Diambang putus asa karena ditinggal sang kekasih saat hamil, Evalina Malika malah dipertemukan dengan seorang pria misterius. Adam Ardian Adinata mengira gadis itu ingin loncat dari pinggir jembatan hingga berusaha mencegahnya. Alih-alih meninggalkan Eva, setelah tahu masalah gadis itu, sang pria malah menawarinya sejumlah uang agar gadis itu melahirkan bayi itu untuknya. Sebuah trauma menyebabkan pria ini takut sentuhan wanita. Eva tak langsung setuju, membuat pria itu penasaran dan terus mengejarnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ingflora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10. Paman Lindon
"Iya, Pak."
Adam meninggalkan Eva dan masuk dalam ruangan. Baru kali ini ia begitu bersemangat bekerja, entah kenapa. Apa Eva membawa pengaruh baik dalam dirinya? Atau mungkin bayinya? Yang pasti ia begitu senang memulai harinya di kantor sekarang.
Menjelang siang, pintu ruang kerjanya diketuk dan masuk Precille. "Maaf, Pak. Paman Bapak, Pak Lindon, sudah kembali dari Australia. Dia datang ke sini, Pak."
"Astaga, aku melupakan Paman Lindon. Bagaimana ini? Tapi aku harus tetap memperkenalkan Eva padanya," batin Adam. "Suruh dia masuk!"
Precille keluar berganti seorang pria bule paruh baya masuk ke dalam ruangan bersama seorang wanita muda yang cantik.
"Oh, Shanti." Adam tampak tidak terkejut.
Pria paruh baya itu melirik wanita yang dibawanya dengan senyum lebar. "Lihat, Adam tidak lupa denganmu, 'kan?"
"Iya, Daddy." Sebuah senyum ditampilkan ke arah sang ayah dan juga Adam.
"Waktu berlalu begitu cepat. Tak sadar kamu sudah semakin dewasa." Walau berkomentar begitu, Adam hanya memasang wajah datar. "Jadi kuliahmu di Australia sudah selesai?"
Keduanya mengikuti Adam duduk di sofa. Lindon yang lebih dulu bicara. "Maaf, Dam, aku terlambat pulang karena harus mengurus kepulangan Shanti di sana. Aku bisa mulai kerja hari ini kalau kamu membutuhkan."
"Paman, aku tidak begitu. Ini 'kan hari jum'at. Mulai hari senin juga tidak apa-apa." Adam memberi keringanan. "Lagipula, pasti lelah pulang dari Australia. Iya, 'kan?"
Lindon terkekeh. "Terima kasih. Aku jadi bisa mengistirahatkan badanku yang sudah tua ini. Oya, apa ada lowongan untuk Shanti kerja di sini?"
Wajah Adam terlihat dingin. "Sudahlah dia minta kerja di sini, sekarang anaknya pula mau bergantung di sini. Apa tidak ada kantor lain yang bisa menerima Shanti di luar sana?" "Apa dia mau? Maksudku, dia lulusan luar negri, apa dia mau bekerja di pabrik bersama para buruh?"
"Ya ... jangan dikasih pekerjaan di pabriklah. Shanti 'kan lulusan luar negeri. Pekerjakan dia di sini. Lagipula dia jurusan accounting. Sudah S2 lagi. Sudah sewajarnya dia bekerja di kantor pusat," bujuk Lindon yang bangga dengan prestasi putrinya.
"Apa dia punya pengalaman kerja?" Adam meletakkan tangannya pada sandaran tangan sambil memiringkan kepala ke arah Lindon.
"Eh, belum."
"Nah, karena itu aku tidak bisa menempatkannya sebelum tahu ia cocok di mana."
"Ya di accounting-lah, Adam, masa kamu tidak bisa membantunya bekerja di sini?" Lindon masih membujuk.
"Aku tidak bisa mengistimewakan kandidat. Semua sama, dan harus melewati jenjang karier yang sama pula. Apalagi aku hanya punya pabrik. Berat untuk wanita kerja di pabrik, kecuali sudah terbiasa. Banyak perusahaan diluar sana, kenapa tidak coba di perusahaan lain saja?" balas Adam dingin.
Shanti dan ayahnya saling berpandangan. Adam sangat mengenal sepupu tirinya ini. Sejak kecil wanita itu tidak suka mengerjakan pekerjaan yang sulit.
Adam tidak ada hubungan darrah dengan Lindon karena Lindon menikah dengan tantenya, dengan sudah membawa Shanti. Lindon sebenarnya adalah pengangguran, tapi sejak tante Adam meninggal 10 tahun lalu, Lindon minta bekerja di perusahaan Adam. Walaupun Adam tidak punya kewajiban, tapi ia tak tega hingga mempekerjakan Lindon di perusahaan. Padahal Lindon termasuk yang malas bekerja, dan Adam yakin, Shanti tak jauh beda dengan sang ayah yang sama pemalasnya.
"Eh, tidak apa-apa kalo Shanti magang dulu di sini. Biar dia mahir. Nanti kalau sudah ada pengalaman mungkin dia akan cari pekerjaan di luar sana. Ya ... semacam batu loncatan lah! Karena itu, kamu bantu dia sampai dia bisa dan jadi karyawan di sini dong, Dam, biar dia punya pengalaman. Masa tidak mau bantu sepupu sendiri ...." Lindon masih dengan rayuannya.
"Mmh ... magang ya." Adam menyatukan tangannya di depan wajah. Ia berpikir sejenak.
Tiba-tiba pintu diketuk. Eva muncul membawa berkas. Ia menganggukkan kepala dengan sopan sebelum mendatangi Adam. "Minta tangan tangan, Pak."
"Oya, mana?"
Eva menyerahkan berkas yang dibawanya.
Adam memeriksa sebentar. "Tolong ambilkan pulpenku di meja."
Eva dengan patuh mengambil dan memberikan pulpen yang diminta Adam.
"Oya, kenalkan." Adam melirik Lindon dan Shanti lalu Eva. "Ini Eva. Dia masih keluargaku dan sekarang tinggal di rumah."
Lindon terkejut dan melihat ke arah Eva yang coba mengangguk sopan. Ia rasanya belum pernah melihat Eva sebelumnya. "Keluarga siapa?"
"Eh, keluarga dari ibuku." Adam terpaksa berbohong. Ini karena ia takut Lindon ke rumah dan bertemu dengan Eva.
"Haruskah dia tinggal bersamamu? Maksudku ...."
"Suaminya meninggal dan kebetulan dia bekerja di pabrikku. Jadi aku bawa dia ke rumah karena dia tidak bisa tinggal lagi di rumah mertua. Apalagi dia sedang hamil jadi aku tarik ke pusat."
Lindon merasa aneh. Ia sangat asing dengan wajah Eva. Walaupun begitu, apa harus membawa gadis itu tinggal dengan Adam? Seberapa dekat sebenarnya hubungan keduanya sampai harus membawa gadis itu ke rumah Adam? "Apa dia tidak punya orang tua?"
"Tidak." Adam berusaha berbicara sedatar mungkin, agar tidak ketahuan berbohong, sedang Eva mulai bingung kenapa Adam berbohong sampai sejauh itu. "Jadi jangan kaget kalau ke rumah ada Eva."
"Eh, ya ...." Lindon terpaksa mengiyakan keputusan Adam.
Adam menandatangani beberapa berkas lalu kemudian memberikannya pada Eva. Gadis itu mengambilnya lalu pamit sambil menganggukkan kepala kembali. "Misi, Pak."
"Jadi bagaimana?" Lindon sudah tidak sabar dengan keputusan Adam.
"Magang mungkin bisa ya, karena tidak ada lowongan pekerjaan di perusahaan, sebenarnya. Kamu bisa mulai kerja senin bersama Paman." Adam menatap Shanti.
Bukan main senangnya Shanti dengan penerimaan Adam. "Terima kasih, Kak." Ia menoleh pada sang ayah dan tersenyum lebar.
"Jangan terlambat ya, sebab kamu magang. Perlihatkan kedisiplinan kamu di sini."
"Baik, Kak."
"Oya. Nanti kalau bekerja, jangan panggil aku 'kak'. Panggil aku 'pak'," ucap Adam serius.
Sedikit kaget, Shanti menjawab. "Iya, Pak." Ia melirik sang ayah.
Lindon mengangguk kecil agar Shanti menurut saja. Ia kemudian menoleh pada Adam dan kembali tersenyum. "Oya, sudah mau jam makan siang. Bagaimana kalau kita makan siang bersama? Sekalian merayakan kelulusan Shanti, bagaimana? Biar aku yang traktir."
Adam melirik jam di tangan. Masih kurang setengah jam lagi. "Ya sudah. Kebetulan pekerjaanku tak banyak."
Ketiganya kemudian keluar dan dengan sengaja mata Adam mencari Eva, tapi gadis itu tidak ada di kursinya. "Precille, di mana Eva?"
Precille yang sedang mengetik di laptop, mengangkat kepala. "Oh, dia lapar katanya, Pak. Jadi turun ke bawah."
"Ok."
Ketiganya turun lewat lift tapi wajah Adam tampak serius. Bahkan saat diajak ngobrol Lindon, ia seperti tidak mendengar. Lindon terlihat bingung. Setelah keluar dari lift Adam malah pergi ke arah kantin.
"Adam!" Sekali lagi, panggilan Lindon tak didengarkan. Lindon dan Shanti tampak kebingungan.
Di kantin, Adam mencari Eva, tapi tak terlihat batang hidungnya. Kantin masih sepi. Ia bingung. "Ke mana dia? Kenapa dia senang sekali membuat aku panik?" Sejenak ia berpikir, lalu bergegas keluar. Kembali ia bertemu Lindon dan Shanti, tapi saat Lindon ingin bicara, Adam hanya melewati mereka berdua dan pergi ke arah pintu depan. Keduanya benar-benar bingung dengan tingkah Adam.
Diluar, Adam segera mendatangi pintu gerbang. Seperti dugaan, Eva tengah jajan dari pedagang makanan di luar pagar. Adam yang datang terengah-engah mulai bergerak pelan ketika menyadari itu. Ia berdiri di samping Eva sambil mengatur napas.
Eva yang mengambil plastik jajanannya dari tukang somay, terkejut melihat Adam sudah ada di sampingnya. "Pak ...."
"Kenapa kamu beli makanan di pinggir jalan? Bukannya kamu punya uang untuk membelinya di kantin?" Adam dibuat heran.
"Oh, itu tabunganku. Aku harus berhemat."
Adam mengerut dahi. "Tabungan? Tabungan buat apa? Kamu mau beli apa?"
Bersambung ....
tapi aku nggak mau kalo cuma sekedar like👉🏻👈🏻
semoga semakin semangat updatenya akak othor!!🙏🏼💪🏼💪🏼
lagian siapa juga yang tahu klo Eva istrimu...
makanya dari awal lebih baik jujur,ini pake bilang sodara lagi
padal aku dari kemarin uda ngumpulin bab, biar bisa d baca maraton, taunya pas baca langsung hbis😭😭
"berharap ada adegan kissing nya"
pas scroll eeh malah ketemu iklan habib jaffar, langsung baca istigfar karena tau yg ku pikirkan itu dosaaaaa😭🤣🤣
ini masalahnya di keyboardmu apa emang kebijakan dari mt/nt?
sekedar nanya aja nggak ada maksud lain mak🙏🏼🙏🏼