“DASAR WANITA PEMBAWA SIAL KAU, DHIEN! Karena mu, putraku meninggal! Malang betul hidupnya menikahi wanita penyakitan macam Mamak kau tu, yang hanya bisa menyusahkan saja!”
Sejatinya seorang nenek pasti menyayangi cucunya, tetapi tidak dengan neneknya Dhien, dia begitu membenci darah daging anaknya sendiri.
Bahkan hendak menjodohkan wanita malang itu dengan Pria pemabuk, Penjudi, dan Pemburu selangkangan.
"Bila suatu hari nanti sukses telah tergenggam, orang pertama yang akan ku tendang adalah kalian! Sampai Tersungkur, Terjungkal dan bahkan Terguling-guling pun tak kan pernah ku merasa kasihan!" Janji Dhien pada mereka si pemberi luka.
Mampukah seseorang yang hanya lulusan Sekolah Menengah Pertama itu meraih sukses nya?
Berhasilkah dia membalas rasa sakit hatinya?
Sequel dari ~ AKU YANG KALIAN CAMPAKKAN.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
I ~ Bab 29
Kau tetap cantik di mata Abang.
......................
Layaknya gerakan slow motion, Ikram menatap sang gadis dari mulai ujung kaki yang mengenakan sandal jepit, kuku jari Meutia sampai tidak kelihatan, penuh lumpur, celana panjang serta baju kaosnya juga berwarna abu-abu.
Perlahan Ikram mendongakkan dagunya, menatap wajah yang biasanya terlihat bersih kini memiliki dua warna, antara kuning langsat dan abu-abu, bahkan ada tai mata hitam di kelopak indah sang gadis pujaan hatinya.
“Apa tengok-tengok? Mau bilang kalau Tia macam gembel, iya?!” Meutia menatap sinis pada sosok jangkung, berwajah ramah.
Otomatis Ikram menggeleng, bukannya tersinggung dengan nada tajam seorang Meutia, tetapi dirinya malah sumringah.
'Ya Rabb, terima kasih … akhirnya gadis idaman hati hamba, menyebut namanya. Tak lagi cakap ‘Aku’!
‘Ada kurang-kurangnya ni orang! Apa pulak pipi bersemu kemerahan nya tu? Tak tahu nya dia, kalau tanganku sudah gatal ingin menabok bibir lebar bak Monyet kalau lagi cekakakan.’ Meutia berperang dengan batinnya sendiri, antara maju memukul Ikram atau menahan diri.
“Adek, tetap cantik di mata Abang, bahkan bertambah menggemaskan,” ucapnya lirih, pipinya terasa hangat sampai daun telinga.
“Sejak kapan Tia menjadi adik nya, Abang?”
Uhuk … uhuk.
BRAK.
Kursi kayu panjang itu ikut terjengkang bersamaan dengan punggung Yudi menghantam lantai. Bakso yang sedang ia kunyah seketika melompat keluar.
Calon Jaksa muda itu terbatuk-batuk, sampai air matanya keluar.
“Alamak, macam mana kau ni!” Makcik bergegas mengambil air putih, memberikan kepada Yudi, takut bila ada orang mati di warungnya.
“Teri_ma kasih, Mak cik.” Segelas air pun langsung tandas, dirinya masih berselonjor di lantai semen kasar.
“Kebanyakan gaya! Macam tak pernah melihat manusia saja!” Dhien mencibir Yudi.
Hikss … Ayek yang sedari tadi menangisi kompengnya, memilih sisi ingus, lalu mengambil kain lap di atas meja kayu.
“Huwwaaa … PANAS PEDAS!!” teriaknya kala merasakan bagian bawah hidung seperti cabaian.
PLAK.
“Memang PAOK kau! Tu lap bekas membersihkan tumpahan sambal, asal ambil saja!” Dhien memukul pundak Ayek.
“Mak cik! Tolong gelarkan tikar saja! Kami pergi cuci kaki sebentar!” Dhien menarik Meutia, bersama mereka pergi ke sumur yang ada di dekat masjid .
“Sini kalian satu persatu!” Wanita yang sama berlumpur nya dengan lainnya, menimba air lalu menyiramkan ke bagian kepala para anak asuhnya.
“Kita udah macam orang-orangan sawah! Bedanya tidak dipakaikan baju panjang kebesaran, yang kalau kena angin dadah mereka!” celetuk Ayek sambil menggosok bagian tubuhnya.
“Mereka tu macam apa ya … bingung aku nak cakap apa, tapi betulan _ entahlah!” Yudi kehilangan kata-kata, dirinya hanya bisa terpingkal-pingkal sampai perutnya sakit.
“Makcik tolong tambah dua mangkuk mie so lagi, hidangan di atas tikar saja!” Ikram seakan tuli, matanya terus mengawasi sosok gadis anggun yang sudah hampir setahun ini mengisi relung hatinya.
“Tak nya kau lihat, bagaimana manisnya gadis ku, Yud? Cara berjalannya begitu anggun,” ucapnya tanpa mengalihkan perhatian, mereka masih duduk di bangku panjang yang sudah berada pada posisi semula.
“Anggun dari mana? Nya lebih pantas disebut macam pegulat, langka kaki mengangkang, belum lagi ayunan tangannya yang mirip orang ngajak gelut!” Yudi geleng-geleng kepala.
Tujuh mangkuk mie so terhidang di atas terpal depan warung, berikut dengan saus, kecap, sambal, dan teh hangat.
Dhien dan lainnya sudah selesai membilas badan, tetesan air berjatuhan, dan seketika terpal menjadi basah.
“Meutia … boleh kami gabung di sini?” tanyanya begitu ramah.
“Abang apa tak takut kalau giginya kering? Sedari tadi terus-menerus tersenyum lebar,” celetuk si Ayek.
Ikram menggeleng, tanpa dipersilahkan dirinya duduk di seberang Meutia dan lainnya.
“Makcik! Hutang Tia sudah berapa di sini?”
Makcik keluar dari dalam warung, membawa satu pac jajanan Medan jaya sebagai pelengkap makan mie so. “Sebentar Tia, saya ambilkan bukunya dulu!”
“Totalnya ditambah dengan yang sekarang, kau sudah berhutang 39 porsi mie so, 4 pac Medan jaya, teh dan jeruk hangatnya habis 45 gelas, terus … lima renteng permen karet Yosan, satu toples permen Davos, cuma itu saja hutang kau, Tia!” Makcik sudah selesai membaca daftar hutang si bungsu Siddiq.
‘Cuma? Lalu sebelumnya sudah berapa banyak?’ batinnya bertanya, sedangkan mulutnya menganga, Yudi menatap tidak percaya sosok Meutia.
“Kok, sedikit betul? Tak salah hitung kah tu, Makcik? Perasaan Tia sudah makan lebih dari 50 mangkuk lah.”
“Tak nya kau ingat, bila dirimu juga sering hutang di warung kampung Pertanian?” dengus Dhien, membuka bungkus jajanan lalu mencampurkan pada kuah mie so.
“Belajarlah membawa uang, Tia! Biar tak menumpuk hutang terus!” canda Makcik dengan senyum masam.
“Eh … jangan salah ya, ni Tia ada bawa duit loo.” Bergegas dirinya menyampirkan hijab panjang ke bahu, terlihat lah buntalan terikat karet gelang.
“Berapa Kakak bawa uang?” Rizal bertanya sambil mengunyah.
Meutia langsung membuka ikatan karetnya, menghitung lambat uang receh yang cuma ada 100 rupiah kali 5.
“Besok Tia mau nyolong lebih banyak lagi di ember uang warung Abang! Biar tak payah para pemilik kedai makan menagih kerumah!”
Dhien menjitak kepala tertutup hijab, dirinya begitu kesal dengan Meutia. “Kalau aku punya anak macam kau, Tia. Bakalan kumasukkan lagi kedalam perut!”
“Makcik tolong total kan semuanya dengan hutang Meutia, biar saya yang bayar!” pinta Ikram, seraya mencuri pandang pada gadis yang sekarang terlihat lebih mirip orang.
“Wuih … berarti kami boleh nambah, Bang?” Rizal dan Danang berseru bersamaan.
“Silahkan makan apapun yang kalian inginkan!”
“Alhamdulillah, rezeki anak Sholeh! Kalau bisa tiap hari Abang nongkrong di sini ya, biar pas pulang sekolah kami langsung marung!” pinta Ayek tidak tahu diri.
***
“Assalamualaikum, Nirma.”
“Walaikumsalam.” Gadis yang baru selesai mandi itu bergegas berjalan dan berdiri di pintu dapur panggung. “Mas Yasir, kapan pulang dari ibukota?”
Jakun pemuda berpakaian santai itu naik turun, menatap lekat sosok calon adik iparnya yang mengenakan baju terusan selutut dan berlengan pendek, rambut di gelung handuk.
“Tadi pagi, ini ingin bertemu Mbak mu!”
“Mbak Mala sedang di sumur, susul saja, Mas!”
“Kau semakin ranum dan bertambah cantik saja, Nir,” pujinya dengan tatapan tertuju pada bagian dada.
Nirma menunduk malu, pipinya bersemu kemerahan.
Amala sedang membilas badan, hijabnya belum dia lepas. Begitu hendak meraih handuk yang tadi tergantung pada dinding tepas setinggi orang dewasa, dirinya mengernyitkan dahi.
“Kemana handuknya?” Mala keluar membuka pintu yang hanya di kunci dengan sepotong kayu di ketam.
“Astaghfirullah. Sejak kapan Mas di sini?!” dirinya begitu terkejut langsung mengambil handuk yang digenggam sang tunangan.
“Mas kangen, Sayang!” suaranya parau, matanya berkabut hasrat.
Mala yang menyadari adanya bahaya melangkah menyamping menjauhi kamar mandi, terlambat … tangannya berhasil digenggam erat.
“Lepaskan! Apa yang telah merasuki mu, Mas? Biasanya kau tak begini!”
“Tak ada salahnya, Mala! Sekarang ataupun nanti sama saja, kita tetap akan menikah! Lagipula Mas hanya ingin mendekap mu, tidak lebih!” Yasir melesak maju, dia hendak meraih tubuh sang tunangan untuk di peluk.
Tubuh yang sudah kedinginan sedari tadi kini mulai bergetar hebat, dia kehilangan konsentrasinya, berusaha untuk menghempaskan tangan Yasir Huda.
“Apa perlu saya panggilkan warga satu kampung? Biar kalian langsung di arak keliling Desa!”
.
.
Wanita berpakaian longgar itu tidak tahu bila bahaya sudah mengintai sedari tadi, sosok bersembunyi dibalik pohon besar kini terlihat mengendap-endap mendekati mangsanya.
.
.
Bersambung.
Hanya akan jadi samsak si Dhien aaja kau ni.
ra nduwe wedi trio cebol iki 🤣🤣
jan nyebut tenanan 🤣
maka udah selayaknya saling meraba perasaan masing2 ,menegaskan tanpa merasa risih hingga harus jd kakak beradik percayalah ga akan bisa jg karena hati yg sudah bertaut