"Ada rahasia yang lebih dalam dari kegelapan malam, dan ada kisah yang lebih tua dari waktu itu sendiri."
Jejak Naga Langit adalah kisah tentang pencarian identitas yang dijalin dengan benang-benang mistisisme Tiongkok kuno, di mana batas antara mimpi dan kenyataan menjadi sehalus embun pagi. Sebuah cerita yang mengundang pembaca untuk menyesap setiap detail dengan perlahan, seperti secangkir teh yang kompleks - pahit di awal, manis di akhir, dengan lapisan-lapisan rasa di antaranya yang hanya bisa dirasakan oleh mereka yang cukup sabar untuk menikmatinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HaiiStory, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bisikan dalam Keheningan
Mei menatap teh yang baru diseduhnya dengan campuran rasa takut dan penasaran. Air dari sumur belakang yang biasanya jernih kini memiliki rona keperakan yang aneh, seperti cahaya bulan yang tertangkap dalam kristal. Di hadapannya, Wei An tetap duduk dengan tenang, seolah waktu adalah sahabat yang sangat akrab dengannya.
"Apa yang harus saya lakukan?" tanya Mei akhirnya, suaranya nyaris berbisik.
"Tidak ada," jawab Wei An, matanya terfokus pada teko. "Biarkan teh itu yang memilih apa yang ingin dia tunjukkan padamu."
Mei ingin bertanya apa maksudnya, tapi kemudian sesuatu mulai terjadi. Uap yang mengepul dari teko mulai membentuk pola-pola aneh—bukan spiral biasa yang selalu dia lihat, tapi lengkungan-lengkungan yang mengingatkannya pada tulisan kuno yang pernah dia lihat di kuil tua di kaki Gunung Huangshan.
"Saya..." Mei terdiam sejenak, mencoba menemukan kata-kata yang tepat. "Saya bisa mencium sesuatu. Tapi bukan aroma teh."
Wei An mengangguk perlahan. "Apa yang kau cium?"
"Seperti... seperti perpustakaan tua. Kertas-kertas kuno dan tinta yang sudah mengering. Tapi juga seperti..." Mei mengerutkan keningnya, "...seperti hujan yang turun di atas batu-batu panas. Dan ada sesuatu yang lain... sesuatu yang mengingatkan saya pada..."
"Pada apa?"
"Pada mimpi yang saya lupakan saat bangun tidur."
Untuk pertama kalinya sejak dia melangkah masuk ke kedai, seulas senyum tulus muncul di wajah Wei An. "Kau benar-benar putri ayahmu."
"Anda mengenal ayah saya?"
"Aku mengenal banyak hal, Nona Zhang. Termasuk mengapa ayahmu memilih untuk pergi tiga tahun lalu, tepat saat festival musim semi."
Mei hampir menjatuhkan cangkir yang dipegangnya. "Ayah... ayah tidak pergi. Dia..." Dia berhenti, menyadari bahwa dia tidak pernah benar-benar tahu apa yang terjadi. Suatu pagi, ayahnya hanya... tidak ada. Tidak ada pesan, tidak ada penjelasan. Bahkan tidak ada tanda-tanda dia pernah berkemas.
"Kau pernah bertanya-tanya mengapa dia selalu melarangmu menggunakan air dari sumur belakang?" Wei An mengalihkan pembicaraan dengan mulus. "Atau mengapa lukisan naga itu—" dia menunjuk ke dinding, "—selalu tampak berbeda setiap kali kau melihatnya di bawah cahaya yang berbeda?"
Mei mengangkat wajahnya ke arah lukisan. Benar saja, dalam cahaya senja yang semakin redup, naga dalam lukisan itu tampak lebih... hidup. Seolah-olah sisik-sisiknya bergerak perlahan, berkilau dengan warna yang tidak bisa dia jelaskan.
"Ini semua... tidak masuk akal," Mei menggeleng pelan.
"Tidak semua hal perlu masuk akal untuk menjadi nyata, Nona Zhang. Terkadang, hal-hal yang paling nyata adalah hal-hal yang paling sulit dijelaskan oleh logika." Wei An mengangkat cangkir tehnya, menghirup aromanya dengan khidmat. "Seperti bagaimana kau selalu bisa mendengar air mendidih sebelum orang lain. Atau bagaimana kau bisa tahu teh mana yang tepat untuk setiap pelanggan, bahkan sebelum mereka menyebutkan apa yang mereka inginkan."
Mei merasakan dingin menjalar di punggungnya. Bagaimana orang ini bisa tahu tentang hal-hal itu?
"Tanda di tanganmu," Wei An melanjutkan, "bukan sekadar hiasan. Itu adalah segel—atau lebih tepatnya, kunci."
"Kunci untuk apa?"
"Untuk membuka sesuatu yang seharusnya tetap tertutup." Suara Wei An berubah serius. "Atau mungkin, untuk menutup sesuatu yang tidak seharusnya terbuka. Tergantung dari mana kau melihatnya."
Tiba-tiba, angin dingin bertiup masuk melalui jendela yang tertutup, memadamkan lilin-lilin di meja. Untuk sesaat, kedai tenggelam dalam kegelapan. Ketika Mei berhasil menyalakan lilin kembali, Wei An sudah tidak ada di kursinya.
Di atas meja, di samping cangkir teh yang masih penuh, tergeletak sebuah amplop tua dari kertas yang tampak mahal. Di bagian depannya, tertulis dalam kaligrafi yang indah: "Untuk saat bulan bersembunyi di balik awan."
Mei mengambil amplop itu dengan tangan gemetar. Tepat saat itu, dia mendengar suara gemerincing lonceng dari arah Kuil Naga Tidur di atas bukit—sesuatu yang aneh, mengingat kuil itu sudah ditutup dan ditinggalkan selama lebih dari seratus tahun.
Di pergelangan tangannya, tanda berbentuk sisik naga itu kini bersinar lebih terang, membentuk pola yang tampak seperti peta ke suatu tempat yang tidak dia kenal. Dan dari sumur belakang, samar-samar terdengar suara seperti nyanyian kuno dalam bahasa yang tidak pernah dia dengar sebelumnya.
Mei menatap amplop di tangannya, lalu ke arah lukisan naga yang kini tampak sepenuhnya berbeda—bukan lagi lukisan usang yang memudar, tapi sebuah karya yang hidup dan bernapas. Dia tahu bahwa membuka amplop itu akan mengubah hidupnya selamanya. Pertanyaan dalam benaknya, apakah dia siap untuk perubahan itu?
Dengan jari-jari yang sedikit gemetar, Mei mengangkat amplop itu ke arah cahaya lilin. Kertas tuanya tampak hampir transparan, dan untuk sesaat dia mengira melihat tulisan-tulisan kuno bergerak seperti air di baliknya. Saat dia membaliknya, segel lilin yang menahannya tertutup memiliki lambang yang sama dengan tanda di pergelangan tangannya—sisik naga yang disusun dalam pola melingkar.
"Belum," bisik sebuah suara dalam kepalanya. Bukan suara Wei An, bukan pula suaranya sendiri. Suara itu terdengar seperti gemerisik daun teh kering yang tertiup angin, seperti bisikan air yang mengalir di bawah tanah. "Tunggu sampai bulan benar-benar bersembunyi."
Mei meletakkan amplop itu di dalam laci meja tehnya, di bawah buku catatan resep teh warisan ibunya. Saat dia melakukan itu, matanya menangkap sesuatu yang aneh di halaman belakang buku—tulisan tangan yang tidak dia kenali, muncul seolah-olah baru saja ditulis dengan tinta yang masih basah: "Rahasia tersembunyi dalam tiga tetes air yang tidak pernah jatuh."
Di luar, suara lonceng dari Kuil Naga Tidur kembali terdengar, kali ini lebih keras dan lebih jelas. Mei berjalan ke jendela, menatap ke arah bukit tempat kuil tua itu berdiri. Dalam keremangan senja, dia melihat sesuatu yang membuatnya menahan napas—cahaya-cahaya kecil, seperti kunang-kunang keperakan, menari-nari di sekitar menara kuil yang sudah runtuh.
Mendadak, aroma teh yang masih tersisa di cangkir Wei An berubah. Mei mendekat dan menghirupnya perlahan. Kali ini, yang tercium adalah aroma yang membuatnya teringat akan sesuatu yang belum terjadi—seperti kenangan dari masa depan yang mengalir mundur. Dalam aroma itu, dia melihat dirinya berdiri di depan sebuah gerbang batu kuno, tangannya terangkat, dan tanda di pergelangan tangannya bersinar seperti bulan purnama.
"Nona Mei?" Sebuah suara mengejutkannya. Liu Shan berdiri di ambang pintu dengan wajah pucat. "Maaf mengganggu, tapi... ada yang aneh dengan teh yang Anda berikan tadi pagi. Saya... saya mulai mengingat hal-hal yang tidak pernah saya alami. Mimpi-mimpi tentang naga dan perpustakaan kuno dan..." dia berhenti, matanya melebar saat melihat tanda di pergelangan tangan Mei yang masih berpendar samar.
Mei cepat-cepat menyembunyikan tangannya, tapi terlambat. Liu Shan sudah melihatnya, dan dari cara dia menatap, Mei tahu bahwa pemuda itu juga terlibat dalam apapun misteri yang sedang terbentang di hadapannya. "Shan," dia berkata perlahan, "ceritakan padaku tentang mimpi-mimpi itu."
"Saya melihat Anda," Liu Shan berbisik, suaranya bergetar. "Dalam mimpi itu, Anda berdiri di depan lima cermin kuno, dan dari setiap cermin, seekor naga menatap balik. Tapi yang paling aneh adalah..." dia menelan ludah, "salah satu naga itu memiliki mata yang sama persis dengan milik tuan Wei An."
Di luar, awan-awan mulai bergerak menutupi bulan, dan dalam kegelapan yang perlahan turun, Mei Zhang dalam kebingungan. Dia harus membuat keputusan yang akan mengubah tidak hanya takdirnya, tapi juga takdir dunia yang bahkan dia sendiri tidak tahu dan menyadarinya.