Adinda Aisyah Zakirah adalah gadis berusia 19 tahun.
"Kakak Adinda menikahlah dengan papaku,"
tak ada angin tak ada hujan permintaan dari anak SMA yang kerapkali membeli barang jualannya membuatnya kebingungan sekaligus ingin tertawa karena menganggap itu adalah sebuah lelucon.
Tetapi, Kejadian yang tak terduga mengharuskannya mempertimbangkan permintaan Nadhira untuk menikah dengan papanya yang berusia 40 tahun.
Adinda dihadapkan dengan pilihan yang sangat sulit. Apakah Adinda menerima dengan mudah lamarannya ataukah Adinda akan menolak mentah-mentah keinginannya Nadhira untuk menikah dengan papanya yang seorang duda itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 3
Adinda dibawah oleh seorang pria berseragam polisi. Meskipun Adinda dan orang-orang menjelaskan dan meyakinkan Pak polisi itu, tapi tidak ada yang mampu membuat polisi itu berubah pikiran.
“Adinda malang sekali nasibmu Nak, baru seminggu yang lalu ibumu meninggal dunia, sekarang kamu malah ditangkap,” ratap Bu Mayang.
“Mama kasihan kakak Adinda, kalau di penjara siapa yang memetik buah mangga dan memelihara ayam-ayam dan bebeknya,” sahut anaknya Bu Mayang yang bernama Luthfi.
Bu Mayang memeluk tubuh anaknya sambil terus memandangi kepergian Adinda bersama dengan seorang polisi.
“Kita tidak punya kekuatan untuk membantu Adinda, Nak. Kita semua di kampung sini hanya orang miskin. Perbanyak berdoa saja semoga terjadi keajaiban dan Adinda dibebaskan,” ucap Pak Badrul suaminya Bu Mayang.
Sedangkan di dalam mobil…
Adinda memperhatikan arah jalan raya yang dilaluinya,” Pak, kenapa saya ditangkap? Saya bukan penjahat, saya bukan penipu! Bukan koruptor juga, saya hanya memetik buah mangga milik almarhumah ibuku, Pak!”
“Kamu diamlah! Kamu akan mengetahui apa yang akan terjadi padamu kalau kita sudah sampai!” Pak polisi itu sedikit membentak Adinda.
Adinda yang kaget akhirnya malah tidak bisa diam.” Eh bapak! Jangan bentak-bentak gitu dong Pak! Saya ini bukan kriminal! Bapak ganteng-ganteng tapi suka marah-marah gantengnya entar berkurang loh.” cerocos Adinda.
Pria itu mendelikkan matanya mendengar ucapan gadis remaja itu.
"Kamu gadis yang sungguh merepotkan! Padahal duduk diam anteng-anteng dan mingkem itu lebih baik daripada nyerocos sana sini gak jelas!" sarkas polisi muda itu.
Polisi itu geleng-geleng kepala memindai penampilan Adinda, “Sungguh ini sudah di luar nurul! Bisa-bisanya Abang Baruna akan menikahi gadis bau kencur ini!” Monolognya.
Adinda memperhatikan jalan yang dilaluinya, keningnya berkerut melihat jalan tersebut.
“Pak polisi bukannya jalan yang kita lewati ini adalah jalan ke rumah sakit yah bukan ke kantor Polsek?” Tanyanya Adinda yang keheranan.
“Saya sudah bilang padamu dari sejak awal tidak perlu banyak bicara! Kamu cukup diam dan tenang saja! Kamu jadi gadis terlalu cerewet!” protes Pak polisi.
“Astaga dragon! Apa sebagian besar pria ganteng yang itu rada-rada galak dan sentimen yah?” gumamnya Adinda.
“Mulut kamu itu kayak petasan tahun baru Imlek saja! meletup-letup ga mau berhenti!” ketus Polisi itu.
“Itu gunanya ada mulut Pak Polisi! Kalau cuma dipake makan doang rugi kayaknya,” bantah Adinda.
Mobil itu pun berhenti ketika mereka sudah sampai di tujuan yaitu salah satu rumah sakit terbaik di kotanya.
“Sudah jangan banyak bacok! Turunlah Kita sudah sampai,” perintahnya yang tidak peduli lagi dengan apa yang dikatakan oleh Adinda.
Pak polisi itu segera mematikan mesin mobilnya kemudian berjalan lebih duluan meninggalkan Adinda yang masih kebingungan dengan situasi yang dihadapinya.
Adinda yang sempat membaca name tag polisi itu berteriak,” Hey Pak Bismha tunggu!”
Pak polisi yang dipanggil Pak Bisma itu terus melangkahkan kaki jenjangnya ke arah koridor rumah sakit bahkan sesekali berlari kecil. Sedangkan Adinda berlari cepat agar tidak ketinggalan karena dia takut kesasar tapi karena kemampuan mereka jauh berbeda sehingga Adinda tetap ketinggalan di belakang.
“Makanya kalau jalan itu jangan lelet kayak keong saja! Bahkan keong lebih cepat dari kamu!” ejek Bisma.
Adinda mendongak karena tubuh Bisma begitu jangkung dan tinggi, “Bukan saya yang jalannya kayak keong racun, tapi Bapak saja yang jalannya kecepatan! Bukan jalan lagi tapi orang yang berlari!” kilahnya Adinda.
Nafasnya Adinda ngos-ngosan mengejar Bisma yang cukup lebar dan cepat. Dia berpegangan pada tembok sebelum masuk ke dalam lift.
“Astagfirullah mentang-mentang seorang polisi jadi jalannya cepat amat sampai-sampai nafasku seperti kehabisan stoknya,” protes Adinda.
“Buruan! Pintu liftnya bakal tertutup!”
"Tunggu! Bapak bisa bedakan gak berjalan dengan orang lari!? bapak itu bukan berjalan biasa tapi sudah berlari!" ketusnya Adinda.
Adinda kembali berlari untungnya dia cepat sehingga masih sanggup masuk ke dalam lift dengan selamat.
“Alhamdulillah,” lirih Adinda.
“Kamu sepertinya belum makan, iya kan?” Bisma menatap jengah ke arah Adinda yang masih mengatur nafasnya.
“Kok tau Pak, apa Bapak seorang cenayang yah?” tebaknya Adinda.
Bisma menyentil dahinya Adinda, “Cenayang kepala loh! Kamu itu kalau sudah makan pasti punya tenaga lebih untuk berlari, buktinya aku hanya jalan kaki kamu sudah mengeluh!” kesalnya Bisma.
Adinda terkekeh,” sejujurnya belum sempat sarapan Pak, soalnya metik buah mangga dulu.”
Keduanya kembali berjalan ke arah luar setelah pintu lift terbuka, mereka kembali menyusuri koridor rumah sakit.
Bisma membuka pintu perawatan VIP di rumah sakit itu, Adinda mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan mewah rumah sakit yang seumur-umur baru kali ini dia datangi.
“Masya Allah cantiknya, ini kamar perawatan orang sakit apa kamar hotel bintang lima sih,” gumamnya Adinda yang mengagumi kemewahan kamar inap itu.
Bisma berdecih,” dasar kampungan!” sarkasnya Bisma.
“Wajarlah saya kampungan Pak, saya kan memang asalnya dari kampung,” balasnya Adinda.
Seorang pria yang berpakaian seragam polisi yang usianya lebih tua sedikit dari Bisma menatap ke arah kedatangan Adinda dan Bhisma.
“Apa kamu yang bernama Adinda Aisyah Zakirah?”
Adinda reflek mengangguk,” benar Om eh Pak. Saya yang bernama Adinda Aisyah Zakirah. A-da yang saya bisa banting ehh bantu maksudnya Om eh Bapak?”
Adinda sampai belepotan berbicara gara-gara kaget sekaligus masih kelelahan sehingga gagal fokus.
Adinda melihat wajahnya saja dia sudah tremor, takut dan nyalinya langsung menciut. Dia terus tertunduk sambil memainkan jari jemarinya.
“Apa kamu temannya Nadhira?”
Adinda langsung mengangkat kepalanya ke arah polisi yang sedari tadi memperhatikannya dengan seksama sejak Adinda memasuki ruangan VIP tersebut.
“Benar Pak, apa yang terjadi kepada Nadhira, apa dia baik-baik saja?” Tanyanya Adinda.
Ia mulai mencemaskan kondisi anak SMA yang beberapa bulan terakhir ini menjadi langganan tetapnya.
Adinda masih berdiri mematung di hadapan Bisma dan seorang polisi yang lebih tua usianya dari Bisma.
“Nadhira adalah putriku dan saat ini dia sedang terbaring lemah karena penyakitnya,” jelas pak polisi itu.
Adinda melebarkan kelopak matanya mendengar kata putriku,” jadi dia bapaknya Nadhira, Masya Allah gantengnya,” gumamnya Adinda reflek menutupi mulutnya karena keceplosan mengagumi ayah dari temannya itu.
Bisma yang mencuri-curi dengar hanya tersenyum smirk melihat ke arah Adinda,” keponakanku satu ini kenapa meminta papanya menikah dengan bocah! Usia mereka juga hanya berbeda dua tahun. Anak dan Mama sambungnya seumuran kalau gini,” batinnya Bisma sambil memainkan ponselnya.
“Nadhira yang memintamu datang ke sini, karena putriku tidak mau minum obat dan dioperasi kalau tidak bertemu denganmu,” jelasnya lagi yang masih duduk dengan nyaman di salah satu sofa.
“Maafkan saya Pak, minggu lalu saya tidak bisa lama-lama menunggui Nadhira soalnya ibu saya meninggal dunia,” lirih Adinda.
Pak polisi itu memindai penampilan Adinda yang hari itu hanya memakai celana panjang bahan kulot, baju kaos oversize dan sandal jepit sejuta umat.
“Innalilahi wa Inna ilaihi raji'un, saya turut berbelasungkawa atas meninggalnya ibu kamu,”
Adinda kembali tertunduk ketika selesai berbicara karena sungguh baru kali ini bertemu dengan pria yang membuatnya panas dingin ketakutan dan tidak percaya diri untuk berbicara.
“Makasih banyak Pak, ngomong-ngomong Nadhira dimana Om eh Pak?” Adinda menepuk pelan mulutnya yang sering salah ucap karena takut melihat wajah garang tapi sayangnya ganteng yang dimiliki oleh papanya Nadhira.
“Dia masih tertidur karena barusan dia mendapatkan suntikan dan saya memanggil kamu ke sini karena ada hal penting yang ingin saya bicarakan,” ucapnya papanya Nadhira kemudian melirik ke arah Bisma adiknya itu.
Bisma yang dilirik mengerti arti tatapan kakak sulungnya kemudian langsung berjalan ke arah keluar sambil bersiul. L
“Kalau bapak butuh sesuatu saya ada di depan! Saya permisi kalau begitu, Pak Baruna," ucapnya Bisma.
Pria yang dipanggil Baruna itu mengangguk sambil tersenyum tipis.
Setelah pintu tertutup rapat Baruna meminta Adinda untuk duduk. “Duduklah sedari tadi kamu berdiri terus,.apa kamu tidak kelelahan," pintanya.
“Makasih banyak Om,” Adinda kemudian segera duduk yang agak jauh dari posisi Baruna.
Baruna pun menjelaskan maksudnya kenapa Adinda dibawa ke RS itu. Baruna menjelaskan secara detail keinginan putri tunggalnya itu.
“Nadhira tidak ingin menjalani pengobatan sebelum kita menikah, jadi saya meminta kepadamu untuk meyakinkan putriku kalau kita akan menikah setelah Nadhira di operasi," Baruna menjeda ucapannya sejenak.
Adinda menunggu dengan sabar apa lagi yang akan dikatakan oleh calon suami dadakannya itu.
"Saya berharap padamu untuk meyakinkan putriku untuk secepatnya dioperasi karena hanya kamu yang bisa membujuknya dan memintanya untuk dioperasi,” imbuhnya Baruna.
“A-pa sa-ya eh ki-ta harus menikah Om?” Tanyanya Adinda yang merasa pendengarannya kali ini bermasalah.
Adinda kembali memainkan ujung hijabnya yang sudah nampak lusuh itu. Dia tidak menyangka ternyata permintaan Nadhira tempo hari adalah benar-benar nyata dan bakalan jadi kenyataan bukan lelucon seperti dugaannya.
“Apa tidak ada jalan lain selain menikah?” Cicitnya Adinda yang sungguh dalam keadaan yang sulit.
“Saya akan menikahimu satu bulan dari sekarang, saya tidak menerima penolakan karena di tanganmu lah kehidupan anakku dipertaruhkan jadi saya tunggu keputusanmu paling lambat besok pagi jam 9,”
“Ya Allah masa aku harus menikahi pria tua ini! Ganteng sih iya, kaya sudah pasti, tapi kami itu berbeda jauh aku baru 19 tahun sedangkan Om Baruna sudah 40 tahun. Bisa-bisa orang-orang bilang kalau aku menikahi om-om lagi,” monolognya Adinda.
Adinda dalam posisi yang terjepit, maju kena mundur kena. Hidupnya seperti dalam drama Korea yang sering ditontonnya saja. Hidupnya berubah seperti rollcoster saja.