Malam itu, Ajela dijual oleh ibunya seharga satu miliar kepada seorang pria yang mencari gadis perawan. Tak ada yang menyangka, pria tersebut adalah aku! Aku yang membeli Ajela! Dia dipaksa menjalani sesuatu yang belum pernah dia lakukan sebelumnya, dan Mama masih tega menganggap Ajela sebagai wanita panggilan?
Ajela dianggap tak lebih dari beban di keluarganya sendiri. Hidupnya penuh penderitaan—dihina, diperlakukan tidak adil, bahkan sering dipukuli oleh ibu dan kakak tirinya.
Demi mendapatkan uang, Ajela akhirnya dijual kepada seorang pria yang mereka kira seorang tua bangka, jelek, dan gendut. Namun, kenyataan berkata lain. Pria yang membeli Ajela ternyata adalah pengusaha muda sukses, pemilik perusahaan besar tempat kakaknya, Riana, bekerja.
Bagaimana Riana akan bereaksi ketika menyadari bahwa pria yang ia incar ternyata adalah orang yang membeli Ajela? Dan bagaimana nasib Ajela saat malam kelam itu meninggalkan jejak kehidupan baru dalam dirinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Banggultom Gultom, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
Sejak pertemuan dengan Ajela kemarin, Alvian tak dapat lepas dari bayang-bayang wanita itu.
Selalu saja menghantui dan mengikutinya ke manapun.
Sekeras apapun Alvian berusaha membuang Ajela dari pikirannya tetap tak bisa. Bahkan semalam ia bermimpi melihat Ajela menggendong bayi laki-laki.
Tangisan melengking itu sampai terngiang-ngiang di telinga.
"Aku pasti sudah gila. Kenapa dia selalu ada di pikiranku?"
Alvian baru tersadar dari lamunan saat mendengar bunyi klakson yang berasal dari kendaraan di belakang. Saat ini ia sedang dalam perjalanan pulang ke rumah, sebab mamanya sejak kemarin terus menghubungi dan memintanya untuk pulang.
Alvian pun menekan pedal gas, hingga mobil melaju di keramaian jalan. Berselang 15 menit perjalanan ia tiba di rumah keluarga Darmawan yang mewah dan megah. Kedatangannya pun disambut Mama Veny. Wanita paruh baya yang selalu tampak muda dan cantik itu tersenyum sambil memeluk putranya.
"Kamu dari mana saja, Al? Kenapa empat hari ini kamu tidak pulang dan susah dihubungi?"
Ya, empat hari ini Alvian menginap di apartemen miliknya untuk menenangkan diri.
Padatnya pekerjaan akhir-akhir ini membuatnya penat, sehingga butuh waktu untuk mengistirahatkan tubuhnya.
"Lagi banyak kerjaan, Mah.
Mama 'kan tahu seperti apa aku kalau sedang bekerja."
"Ya sudah, tidak apa-apa. Yang penting kamu jangan dekat-dekat dengan sembarang wanita. Mama tidak mau kamu salah pilih istri!"
Selalu saja itu yang dibahas mamanya. Hampir setiap bertemu ia selalu memperingatkan Alvian agar hati-hati dalam memilih istri. Sudah beberapa kali pula mama mencoba menjodohkan Alvian dengan anak teman sosialitanya.
Namun, semua gadis-gadis cantik itu ditolak Alvian mentah-mentah.
Mama Veny sampai khawatir jika anaknya itu seorang penyuka sesama jenis. Oh tidak! Memikirkan itu saja Mama Veny sudah ketakutan.
"Al, kapan sih kamu mau menikah? Mama sudah tidak sabar mau gendong cucu dari kamu." Mama Veny mengekor di belakang Alvian yang sedang menuju ruang tengah.
"Mah, sudah berapa kali aku bilang, untuk saat ini aku belum mau menikah."
"Tapi kamu sudah dewasa dan sudah matang untuk menikah. Kamu tunggu apa lagi sih, Nak?"
"Belum ketemu calon yang pas ," jawab Alvian datar.
Bibir Mama Veny mengerucut. Agak kesal dengan tingkah putranya itu. "Yang pas itu yang seperti apa, Al? Biar mama bantu carikan untuk kamu."
Tiba-tiba Alvian terdiam.Entah mengapa malah Ajela yang seketika muncul di pikirannya. Namun, ia membuang jauh-jauh pikiran konyol itu.
"Yang tidak cantik dan tidak glamor!"
Alvian tahu, calon-calon yang akan dipilih mamanya pasti gadis yang berasal dari keluarga kaya dan sepadan dengan mereka.
"Maksud kamu gadis jelek dan kolot, begitu?" Mata Mama Veny menyipit curiga.
Alvian menjawab dengan anggukan kepala.
"Ya ampun Alvian Setyo Darmawan! Kamu itu anak laki-laki mama satu-satunya.
Kamu harus cari jodoh yang benar-benar baik, jangan sembarangan wanita!" pekik wanita itu.Jantungnya terasa kembang kempis jika sudah membahas masalah jodoh dengan Alvian.
"Kenapa kamu tidak dekati Riana saja, sih? Dia itu wanita yang manis, cantik dan mama suka sama dia," tambahnya.
Tadinya Mama Veny mendekati Riana hanya untuk mengorek informasi tentang wanita-wanita yang dekat dengan Alvian. Tak disangka, ia dan Riana memiliki kegemaran yang sama malah jadi dekat dan kadang menghabiskan waktu bersama. Riana sangat pandai mencuri perhatian wanita itu.
"Riana? Sekretarisku?" Alvian menatap mamanya dengan kerutan tipis di dahi.
"Iya!"
Embusan napas Alvian terdengar berat. Kalau berbicara soal jodoh, Alvian memiliki kriteria sendiri yang tidak bisa ditawar-tawar. Sejujurnya ia tidak menyukai wanita karier. Istrinya nanti harus fokus mengurus suami dan anak, bukan bekerja.
Biasanya wanita yang bisa bekerja akan mengabaikan tanggung jawab sebagai istri dan ibu. Dan Alvian tidak ingin itu terjadi dalam rumah tangganya kelak. Ia ingin istri dan anaknya bergantung kepadanya saja.
"Kenapa harus Riana, Mah? Apa tidak ada wanita lain lagi?"
"Memang Riana kenapa? Mama rasa dia calon istri yang ideal untuk kamu. Dia cantik, pintar dan berkelas. Riana masuk kriteria calon menantu di keluarga kita."
Alvian tak lagi menanggapi ucapan mamanya. Jika ini diteruskan mungkin mereka akan berdebat panjang, dan Alvian tidak pernah sanggup jika harus berdebat dengan mama.
"Oh ya, malam ini mama undang Riana untuk makan malam di rumah kita. Mama harap kamu bisa membuka mata dan hati kamu.
Alvian melonggarkan dasi yang melilit kerah kemeja. Saat ini ia benar-benar sedang malas membicarakan soal jodoh.
"Sudah ah, aku mau mandi dulu, gerah!"
Tanpa menunggu jawaban dari Mama Veny, Alvian sudah melangkah menuju kamarnya yang berada di lantai atas.
Menghabiskan beberapa menit dengan berendam di air hangat.
Tubuhnya yang lelah menjadi lebih segar setelah mandi.
**
Alvian masih terfokus dengan layar laptop ketika terdengar ketukan pintu. Beginilah keseharian Alvian. Saat pulang ke rumah, ia akan lebih banyak menghabiskan waktu di kamar dan melanjutkan pekerjaan.
"Masuk, tidak dikunci!"
ujarnya.
Pintu pun terbuka dan memunculkan seorang asisten rumah tangga. Alvian hanya melirik sekilas, lalu kembali terfokus dengan layar laptop.
"Permisi, Den. Makan malam sudah siap. Den Alvian sudah ditunggu ibu di bawah."
"Sebentar lagi, Bik. Bilang ke mama saya akan turun dalam 10 menit."
"Baik, Den. Saya permisi."
Setelah kepergian Bik Marni, Alvian mematikan laptop.
Kemudian menuju ruang makan.
Di sana sudah ada Riana dan Mama Veny. Keduanya tampak sedang mengobrol seru. Entah membicarakan apa. Tanpa kata Alvian bergabung di meja makan.
Ia bahkan tak melirik Riana sedikitpun.
"Selamat malam, Alvian," ucap Riana seraya mengumbar senyum.
Sejak beberapa bulan ini, Riana tak lagi memanggil Alvian dengan sebutan 'tuan' jika di luar kantor.Alvian sendiri tak mempermasalahkan. Lebih tepatnya tidak peduli.
"Hemm." Alvian hanya menjawab dengan deheman.
Membuat Mama Veny mencubit pinggang putranya itu.
"Kamu kok cuma jawab hemm hemm begitu? Yang benar, Alvian!"
"Maaf, Mah. Lagi sariawan!"
Mama benar-benar kehilangan akal sehat menghadapi putranya itu.
Alvian sama sekali tak melirik Riana. Padahal malam ini Riana tampil maksimal dengan dress berwarna biru navy. Semua benda yang melekat di tubuhnya adalah barang-barang branded yang mahal. Tentu saja makan malam ini ia manfaatkan untuk tampil secantik mungkin. Kalau bisa ia harus membuat Alvian dan mamanya terpesona.
"Kamu cantik sekali malam ini, Riana," puji Mama Veny.
"Makasih, Tante," balasnya dengan senyum. "Tante juga cantik dan anggun."
Riana melirik menu yang tersedia di meja makan. Menu makan malam di rumah orang kaya memang sangat berbeda. Terkesan mahal dan lezat.
Makan malam pun berlangsung dengan obrolan Mama Veny dan Riana. Sementara Alvian lebih banyak diam. Ia terkesan tidak peduli dengan obrolan dua wanita itu.
"Oh ya Riana, orang tua kamu di mana? Kenapa kamu tidak ajak makan malam bersama kita?" Pertanyaan dari Mama Veny membuat Riana hampir tersedak makanan yang baru saja akan ia telan.
Sejenak ia menenggak air putih, lalu mengusap bibirnya dengan tissue.
"Orang tua saya tinggal di luar negeri, Tante. Papi saya punya perusahaan tambang dan sejak papi meninggal, mami yang urus."
"Orang tua kamu punya perusahaan di luar negeri?" Mama Veny tampak terpukau.
Riana mengangguk sembari mengulas senyum. "Iya, Tante."
"Tapi kalau orang tua kamu punya perusahaan sendiri, kenapa kamu mau kerja jadi sekretaris di perusahaan Alvian? Kenapa tidak bantu mami kamu mengurus perusahaannya saja?"
Lagi, pertanyaan itu membuat Riana terdiam selama beberapa saat. Mama Veny memang tergolong ibu-ibu kepo. Ia akan menanyakan apapun untuk memuaskan keingintahuannya.
"Saya cuma mau cari pengalaman kerja, Tante."
"Wah, bagus sekali, Sayang. Tante kagum sama kamu, loh. Mandiri dan tidak memanfaatkan fasilitas dari orang tua." Mama Veny melirik putranya. "Tuh Al, Riana kurang apa coba? Sudah cantik, pintar, mandiri lagi."
Alvian tak menanggapi ucapan mamanya. Membuat Riana mengerucutkan bibir. Kesal dengan sikap Alvian yang dinilainya sangat jual mahal.
Untung ada Mama Veny yang sangat baik kepadanya dan selalu mendukung.
Riana baru saja akan menyeruput secangkir teh hangat ketika hal tak terduga terjadi. Bola matanya membulat penuh saat menatap salah satu ART yang sedang menghidangkan makanan penutup. kenapa tidak, sosok ART itu ternyata adalah Bu Nana, ibunya.
Selama ini Riana memang mengetahui bahwa ibunya bekerja sebagai seorang asisten rumah tangga di rumah orang kaya.
Namun, ia sama sekali tak menyangka bahwa ternyata ibunya bekerja di rumah keluarga Darmawan.
"Uhuk uhuk!" Riana terbatuk-batuk akibat tersedak teh.
Bu Nana juga baru menyadari keberadaan Riana di rumah itu pun sama terkejutnya.
"Kamu kenapa, Riana?" tanya Mama Veny.
"Tidak apa-apa, Tante." Sekilas Riana melirik Bu Nana.
Jantungnya seperti hendak terlepas dari dadanya. Apalagi saat ini Bu Nana sesekali menatap ke arahnya. Riana benar-benar berharap ibunya tidak sembarangan bicara dan membongkar semua kebohongannya.
Melalui gerakan mata, Riana memberi isyarat kepada sang ibu, yang bisa langsung ditangkap wanita itu.
"Oh ya, Riana, kasih tahu tante kalau mami kamu pulang ke Indonesia, ya. Tante pengen kenal sama mami kamu supaya kita bisa lebih dekat lagi," pinta Mama Veny.
"Iya, Tante," balas Riana tiba-tiba sungkan.
**
Selepas makan malam, mereka menghabiskan waktu di ruang keluarga. Riana diam-diam beranjak menuju dapur sambil celingukan mencari ibunya.
Kebetulan Mama Veny dan Alvian sedang mengobrol serius tentang masalah perusahaan.
Begitu tiba di dapur, terlihat Bu Nana sedang membersihkan peralatan makan. Riana menarik tangan ibunya itu menuju sudut ruangan. Sambil sesekali memperhatikan keadaan sekitar demi memastikan tidak ada yang melihat mereka di sana.
"Apa sih kamu, Riana?" pekik Bu Nana kesal.
"Stttt!" Riana meletakkan jari di depan mulut. "Bu, jangan sampai mamanya Alvian tahu kalau aku adalah anak Ibu. Aku bisa malu dan rencanaku bisa berantakan," bisik Riana. Membuat Bu Nana membulatkan mata.
"Kamu malu mengakui ibu sebagai ibu kandung kamu?"
"Maksud aku bukan begitu, Bu.
Untuk bisa mendapatkan Alvian, aku harus pura-pura jadi anak orang kaya. Kalau Tante Veny tahu aku anak pembantu, mana mau dia menjodohkan Alvian sama aku," ujarnya.
Ucapan Riana pun membuat Bu Nana terkejut. "Jadi bos kamu yang selama ini kamu ceritakan ke ibu itu Den Alvian, ya?"
"Iya, Bu."
Bu Nana tampak semakin terkejut. Kebetulan sekali bos Riana ternyata adalah bos ibunya juga.
"Jadi sekarang bagaimana?"
"Ya Ibu harus diam dan jaga rahasia," ujar Riana menekan. "
Lagian kenapa Ibu tidak cari tempat lain untuk bekerja, sih? Kenapa harus di rumah keluarganya Alvian?"
"Mana ibu tahu kalau Den Alvian itu bos kamu!"
Riana mendesah kesal. "Ya sudah, sekarang aku minta ibu berhenti saja dan cari pekerjaan di tempat lain."
"Tidak bisa, Riana. Ibu punya banyak hutang sama Bu Veny. Kalau kamu punya uang sana bayarin hutang ibu."
"Memang berapa hutang Ibu sama Tante Veny?"
"80 juta!"
Sebenarnya uang itu dipinjam pinjam Bu Nana untuk tambahan saat Riana ingin membeli sebuah mobil. Sedangkan uang satu miliar yang didapatkan dari hasil menjual Ajela telah habis untuk membeli rumah baru dan memenuhi kebutuhan Riana yang lain.
"Aku mana punya uang sebanyak itu, Bu?"
Selama ini gaji Riana digunakan untuk memenuhi gaya hidupnya yang berlebihan atau pergi ke salon kecantikan untuk melakukan perawatan tubuh dan wajah yang mahal. Bahkan ia sampai rela berhutang sana-sini hanya untuk menunjang penampilan.
Riana yang tidak ingin ketahuan sebagai anak orang susah nekat melakukan berbagai cara untuk terlihat cetar.
"Riana, sedang apa kamu di sini?" Suara Mama Veny yang tiba-tiba muncul dari belakang membuat Riana terlonjak.
Bersambung ~