Xin Lian, seorang dukun terkenal yang sebenarnya hanya bisa melihat hantu, hidup mewah dengan kebohongannya. Namun, hidupnya berubah saat seorang hantu jatuh cinta padanya dan mengikutinya. Setelah mati konyol, Xin Lian terbangun di dunia kuno, terpaksa berpura-pura menjadi dukun untuk bertahan hidup.
Kebohongannya terbongkar saat Pangeran Ketiga, seorang jenderal dingin, menangkapnya atas tuduhan penipuan. Namun, Pangeran Ketiga dikelilingi hantu-hantu gelap dan hanya bisa tidur nyenyak jika dekat dengan Xin Lian.
Terjebak dalam intrik istana, rahasia masa lalu, dan perasaan yang mulai tumbuh di antara mereka, Xin Lian harus mencari cara untuk bertahan hidup, menjaga rahasianya, dan menghadapi dunia yang jauh lebih berbahaya daripada yang pernah dia bayangkan.
"Bukan hanya kebohongan yang bisa membunuh—tapi juga kebenaran yang kau ungkap."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seojinni_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4 : Kehidupan dan Kematian
Hari itu, Xin Lian menerima panggilan dari seorang klien yang tinggal di apartemen tua di pinggiran kota. Klien tersebut mengeluh bahwa rumahnya dihantui oleh roh seorang mantan gangster yang suka membuat kekacauan.
“Roh ini terus menggangguku, Nona Xin. Dia membanting pintu, melempar barang, bahkan menyalakan TV tengah malam!” keluh kliennya dengan wajah putus asa.
Dengan sedikit rasa enggan, Xin Lian menerima tugas tersebut. Begitu memasuki apartemen yang suram itu, hawa dingin yang menusuk langsung menyergap tubuhnya. Suara tawa keras yang menggema mengisi setiap sudut ruangan, membuat darahnya mendidih.
“Siapa yang berani mengganggu kedamaianku?” Suara itu terdengar penuh amarah, diikuti dengan kemunculan sosok pria bertubuh kekar yang mengenakan jaket kulit. Dia berdiri santai, dengan senyum mengejek yang menghiasi wajahnya.
Xin Lian menatapnya tajam, matanya berkilat penuh tantangan. “Kau pikir aku takut dengan hantu sepertimu?” ujarnya dengan nada tegas, suaranya dingin seperti es.
Roh gangster itu terkekeh, matanya menyala penuh kebencian. “Aku dulu adalah raja di kota ini, dan sekarang kau datang untuk mengusirku? Hahaha, bodoh sekali.”
Tanpa memberi kesempatan untuk melanjutkan, Xin Lian mengangkat tangannya, melemparkan sebuah mantra yang terukir di udara. Tetapi roh itu menghindar dengan cepat, bergerak lincah seperti bayangan. “Kau pikir aku akan terjebak oleh trik murahan seperti itu?” kata roh itu dengan penuh ejekan.
Satu demi satu, Xin Lian melancarkan serangan, tetapi setiap kali roh itu menghindar dengan gesit, seolah tak ada yang bisa menandingi kelincahannya. Amarah mulai menyelimuti Xin Lian, namun dia tetap tenang, matanya menyala penuh tekad.
Tiba-tiba, tanpa peringatan, pria hantu yang familiar muncul di belakangnya, dengan tatapan tajam yang penuh wibawa. “Cukup,” suaranya menggelegar, penuh kekuatan. “Kau mengganggu yang salah.”
Roh gangster itu terkejut, tampak ketakutan, namun dia berusaha untuk tetap menunjukkan kekuatan. “Kau siapa? Jangan kira aku takut pada orang sepertimu!” teriaknya dengan suara bergetar.
Pria itu tidak menjawab, hanya melangkah maju dengan aura yang begitu kuat hingga membuat udara di sekitar mereka terasa berat. “Pergi sekarang, atau aku yang akan mengusirmu.”
Roh gangster itu gemetar, wajahnya yang sebelumnya penuh kebencian kini dipenuhi ketakutan. “Baik, baik! Aku pergi! Tapi ingat, aku akan kembali jika dia tidak membayar dengan benar!” teriaknya, lalu sosoknya menghilang begitu saja, seperti tertelan oleh kegelapan.
Xin Lian menatap pria itu dengan kebingungan yang tercermin jelas di wajahnya. “Kenapa kau selalu muncul saat aku sedang kesulitan?”
Pria itu hanya tersenyum tipis, matanya menatapnya dengan penuh arti. “Karena kau selalu memikirkan aku.”
Xin Lian mendengus kesal, namun hatinya berdebar lebih cepat dari biasanya. “Jangan terlalu percaya diri,” ujarnya dengan nada yang mencoba terdengar tenang, meski dalam hatinya ada perasaan yang sulit dijelaskan.
***
Kekacauan di Kamar Mandi
Tentu, berikut adalah kelanjutan adegan kekacauan di kamar mandi dengan gaya bahasa Tiongkok yang lebih sesuai dengan karakter Xin Lian:
Setelah menyelesaikan tugasnya, Xin Lian pulang ke rumah dengan tubuh yang terasa lelah. Namun, dia tidak terlalu peduli dengan kelelahan itu. Yang ada di pikirannya adalah keinginannya untuk merendam tubuhnya dalam air hangat, melepaskan segala penat yang mengikat.
Sesampainya di kamar mandi, dia membuka keran air, membiarkan air hangat mengalir ke dalam bak mandi. Aroma sabun mandi yang menenangkan mulai memenuhi ruangan. Xin Lian melemparkan pakaian luarannya ke samping dan mulai berendam, menikmati sensasi air hangat yang menyentuh kulitnya.
Namun, kedamaian yang ia rasakan tidak bertahan lama. Suara langkah kaki yang familiar terdengar di belakangnya. Tanpa menoleh, Xin Lian sudah tahu siapa yang datang.
“Kau lagi?” gumamnya, suara penuh kejengkelan.
Dia menoleh dengan cepat, hanya untuk menemukan pria hantu itu berdiri di sana, tanpa pakaian, dengan wajah yang terlihat begitu tenang seolah tidak ada yang aneh.
“Kenapa kau tidak berpakaian?” tanya Xin Lian dengan nada yang tak bisa menyembunyikan rasa marahnya.
Pria itu memandang tubuhnya sendiri dengan santai, seolah itu hal yang biasa. “Aku hantu. Kenapa aku harus berpakaian?” jawabnya, suara datar dan penuh keyakinan.
“Bukan masalah itu!” Xin Lian berteriak, wajahnya memerah karena marah dan malu. “Hormati sedikit privasiku!”
Dia segera mengambil handuk yang ada di dekatnya dan melemparkannya ke arah pria itu, berharap bisa membuatnya pergi. Namun, pria itu hanya tersenyum tipis, tidak terpengaruh dengan amarah Xin Lian yang semakin membara.
Xin Lian mengalihkan pandangannya, berusaha menenangkan diri. Tapi, saat itulah kakinya terpeleset di lantai kamar mandi yang licin karena sabun yang tumpah. Tubuhnya jatuh dengan posisi yang sangat tidak wajar, dan kepalanya terbentur keras ke lantai.
“Xin Lian!” Pria itu berteriak, namun dia tidak bisa berbuat apa-apa. Tangan hantu itu tidak bisa menyentuhnya, meskipun jelas terlihat keinginan untuk membantu.
Xin Lian merasakan kepalanya pusing dan pandangannya mulai kabur. Rasa sakit yang tajam mengalir di sekujur tubuhnya, namun seiring dengan hilangnya kesadaran, dia bisa mendengar suara pria itu memanggil namanya, penuh kecemasan.
“Xin Lian, jangan mati di sini. Jangan tinggalkan aku.”
Namun, kata-kata itu semakin jauh, seolah terhalang oleh kabut tebal yang menyelimuti kesadarannya. Dalam kegelapan itu, hanya ada satu hal yang bisa dia rasakan—perasaan aneh yang mengalir di dalam dadanya. Sebuah rasa yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya, sebuah rasa yang lebih dalam dari sekadar amarah atau kebencian.
***
Gerbang Kehidupan dan Kematian
Saat Xin Lian membuka matanya, ia mendapati dirinya berada di sebuah ruang luas yang diselimuti kabut tipis. Udara di sekitarnya terasa berat, seolah-olah waktu itu sendiri terhenti. Di hadapannya, seorang pria tua berjanggut putih duduk di belakang meja kayu yang tampak usang. Tangannya yang cekatan memainkan biji-biji batu di atas papan catur yang tampak sudah sangat tua.
"Ah, kau akhirnya datang," suara pria itu terdengar tenang, tanpa sedikit pun rasa terkejut, seolah-olah ia telah menunggu kedatangannya sejak lama.
Xin Lian mengerutkan kening, kebingungannya semakin dalam. "Di mana ini? Apa aku sudah mati?" tanyanya, suaranya terdengar lebih seperti gumaman daripada pertanyaan yang jelas.
Pria tua itu tertawa ringan, namun tawa itu tidak mengandung kebahagiaan. “Tidak sepenuhnya. Kau hanya... transit. Namun, jika kau ingin kembali, aku bisa mengirimmu.”
Xin Lian menatapnya tajam, perasaan cemas mulai menyelimutinya. “Kenapa? Mengapa aku ada di sini? Apa yang terjadi padaku?” Suaranya bergetar, mencoba mencari jawaban atas segala ketidakpastian yang mengelilinginya.
Pria tua itu berhenti sejenak, matanya yang dalam dan penuh kebijaksanaan menatap Xin Lian dengan senyum misterius. “Karena ada tugas yang belum kau selesaikan. Dan karena seseorang telah menunggumu terlalu lama.”
Tiba-tiba, bayangan samar muncul di benak Xin Lian. Sebuah gambaran tentang seorang pria berpakaian zirah lusuh, duduk di sebuah ruangan gelap yang dipenuhi lukisan. Pria itu memandangi satu lukisan dengan tatapan penuh penyesalan, seolah-olah ia terjebak dalam kenangan yang menyakitkan.
"Siapa dia?" Xin Lian berbisik, hatinya berdebar tak jelas, seakan ada ikatan tak terucapkan yang menghubungkannya dengan pria itu.
Pria tua itu mengangkat bahu dengan acuh tak acuh. “Itu bagian dari takdirmu. Namun, aku hanya bisa membantumu kembali, tidak dengan ingatan pria itu. Kau harus membuat jalanmu sendiri.”
Xin Lian menggigit bibir bawahnya, rasa sakit yang tiba-tiba muncul begitu tajam di dadanya. "Kenapa aku harus menemuinya?" suaranya penuh kebingungan, namun ada keputusasaan yang samar. "Apa hubungan aku dengan dia? Mengapa aku harus peduli pada pria yang bahkan tidak ku kenal?"
Pria tua itu menatapnya dengan tatapan yang tak terbaca, namun ada sesuatu yang dalam di balik matanya. "Takdir itu rumit, Xin Lian. Kadang, kita harus peduli pada seseorang meski kita tak tahu alasan pasti mengapa. Kadang, kita harus berjalan di jalan yang penuh keraguan untuk menemukan jawaban yang kita cari."
Xin Lian terdiam, hatinya bergejolak. Apa yang dimaksud pria tua itu? Apa yang membuatnya terhubung dengan pria itu? Mengapa takdirnya harus berputar di sekitar sosok yang bahkan tak dikenalnya?
Pria tua itu tersenyum tipis, namun senyum itu tidak membawa kedamaian. "Hidupmu belum selesai, Xin Lian. Ada lebih banyak yang harus kau jalani. Dan seseorang, meskipun tidak bisa mengingatmu, masih menunggumu di dunia itu."
Dengan satu gerakan cepat, pria tua itu menjentikkan jarinya, dan tubuh Xin Lian terasa melayang ringan, seolah-olah terangkat dari tanah. Dalam sekejap, dunia di sekelilingnya berubah menjadi kabut putih yang tebal, mengaburkan segala sesuatu.
"Sekarang, jalanmu akan dimulai. Tapi ingatlah, takdir adalah permainan yang tidak bisa kau menangkan tanpa membayar harga."
Tanpa peringatan, tubuh Xin Lian terjatuh, menembus lapisan kabut yang semakin tipis, dan dengan cepat meluncur ke dunia yang familiar—namun terasa sangat asing. Dalam sekejap, ia merasa dirinya jatuh bebas, seperti sebuah daun yang diterpa angin kencang, tak tahu kemana arahnya.
***
Saat tubuh Xin Lian terjatuh bebas, dunia di sekelilingnya mulai memudar, dan suara pria tua itu bergema di telinganya, "Takdir menunggumu di sana." Sebelum ia menyentuh tanah, sebuah bayangan gelap melintas di hadapannya, seolah-olah menghalangi jalan pulang. Dengan mata yang mulai kabur, Xin Lian hanya bisa berbisik, "Siapa... dia?"
.
.
.
.
.
Ilustrasi Visual Jenderal
awal yg menarik 😍