampai aku mengatakan sebaliknya!"
Alya ragu sejenak, tapi melihat bagaimana ekspresi Rheyan semakin tegang, ia akhirnya menurut. Dia memejamkan mata, jari-jarinya mengepal erat di sisi tubuhnya.
Beberapa detik berlalu.
Lalu, angin dingin berhembus, menerpa wajahnya.
Dan dalam sekejap, semuanya hening.
Alya masih menutup matanya, jantungnya berdebar kencang.
Kemudian, suara Rheyan kembali terdengar, lebih lembut kali ini. "Kau bisa membuka matamu sekarang."
Alya membuka mata perlahan.
Dia tidak lagi berada di kamarnya.
Udara di sekelilingnya lebih hangat, dan suara bising kota terdengar dari kejauhan. Dia mengedarkan pandangan, dan akhirnya menyadari bahwa mereka berada di atap sebuah gedung tinggi.
Dia menoleh ke Rheyan, yang kini berdiri di sisi lain, membelakanginya.
Alya mendekat dengan hati-hati. "Apa yang barusan terjadi?"
Rheyan menghela napas panjang, seolah tengah menenangkan dirinya sendiri sebelum menjawab. "Mereka sudah mulai bergerak."
"Mereka?"
Rheyan menatapnya, raut wajahnya penuh ketegangan. "Dunia ini memiliki aturan, Alya. Dan aku sudah terlalu banyak melanggarnya."
Alya menelan ludah. Ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tetapi firasatnya mengatakan satu hal. Sesuatu yang buruk akan terjadi jika Rheyan terus berada di dekatnya.
Tetapi, di saat yang bersamaan, ia juga merasa bahwa jika Rheyan menjauh… sesuatu dalam dirinya akan hilang.
Alya menatap lurus ke arah mata kelam itu, mencoba membaca apa yang tersembunyi di dalamnya. "Kalau begitu… apa yang harus kita lakukan?"
Rheyan diam beberapa saat sebelum menjawab, "Aku tidak tahu."
Alya menggigit bibir. Semua ini semakin rumit, dan semakin banyak pertanyaan yang tidak memiliki jawaban.
Satu hal yang ia tahu pasti. Perasaan ini semakin kuat.
Dan semakin ia mendekat, semakin ia merasa akan kehilangan Rheyan.
Ia tidak ingin itu terjadi.
Karena entah sejak kapan, Rheyan bukan hanya sekadar sosok asing yang selalu muncul di saat ia terancam.
Rheyan adalah sesuatu yang lebih dari itu.
Seseorang yang keberadaannya kini menjadi bagian dari dirinya.
Seseorang yang, jika benar-benar menghilang… akan meninggalkan kekosongan yang tidak akan bisa digantikan oleh siapa pun.
Rheyan mendekat, lalu berbisik di telinga Alya. "Jangan percaya pada siapa pun, bahkan padaku.’"
"Karena jika kau melakukannya… kau mungkin tidak akan pernah bisa kembali seperti semula."