Dena baru saja selesai menamatkan novel romance yang menurutnya memiliki alur yang menarik.
Menceritakan perjalanan cinta Ragas dan Viena yang penuh rintangan, dan mendapatkan gangguan kecil dari rival Ragas yang bernama Ghariel.
Sebenarnya Dena cukup kasihan dengan antagonist itu, Ghariel seorang bos mafia besar, namun tumbuh tanpa peran orang tua dan latar belakang kelam, khas antagonist pada umumnya. Tapi, karena perannya jahat, Dena jelas mendukung pasangan pemeran utama.
Tapi, apa jadinya jika Dena mengetahui sekelam apa kehidupan yang dimiliki Ghariel?
Karena saat terbangun di pagi hari, ia malah berada di tubuh wanita cantik yang telah memiliki anak dan suami.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Salvador, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12 : Makan siang bersama.
...****************...
Setelah Shinta selesai mengunjunginya, Araya langsung menuju kamar putranya. Adiknya itu pulang dengan suasana hati yang tak begitu baik.
Mau bagaimana lagi, Araya mengerti jika keluarganya juga membenci Gevan. Tapi harusnya mereka juga mengerti jika Ghariel sama sekali tak bersalah. Anak itu hanya korban dari masalah orang tuanya.
“Ghariel, mama masuk ya?” Tanya Araya sebelum membuka pintu kamar putranya itu.
Cklek
“Huaaa.. Mamaa..”
Araya terkesiap saat Ghariel menyambutnya dengan mata yang berkaca-kaca. Anak itu langsung memeluk kakinya.
“Mama, jangan dengerin kata tante Shinta... Aku janji gak akan nakal, Maa. Aku gak akan nyusahin Mama..” ujarnya menatap Araya.
Bagaimana bisa Araya tidak terenyuh melihat mata bulatnya yang berkaca-kaca, dan bibir kecil itu yang menahan diri untuk tidak menangis.
“Jangan tinggalin aku Ma..” Ujar Ghariel lagi, nada suaranya penuh permohonan.
Araya mensejajarkan posisinya dengan sang anak, “Ghariel sayang, mama gak ke mana-mana kok, mama gak akan ninggalin Ghariel.” Ujar Araya memberikan pengertian lembut.
“Kamu gak perlu dengerin omongan tante Shinta tadi, atau kamu lupain aja, ya?”
Araya mengusap surai putranya lembut, anak laki-laki itu menatapnya lurus seolah mencari kebohongan di mata sang ibu.
Pada akhirnya Ghariel mengangguk menjawab, “janji ya Mama gak akan tinggalin El?” Ia memberikan jari kelingking mungilnya.
Araya tersenyum senang menyadari Ghariel sudah mau berkomunikasi dengan menyebutkan namanya, bukan selalu menyebutkan ‘aku’ lagi.
Ia melingkarkan kelingkingnya di jari kecil itu, “janji sayang,” ucapnya.
Setelahnya putra Araya yang manis itu memeluknya, pelukan erat seolah tak ingin Araya ke mana-mana.
“El sayang Mama,” ungkapnya.
Lihatlah, betapa manisnya anak ini?
“Jadi, Ghariel udah maafin mama, kan?” Tanya Araya sembari membalas pelukan itu.
Di bahunya, dapat Araya rasakan anak itu mengangguk, “El sayang mama, Mama juga sayang El kan?”
Araya menangkup pipinya gemas, “Iya dong, mana mungkin mama gak sayang sama anak mama yang manis ini?” Setelahnya memberikan kecupan di masing-masing pipi berisi itu, berhasil membuat Ghariel bersemu.
“Kamu pulang sekolah udah makan?” Tanya Araya yang di jawab gelengan kepala oleh Ghariel, “makan sama mama, mau?”
“Mau...” Jawab Ghariel langsung.
Ibu dan anak itu berjalan beriringan menuju ruang makan, dengan genggaman tangan Araya yang tak lepas dari putranya.
Sesampainya di ruangan makan, Araya segera meminta pelayan menyajikan makanan. Karena orang-orang di rumah ini tidak memiliki jadwal makan bersama yang rutin seperti keluarga pada umumnya, para pelayan selalu memasak makanan sepanjang hari.
Jaga-jaga jika Nyonya mereka ingin makan namun jika menunggu untuk di masakkan lebih dulu akan memakan waktu cukup lama. Lalu setelahnya Araya akan memarahi pelayan bagian dapur, yang akan selalu ia tambahkan kata-kata:
‘Tuan kalian yang bodoh itu tidak bisa mengajari pekerjanya?!’
Karena itu lah dulu pelayan bagian dapur banyak yang tidak menyukai Araya.
Tapi tidak dengan sekarang, Araya selalu rutin sarapan pagi dengan putranya. Tak lupa memuji pelayan jika rasa makanan sangat cocok dengan lidahnya. Beberapa pekerja mulai merasakan kehangatan Nyonya mereka yang juga menghidupkan suasana mansion yang suram ini.
“Ghariel mau makan pakai apa?” Tanya Araya pada putranya setelah para pelayan selesai menata makanan di meja.
“Sama seperti Mama,” jawab Ghariel.
Araya mengambilkan nasi beserta lauk pauknya untuk Ghariel, setelahnya menuangkan nasi ke piringnya.
Hanya saja, kedatangan seseorang membuat ibu dan anak itu hening sejenak.
Kehadiran Gevan yang sepertinya baru pulang dari kantor dengan masih menenteng tas kerjanya, Araya kira laki-laki itu akan lanjut jalan dan mengabaikan mereka.
Tetapi, ia dengan hening mengambil duduk di salah satu kursi meja makan, lebih tepatnya kursi di sebelah Araya. Lalu meletakkan tas kerjanya ke kursi sebelahnya, dan meraih piring untuk ikut makan.
Araya dan Ghariel saling bertatapan, detik setelahnya Araya melanjutkan kegiatan makannya. Memilih mengabaikan eksistensi Gevan di sana.
“El mau jus atau air putih?” Tanya Araya menatap Ghariel.
“Emm, air putih aja, Ma.” Jawab Ghariel.
Berbeda dengan Araya yang santai, Ghariel malah merasa tak tenang dengan kehadiran Papa nya itu. Sudah Ghariel bilang kan, jika ia sebegitu takutnya pada Gevan. Sekalipun Papanya itu hanya diam.
Untuk pertama kalinya, mereka berada di meja makan yang sama. Sesuatu yang cukup mengherankan juga bagi Ghariel, bahkan mungkin ini pertama kalinya ia melihat laki-laki mengerikan itu makan secara langsung.
“Kenapa sayang?”
Panggilan Araya itu membuat kedua laki-laki berbeda usia di sana menatapnya. Tapi ia menatap Ghariel, jadi tidak ngeh jika Gevan ikut menyahut.
Araya menyadari anaknya yang makan dengan pelan, lalu tatapan Ghariel juga seperti orang yang tengah banyak beban pikiran.
“Kamu gak suka lauknya?” Tanya Araya lagi.
Ghariel menggeleng pelan, “suka, Ma. Tapi, kayaknya El udah kenyang.” Elaknya.
“Jangan membuang-buang makanan, Rayvandra.”
Suara datar dari Papanya membuat Ghariel langsung kembali melanjutkan memakan makan siangnya.
Araya menatap Gevan tak suka, ia yakin orang seperti Gevan ini bukan tipe orang yang akan menghargai makanan juga. Pasti ia hanya ingin memerintah putranya.
“Ghariel, kalau kamu udah kenyang gak perlu di paksain, nak.” Ujar Araya.
Mendengar itu, Ghariel mengangguk mengerti. Sesuai apa yang di tanamkan Papanya, jika harus menghormati mamanya di banding laki-laki itu sendiri. Jadi ia harus mendengarkan ucapan mamanya di sini.
“Kalau gitu aku ke kamar dulu Ma,” Ujar Ghariel.
Ia tidak bermaksud meninggalkan Mamanya yang cantik bersama Papanya yang mengerikan, tapi tatapan dari sang Ayah seolah akan mengulitinya di sini. Araya sendiri tidak akan sadar karena fokus pada makanannya.
Setelah mendapat anggukan dari ibunya, Ghariel berlalu pergi dari ruang makan.
Araya sendiri menikmati acara makannya dengan tenang. Setelah selesai dan meneguk minumannya, suara dari orang di sebelahnya terdengar.
“Kamu berubah,” Ujar Gevan menatap Araya dengan tatapan sulit di artikan.
Deg
Dia sadar kalau aku bukan istrinya? Batin Araya. Pikirannya entah mengapa langsung melayang ke sana.
Namun, Araya tetap menampilkan sikap tenangnya.
“Sesuai yang aku bilang, aku ingin jadi ibu yang baik untuk Ghariel.”
Gevan menyadarkan tubuhnya sembari melipat tangan di dada, “sulit di percaya kamu bisa berubah pikiran dalam satu malam?”
Ia masih ingat sehari sebelum jatuh dari tangga Araya masih berteriak mengujarkan kebencian padanya.
“Anggap aja kecelakaan itu buat aku lebih waras,” jawab Araya asal.
Gevan mengangguk, “lebih baik melihat kamu tenang seperti ini dari pada menggila.”
What? Dia bilang menggila? Batin Araya tak senang, apalagi melihat bagaimana laki-laki itu berucap datar tak berekspresi.
“Siapa pun tahu siapa yang buat aku gila di rumah ini!” Jawab Araya menaikkan satu oktaf nadanya.
Yah, berbicara dengan tembok seperti Gevan hanya berakhir membuat mood nya buruk. Araya memilih beranjak pergi.
“Tunggu,” Ucap Gevan kala Araya berdiri dari duduknya.
Araya menunggu laki-laki itu melanjutkan ucapannya.
“Jangan terlalu mempercayai adik kamu, Araya.” Ujar Gevan memberinya peringatan.
Araya menaikkan sebelah alisnya, lalu melangkah mendekat pada laki-laki itu.
Ia mendekatkan wajahnya pada Gevan, seperti yang di lakukan pria itu tempo hari padanya.
“Lalu aku harus percaya siapa? Kamu?”
...****************...
tbc.