Jasmine D'Orland, seorang duchess yang terkenal dengan karakter jahat, dituduh berselingkuh dan dihukum mati di tempat pemenggalan di depan raja, ratu, putra mahkota, bangsawan, dan rakyat Kerajaan Velmord.
Suaminya, Louise, yang sangat membencinya, memenggal kepala Jasmine dengan pedang tajamnya.
Sebelum kematiannya, Jasmine mengutuk mereka yang menyakitinya. Keluarganya yang terlambat hanya bisa menangisi kematiannya, sementara sebagian bersorak lega.
Namun, enam bulan sebelum kematian itu, Jasmine terlahir kembali, diberi kesempatan kedua untuk mengubah nasibnya yang tragis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sudah Tak Tertarik Lagi
Jasmine berdiri anggun di dekat pintu besar, senyumnya tenang dan ramah. Sementara itu, Louise berdiri di sebelahnya dengan ekspresi kaku, pikirannya penuh kekhawatiran. Cecilia, yang berada tidak jauh dari mereka, mencoba mempertahankan ketenangannya, meskipun wajahnya tidak bisa sepenuhnya menyembunyikan kekesalan dan rasa takut.
Seorang tamu pria dengan jubah elegan melangkah maju, menyampaikan salam perpisahan. “Yang Mulia Duke, Yang Mulia Duchess,” katanya sambil membungkuk hormat. “Malam ini sungguh tak terlupakan. Terima kasih atas jamuan yang luar biasa.”
Jasmine tersenyum tipis. “Kami senang Anda menikmati malam ini, Lord Devon. Semoga perjalanan pulang Anda menyenangkan.”
Namun, beberapa langkah di belakangnya, sekelompok wanita dengan gaun berwarna pastel berbisik-bisik saat mereka berjalan menuju pintu.
“Bayangkan saja, ada pembunuhan bayaran yang ingin membunuh seorang Duchess! Ini sungguh tak terduga,” gumam salah satu dari mereka.
“Tapi aku sangat terkejut melihat cara Duchess menangani semuanya dengan begitu tenang,” tambah wanita lainnya, matanya berbinar penuh kekaguman.
“Duchess benar-benar wanita yang luar biasa,” kata yang ketiga, suaranya sedikit lebih pelan.
Di sisi ruangan, Cecilia tampak masih berusaha menjaga penampilannya. Wajahnya berusaha memancarkan kesedihan yang mendalam, namun beberapa tamu yang meliriknya tampak berbicara dengan nada skeptis.
“Lady Cecilia tampaknya selalu berada di tengah-tengah masalah,” bisik seorang tamu pria dengan nada mengejek.
“Betul sekali,” sahut seorang wanita dengan senyum tipis. “Rekomendasinya menyebabkan skandal sebesar ini. Aku tidak tahu bagaimana Duke Louise bisa begitu mempercayainya.”
“Dia mungkin akan kehilangan pengaruhnya setelah malam ini,” tambah yang lain dengan nada penuh kepuasan.
Beberapa tamu tampak puas, terutama mereka yang menyukai drama. “Pesta ini benar-benar menarik,” kata seorang wanita muda dengan antusias. “Aku tidak sabar untuk menceritakan semuanya kepada teman-temanku besok!”
Malam telah larut ketika Duchess Jasmine melangkah meninggalkan ruang pesta. Dengan anggun, ia berjalan menuju kamarnya, diikuti pelayan setianya, Lianne, dan pengawalnya, Vincent. Langkahnya tenang, seolah tidak memedulikan hiruk-pikuk yang terjadi di belakangnya. Jasmine sama sekali tidak menoleh pada Duke Louise atau Lady Cecilia yang masih berada di ruang utama.
Di ruang utama, Louise terduduk di kursi panjang dengan kepala tertunduk. Ia tampak lelah, pikirannya penuh dengan kegelisahan. Lady Cecilia, di sisi lain, masih terisak sambil memegangi sapu tangannya yang basah.
Louise mengangkat wajahnya, matanya menatap Cecilia dengan raut frustasi. "Cecilia, pulanglah, aku akan meminta pengawalku untuk membawamu pulang kekediaman Count Thorne."
Lady Cecilia mengangguk patuh. Setelah lady Cecilia pergi, Louise kembali kekamarnya. Membiarkan Harold menangani semua peralatan pesta. Didalam kamar, Louise berpikir "Bagaimana semua ini bisa terjadi di rumahnya. Skandal ini pasti akan menjadi bahan pembicaraan di seluruh wilayah Clair."
Sementara itu, Jasmine sudah sampai di kamarnya. Ia membuka pintu dengan tenang dan masuk, diikuti Lianne yang menyalakan lilin-lilin di sekitar ruangan.
Vincent berdiri di dekat pintu sambil berkata "Yang Mulia, saya sudah mengatur penjagaan di sekitar kediaman."
Jasmine mengangguk ringan sambil melepas jubah luarnya. "Terima kasih, Paman Vincent. Aku percaya pada kemampuanmu."
Vincent berkata lagi "Ada sesuatu yang perlu saya sampaikan, Yang Mulia."
Jasmine menoleh padanya. "Apa itu?"
Vincent menjawab, "Tanah baru yang Anda beli, sudah siap untuk pembangunan. Apakah Anda ingin saya segera memulai pengerjaannya?"
Jasmine menatap Vincent dengan pandangan tajam namun tenang. "Aku ingin tembok besar dibangun di sana, Paman. Pastikan hanya memakan waktu satu minggu untuk menyelesaikannya."
Lianne yang berdiri di dekat meja berkata "Apakah tidak terlalu terburu-buru, Yang Mulia?"
Jasmine tersenyum tipis. "Tidak ada yang terburu-buru jika menyangkut perlindungan dan perencanaan. Pastikan semuanya berjalan sesuai rencana."
Vincent mengangguk mantap. "Baik, Yang Mulia. Saya akan mengerahkan semua tenaga yang diperlukan."
Malam akhirnya menyelimuti kediaman Clair. Istana kecil itu kembali sunyi. Angin malam berhembus lembut, membawa aroma bunga dari taman yang kini tampak tenang.
Ruangan makan utama pagi itu diterangi sinar matahari yang lembut. Duchess Jasmine, yang mengenakan gaun biru muda sederhana, duduk anggun di kursinya. Meski penampilannya sederhana, ia memancarkan aura berwibawa. Para pelayan tampak canggung dan sedikit gemetar saat melayani meja makan.
Harold, kepala pelayan, memimpin para pelayan memberikan salam hormat. “Salam hormat, Yang Mulia Duchess. Semoga kemuliaan dan kejayaan menyertai langkah Anda,” kata Harold dengan suara tegas namun sopan.
Jasmine mengangguk ringan, tanpa menoleh. “Terima kasih. Silakan lanjutkan tugas kalian.”
Ia mengambil piring dan mulai mengambil makanan dengan tenang, menikmati sarapannya tanpa tergesa-gesa. Semua pelayan di ruangan itu menahan napas, takut membuat kesalahan sekecil apa pun.
Tak lama kemudian, Duke Louise memasuki ruangan. Para pelayan serentak membungkuk memberi salam.
“Salam hormat, Yang Mulia Duke. Semoga kemuliaan dan kejayaan menyertai langkah Anda.”
Louise mengangguk singkat. Matanya langsung tertuju pada Jasmine, yang sudah asyik menikmati makanannya. Ia tampak bingung melihat istrinya yang tidak menunggu kedatangannya seperti biasanya.
Louise duduk di kursi utama, tatapannya masih tertuju pada Jasmine. “Selamat pagi, Jasmine,” sapanya, mencoba membuka percakapan.
Jasmine mengangkat pandangannya sesaat. “Selamat pagi, Tuan Duke,” jawabnya singkat sebelum kembali fokus pada makanannya.
Louise memperhatikan penampilan istrinya. Gaun sederhana, tanpa perhiasan mencolok, namun tetap memancarkan keanggunan. Ia ingat dulu Jasmine selalu tampil glamor untuk menarik perhatiannya. Entah sejak kapan semuanya berubah, tapi Louise tidak terlalu peduli.
Louise menghela napas dan mulai mengambil nasi di piringnya. Setelah selesai, ia menunggu Jasmine mengambilkan lauk untuknya seperti yang biasa dilakukan istrinya.
Namun, Jasmine tetap sibuk dengan makanannya sendiri, tanpa sedikit pun perhatian pada Louise.
Louise berdehem pelan untuk menarik perhatian.
“Jasmine,” katanya dengan nada rendah namun terdengar tegas.
Jasmine mengangkat alisnya. “Ya?”
“Kenapa kau tidak mengambilkan lauk untukku?” tanya Louise dengan nada heran.
Jasmine menatapnya sebentar sebelum kembali pada makanannya. “Kenapa aku harus mengambilkan lauk untukmu?” jawabnya datar.
Louise tersentak mendengar jawaban itu.
“Bukankah itu yang biasa kau lakukan untuk menarik perhatianku?” desaknya.
“Itu dulu,” kata Jasmine dengan nada santai, tanpa sedikit pun emosi. “Sekarang aku tidak tertarik lagi untuk melakukannya. Kau punya tangan, bukan? Ambil sendiri laukmu.”
Suasana ruangan mendadak hening. Para pelayan menahan napas, takut salah gerak. Harold bahkan terlihat sedikit pucat mendengar ketegangan antara Duke dan Duchess.
Louise menatap Jasmine dengan tatapan tak percaya. “Apa maksudmu dengan ‘tidak tertarik’? Kau istriku, Jasmine.”
Jasmine akhirnya meletakkan garpunya dan menatap Louise dengan tatapan dingin.
“Apakah kau baru sadar jika Aku istrimu? Kemana saja kau selama ini? Kau sudah tak perduli dengan status istri itu. Jadi tidak akan melayani segala kebutuhanmu, terutama hal yang bisa kau lakukan sendiri.”
Louise menyandarkan tubuhnya di kursi, jelas tidak puas dengan jawaban itu. “Kau dulu selalu mencoba menarik perhatianku. Apa kau sudah menyerah sekarang?” sindirnya.
Jasmine tertawa kecil, namun tidak ada kehangatan dalam suaranya.
“Menyerah? Tentu saja. Sudah aku bilang kan sejak di pesta itu. Aku belajar untuk tidak membuang waktuku pada sesuatu yang tidak berharga.”
Louise terdiam. Kata-kata itu menusuk egonya. Ia mencoba mempertahankan kendali, namun amarah mulai merayap di dalam dirinya. “Jasmine, kau lupa bahwa aku adalah suamimu. Kau tidak bisa bersikap seperti ini padaku,” katanya dengan nada memperingatkan.
Jasmine tersenyum tipis. “Aku tidak lupa, Louise. Justru karena aku ingat, aku memilih untuk berhenti memperlakukanmu seperti seorang raja yang harus dilayani tanpa syarat. Jika ada yang lupa, mungkin itu kau.”
“Lupa apa?” tanya Louise, bingung.
“Lupa bagaimana memperlakukan istrimu dengan hormat,” balas Jasmine tanpa ragu.
Louise membalas tatapannya, merasa tertantang. Namun sebelum ia sempat berkata apa-apa, Harold mencoba menyelamatkan suasana.
“Yang Mulia Duke, Yang Mulia Duchess, apakah ada tambahan makanan yang ingin kami siapkan?” tanyanya dengan nada hati-hati.
Jasmine melirik Harold sebentar sebelum menjawab. “Tidak perlu.”
Harold mengangguk cepat. “Baik, Yang Mulia Duchess.”
Louise, yang masih merasa tidak puas, menggerutu pelan sambil mengambil lauknya sendiri. Para pelayan yang mengamati dari kejauhan saling bertukar pandang dengan wajah tegang, namun mereka tidak berani berkata apa-apa.
Jasmine meletakkan garpunya dengan tenang setelah selesai menyantap sarapannya. Ia merapikan serbet di pangkuannya, lalu berdiri dengan anggun.
“Aku sudah selesai. Aku pergi,” ucap Jasmine dengan nada datar sambil menatap Louise yang masih sibuk dengan makanannya.
Louise mendongak, jelas terkejut dengan sikap Jasmine yang tidak biasa. “Kau tidak menungguku? Aku belum selesai makan.”
Jasmine mengangkat alis, menatapnya dengan pandangan tidak tertarik. “Untuk apa aku menunggumu? Aku punya banyak urusan pagi ini.”
Louise meletakkan sendok di piringnya, mencoba memahami perubahan sikap istrinya. “Kemana kau akan pergi?” tanyanya dengan nada penasaran, namun terdengar seperti tuntutan.
Jasmine mendesah pelan, nadanya terdengar lelah. “Kenapa kau bertanya? Itu bukan urusanmu.”
Louise tampak tersinggung. “Aku suamimu, Jasmine. Aku berhak tahu ke mana kau pergi.”
Jasmine melipat tangannya di depan dada, menatap Louise dengan tajam. “Berhak tahu? Kau terdengar lucu. Selama ini aku selalu memberitahumu setiap hal kecil yang kulakukan, tapi kau? Tak Peduli. Bahkan untuk urusan penting, kau jarang melibatkan aku.”
Louise terdiam sesaat, lalu mencoba membela diri. “Itu berbeda. Aku punya tanggung jawab besar sebagai Duke.”
Jasmine tersenyum sinis. “Dan aku punya tanggung jawab sebagai Duchess. Jadi, jangan menghalangi aku dengan pertanyaan-pertanyaan tidak penting.”
Louise tampak frustrasi. “Jasmine, kau sangat berubah. Kau tidak seperti dulu.”
Jasmine memiringkan kepalanya sedikit, menatapnya dengan ekspresi dingin. “Dan kau tidak berubah sama sekali, Louise. Itulah masalahnya.”
“Jasmine—” Louise mencoba bicara lagi, namun Jasmine sudah mengangkat tangannya untuk menghentikannya.
“Sudah cukup. Aku tidak ingin mendengar ceramah pagi ini.” Jasmine berbalik, melangkah menuju pintu.
“Jasmine, tunggu!” Louise berdiri dari kursinya, suaranya terdengar sedikit mendesak.
Jasmine berhenti sejenak di ambang pintu, menoleh ke arahnya. “Apa lagi?”
“Kau benar-benar tidak peduli lagi padaku, ya?” tanya Louise, nadanya penuh rasa frustrasi dan sedikit luka.
Jasmine menatapnya dengan pandangan datar. “Louise, aku pernah peduli padamu lebih dari yang seharusnya. Tapi kau tidak pernah menghargainya. Jadi sekarang, aku hanya peduli pada diriku sendiri.”
Louise menggertakkan giginya. “Kau tidak bisa terus bersikap seperti ini.”
Jasmine mengangkat bahu. “Kau tidak bisa mengatur bagaimana aku harus bersikap.”
Louise mengepalkan tangannya. “Kau akan menyesal, Jasmine.”
Jasmine tersenyum tipis, lalu berkata dengan tenang, “Kau tahu apa yang aku sesali, Louise? Aku sesali karena dulu aku menghabiskan terlalu banyak waktu mencoba memenangkan perhatianmu. Bukannya kau membalas ku, kau malah menyiksa dan mempermalukanku.”
Tanpa menunggu tanggapan, Jasmine melangkah keluar dari ruang makan, meninggalkan Louise yang masih berdiri di tempatnya.