“DASAR WANITA PEMBAWA SIAL KAU, DHIEN! Karena mu, putraku meninggal! Malang betul hidupnya menikahi wanita penyakitan macam Mamak kau tu, yang hanya bisa menyusahkan saja!”
Sejatinya seorang nenek pasti menyayangi cucunya, tetapi tidak dengan neneknya Dhien, dia begitu membenci darah daging anaknya sendiri.
Bahkan hendak menjodohkan wanita malang itu dengan Pria pemabuk, Penjudi, dan Pemburu selangkangan.
"Bila suatu hari nanti sukses telah tergenggam, orang pertama yang akan ku tendang adalah kalian! Sampai Tersungkur, Terjungkal dan bahkan Terguling-guling pun tak kan pernah ku merasa kasihan!" Janji Dhien pada mereka si pemberi luka.
Mampukah seseorang yang hanya lulusan Sekolah Menengah Pertama itu meraih sukses nya?
Berhasilkah dia membalas rasa sakit hatinya?
Sequel dari ~ AKU YANG KALIAN CAMPAKKAN.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
L ~ Bab 25
Sepandai-pandainya Tupai melompat, pasti akan terjatuh jua.
...----------------...
“Maksud kau apa, MEUTIA …?” Dhien berkacak pinggang, menatap penuh permusuhan, sedangkan yang dipandangi malah terkikik bagaikan Kuda meringkik.
“Salah Kakak sendiri, berhijab cuma sewaktu hendak bepergian keluar desa saja, ataupun pas ada acara di tempat tinggal kita, setelahnya buka tutup macam gorden kedai makan yang menjual sayur matang!” sindir Meutia dengan berani.
“Alamak, sudah berbuah nya asam Jawa ni, mengapa nya diam-diam saja!” Meutia bersiap memanjat pohon yang besarnya hampir sama dengan badan gadis itu.
“Kau udah macam Monyet, Tia!” Dhien mencibir, tetapi malah ikut memanjat.
“Tia, kau hutang penjelasan. Ayo cerita! Siapa pemuda kota tu?”
Dhien duduk di batang bawah Meutia, mereka sedang mengemut asam Jawa yang sudah setengah masak.
“Kalau tak salah, namanya Ikram Rasyid! Pekerjaannya menguntit, sukanya mencari perkara, hobinya memperhatikan Tia sambil membawa teropong! Betulan gila tu orang!”
“Siapa yang gila, Tia?” Amala sudah duduk pada cabang lainnya, berhadapan dengan Dhien.
“Astaga. Hampir saja jatuh, untung jin Qorin Tia cepat tanggap memberi tahu, kalau tak … sudah alamat masuk surga diri ni!”
“Begitu kau tiada, Malaikat Ridwan langsung menutup pintu surga! Saking takutnya dia berurusan dengan makhluk langka macam kau ni! Ayo lanjutkan cerita lagi!” Dhien menarik sebelah kaki Meutia yang bergelantungan.
“Kak Dhien!” Meutia yang duduk mengangkang, langsung memeluk pohon.
“Tia ada bawa fotonya, sebentar!” Diambilnya tas ransel yang sedari tadi ia gendong, lalu mengambil selembar foto kusut, bekas lipatan asal.
“Sudah macam bekas bungkus Ikan asin saja kutengok foto ni, kau apakan potret nya, Tia?”
“Entahlah, Tia sendiri pun lupa! Capek kali mencarinya, tak tahunya ada di lipatan kaos kaki yang belum sempat dicuci!”
“Astagfirullah. Macam mana bila nya sampai tahu, kalau fotonya kau campakkan kemana-mana, Tia?” Mala menatap tidak percaya.
“Biarkan sajalah lah, Kak! Lagipula sudah Tia bilang, jangan salahkan bila fotomu ku jadikan senjata untuk menakuti Tikus, eh … nya jawab tak apa-apa dengan ekspresi macam orang bodoh!”
Amala mengambil selembar foto tadi dari tangan Dhien, memperhatikan dengan seksama. “Lumayan tampan, terlihat seperti laki-laki penyabar.”
“Menurut Kakak, lebih tampan dia atau Bang Agam? Jawab jujur!” Meutia menatap serius wajah terkejut Amala.
“Em … em, Bag Agam,” cicitnya seperti suara Tikus kejepit.
“Kalau sama mulut manis, macam manisan jengkol tu, lebih ganteng mana? Dia atau Bang Agam?”
“Jawab, Mala! Lebih tampan Bang Agam, atau Yasir si pemaksa, yang menyuruhmu memanggilnya Mas, padahal wajahnya mirip besi berkarat, alias tak ada ganteng-gantengnya!” Dhien ikut memojokkan sahabatnya.
“Kok, jadi aku yang kalian cecar? Kita sedang membahas laki-laki dalam foto ni loo,” Mala enggan menjawab.
“Ya, Kak Mala tak seru!” gerutunya.
“Kembali ke pembahasan semula! Cepat Tia, sebelum mobil pickup bang Agam datang!” titah Dhien.
“Dengar baik-baik ya, karena tak akan ada siaran ulang!” Meutia memasukkan kembali foto Ikram dalam tasnya.
“Dia tu, sengaja menarik boneka Monyet yang tergantung pada tas ransel Tia, terus pura-pura mengembalikannya, dan bilang tadi terjatuh! Konyol kan? Nya kira Tia tak melihat apa, padahal sedari awal sudah melirik tajam.”
“Dari sanalah, nya terus mendekati, memberi coklat lah, bunga mawar lah, bahkan sering menyelipkan uang dalam kertas surat cinta bersamaan dengan barang kirimannya,” sambungnya dengan nada biasa saja.
“Berarti kau tak menyukainya?” tanya Dhien yang langsung mendapatkan gelengan. “Lantas, mengapa menerima pemberiannya?”
“Kan tak elok menolak rezeki datang, jadi ya Tia terima. Lagipula tak pernah diri ini meminta! Nya sendiri yang inisiatif sendiri, lumayan lah untuk menghemat uang kiriman dari kampung dan menambah duit jajan.”
“Dasar mata duitan! Tak suka orangnya, tapi senang menerima pemberiannya!” cibir Dhien.
“Biarkan saja! Selagi nya tak keberatan, dan meminta imbalan kenapa tidak?”
“Macam mana kalau nya menuntut pengakuan, Tia? Maksudnya, dengan kau senang hati menerima sesuatu darinya, terus dia sudah mencap dirimu sebagai miliknya?” tanya Amala.
“Gampang tu, tinggal panggil Bang Agam, beres semuanya!”
“Apa kau betulan tak memiliki rasa dengan si Ikram, Tia?” Dhien menelisik wajah Meutia, mencari jawaban atas pertanyaan, tetapi tidak mendapatkan apapun.
“Susah, Kak! Soalnya lebih tampan si Samson daripada Ikram! Macam mana nak suka cobak?”
“GILA KAU!”
Bersamaan dengan itu, pickup Agam pun datang, bergegas ketiga gadis tadi turun dari pohon.
.
.
Dhien, Amala dan Meutia, duduk di bak belakang, sedangkan Dzikri menyetir dan Agam menemaninya.
Selama perjalanan yang lumayan panjang, melewati perkebunan karet, naik turun bukit, barulah mereka sampai di kota Kecamatan, masih perlu dua jam lagi untuk ke kota Kabupaten.
“Turun lah, kita mampir makan sebentar! Setelahnya baru lanjut lagi ke kota Kabupaten,” seru Agam yang langsung di iyakan.
Bersama mereka memasuki warung makan yang menyediakan beberapa menu masakan.
“Nur, hendak pesan apa?” tanyanya, menatap sekilas gadis cantik berhijab merah muda.
“Lontong sayur, minumnya teh hangat saja, Bang!” ucapnya lirih.
Yang lainnya pun menyamakan dengan menu pilihan Amala.
“Lumayan enak masakan Wawak ni, kuahnya kental dan bumbunya terasa di lidah, harganya pun pas dikantong,” Dhien memberikan penilaiannya.
“Cuma teh nya kemanisan, rasanya macam minum air gula,” timpal Dzikri.
“Apalagi bila menyeruputnya sambil curi-curi pandang ya, Bang? Ibarat kata, taik Kucing pun rasa coklat!” sindir Meutia, yang sedari tadi memperhatikan sosok pria dewasa di depannya, sesekali kedapatan memperhatikan Mala dan Dhien.
Seketika suasana menjadi canggung, Agam yang biasanya selalu terlihat tegas dengan ekspresi datar, kini pipinya sedikit bersemu merah, tidak jauh berbeda dengan Dzikri.
Meutia berdiri. “Cepat bayar, Bang! Kasihan para pengunjung yang lainnya tak dapat tempat duduk! Nanti juga kalian akan puas menatap sosok Bidadari kecebur kali!”
Dhien mengambil hansaplast dari dalam tas selempangnya. “Mulut kau ni, memang cocok dilakban, Tia!”
PEH.
“Kak Dhien PAOK! Jangan bilang ni bekas menutup udelmu, Kak?!”
“Astagfirullah.” Dzikri dan Agam mengelus dada.
***
Dua jam kemudian.
“Alhamdulillah. Akhirnya sampai juga, Tia udah macam ikan asin, terpanggang cahaya matahari, menghirup udara berpolusi, semua ni cuma demi menemani sosok wanita tidak tahu diri, bukannya terima kasih, malah mulut awak nya ikat menggunakan tali ikat pinggang!”
“Salah mu sendiri! Mau pecah rasanya kepala ini, gendang telinga ku pun pekak jadinya, mendengar kau merepet terus, Tia! Semua dikomentari. Sampai Burung terbang terpisah dari kawanan nya pun kau bilang Paok!” Dhien membenarkan penampilannya.
Kelima orang tersebut berjalan memasuki showroom motor. Dzikri langsung mengatakan maksudnya, mencari motor yang sesuai dengan keinginan Dhien.
.
.
Sementara di desa Jamur Luobok.
“Congkel saja jendelanya, Bang! Mumpung tak ada orang!” Indri memberikan titah kepada sang suami, mereka sedang berada di rumah Dhien.
Sedikit bersusah payah, akhirnya Zulham bisa membuka jendela kayu bagian dapur, lalu melompat masuk.
“Geledah yang betul, Ndri! Jangan meninggalkan jejak apapun, kau harus bekerja dengan rapi!”
Zulham dan Indri terus mencari bukti yang menyatakan kalau Dhien lah si pelaku pencurian Lembu, tetapi nihil, mereka sama sekali tidak menemukan apapun.
Lantas Indri naik amben dapur, membuka plastik yang tergantung pada dinding paku.
“Ini bukannya buah kecubung? Mengapa ada di sini?” Secepat kilat Indri mengambil dan memasukkan dua buah kecubung yang sudah berwarna hijau kecoklatan, ada juga dua lembar daunnya telah layu nyaris kering.
.
.
“Apa Bang Fikar, betulan sudah bersetubuh dengan, Dhien …?”
.
.
Bersambung.
Saya ucapkan terima kasih banyak ya Kakak yang baik hati 🥰🥰❤️❤️ Atas dukungan luar biasanya, sambutan hangatnya, komentar penambah mood, dan hadiah fantastis nya, serta Bintang 5 nya 🙏 🙏🥰🥰🥰
Hanya akan jadi samsak si Dhien aaja kau ni.
ra nduwe wedi trio cebol iki 🤣🤣
jan nyebut tenanan 🤣
maka udah selayaknya saling meraba perasaan masing2 ,menegaskan tanpa merasa risih hingga harus jd kakak beradik percayalah ga akan bisa jg karena hati yg sudah bertaut
sedalam itu rasamu buat Dhien
nah bangkit Dhien tunjukkan kamu setegar karang yang ga bisa dihempas siapapun