Quinevere King Neutron, putri Nathan Ace Neutron bersama dengan Clementine Elouise King, kini sudah tumbuh menjadi seorang gadis dengan kepribadian yang kuat. Tak hanya menjadi putri seorang mantan mafia, tapi ia juga menjadi cucu angkat dari mafia bernama Bone. Hidup yang lebih dari cukup, tak membuatnya sombong, justru ia hidup mandiri dengan menyembunyikan asal usulnya. Quin tak pernah takut apapun karena ia sudah banyak belajar dari pengalaman kedua orang tuanya. Ia tak ingin menjadi pribadi yang lemah, apalagi lemah hanya karena cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pansy Miracle, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DIKELUARKAN
“Mom!” Quin kaget saat melihat keberadaan Elouise di dalam apartemennya.
Awalnya, Elouise memang berencana langsung menemui Quin di tempat kerjanya, tapi ucapan Nathan saat mereka melakukan panggilan ponsel, membuat Elouise mengurungkan niatnya.
“Halo, sayang. Masih ingat Mommy?”
Quin langsung meletakkan tas-nya begitu saja dan menghampiri Elouise dengan langkah cepat.
“Mommy, aku merindukanmu,” kata Quin yang langsung duduk tepat di samping Elouise dan memeluknya dari samping. Ia bahkan meletakkan kepalanya di atas bahu Elouise dan memejamkan matanya.
Elouise dengan sayang menyentuh dan mengusap kepala Quin. Ia menumpahkan rasa rindunya pada putri sulungnya itu.
“Mengapa tak pulang jika memang merindukan Mommy?” tanya Elouise.
“Aku bekerja, Mom. Jadi tak mudah mendapatkan waktu libur,” jawab Quin.
“Kamu bahagia dengan hidupmu saat ini, sayang?”
“Aku bahagia, Mom. Aku bisa melihat dan menilai, mana yang tulus padaku, mana yang tidak.”
Elouise menghela nafasnya pelan dan tetap mengelus kepala Quin.
“Maafkan Mommy, sayang,” kata Elouise saat mengingat bagaimana dulu Quin sempat di-bully.
Quin terkekeh, “Tak apa, Mom. Aku dulu bukan gendut kan, tapi menggemaskan.”
Elouise menoleh ke arah Quin lalu mencubit kedua pipi Quin, “Hmm … sampai sekarang pun kamu masih menggemaskan!”
“Di mana Dad?” tanya Quin.
“Meeting dengan salah satu rekan bisnisnya. Mommy juga tak bisa lama-lama karena besok pagi-pagi akan langsung berangkat ke Rusia. Kamu mau ikut, sayang?” tanya Elouise.
Quin menggelengkan kepalanya dan Elouise kembali tersenyum karena sudah mengetahui jawaban putrinya itu.
“Grandpa Bone berencana datang akhir minggu ini, kamu temani ya. Kasihan Grandpa sendirian di Mansion,” pinta Elouise.
Sebenarnya Quin malas jika harus tinggal di Mansion Grandpa Bone, tapi ia tahu bagaimana Grandpa Bone sangat menyayanginya. Ntah mengapa Bone begitu menyayanginya dibanding kedua adiknya.
“Baiklah, Mom,” kata Quin tanpa membantah.
Elouise tersenyum kemudian berdiri. Ia membuka dua buah paperbag yang ada di atas meja makan lalu menyiapkan makanan yang tadi ia pesan di salah satu restoran dan itu adalah makanan favorit Quin.
“Temani Mommy makan, sayang,” pinta Elouise.
“Mommy belum makan?”
Elouise menngelengkan kepalanya kemudian tersenyum, “Mommy ingin makan bersama putri Mommy.”
Quin pun langsung beranjak dari sofa lalu mendekati Elouise. Dari harum makanan yang tercium, ia sudah tahu apa yang sedang disiapkan oleh Elouise.
“Aku siap, Mom!” kata Quin bersemangat.
Mereka berdua pun menghabiskan waktu berdua, sambil menunggu Nathan yang akan menjemput Elouise di apartemen Quin. Elouise memang selalu ikut ke mana pun Nathan pergi, meskipun nantinya hanya akan diam di hotel, karena ia tak terlalu suka dengan pertemuan-pertemuan.
***
Akhir minggu pun tiba, Quin tak bekerja di Hari Sabtu dan Minggu karena perpustakaan juga tutup. Biasanya ia akan menghabiskan harinya untuk bekerja paruh waktu di sebuah cafe, bersama dengan Rea juga.
Namun hari ini, ia tak akan mengambil kerja paruh waktu karena telah berjanji pada Mom Elouise bahwa ia akan menemani Grandpa Bone di mansion.
Quin baru saja menyelesaikan kuliahnya dan berjalan keluar kelas. Ia langsung mendapat tatapan tajam dari Elon yang ternyata tengah memperhatikannya, tak jauh dari sana. Quin tak mempedulikannya dan melangkah menjauh.
Ponsel Quin bergetar dan ia mengeluarkannya dari dalam tas. Sebuah senyuman terbit di wajahnya saat melihat nama yang tertera di sana.
“Grandpa!” sapa Quin bersemangat saat menjawab panggilan tersebut.
“Keluarlah, sayang. Grandpa menunggumu di parkiran.”
Tanpa mempedulikan sekitar, Quin memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas, kemudian berlari menuju ke area parkir. Elon yang melihat hal itu pun ikut berlari mengikuti langkah Quin, tapi tentu saja masih dengan jarak tertentu.
Elon melihat Quin melambaikan tangannya. Matanya membulat saat melihat pria yang sama yang pernah menjemput Quin. Elon mengepalkan tangannya geram. Ia semakin yakin bahwa Quin telah menjual tubuhnya pada pria tua itu dan menjadi sugar baby-nya.
“Dasar jallangg!! Murrahannn kamu, Quin,” gumam Elon yang masih bisa didengar oleh dua orang sahabatnya yang mengikutinya.
Elon semakin mengetatkan rahangnya saat melihat Quin melingkarkan tangannya di lengan pria tua itu, bahkan tersenyum dengan cantiknya.
“Kalian lihat, kalian saksinya. Bagaimana ia menjadi sugar baby pria itu. Aku tak bohong kan?!” ujar Elon pada Harvey dan Kevin.
Harvey dan Kevin hanya saling pandang, tak berani untuk mengeluarkan pendapat. Mereka tak ingin bernasib sama seperti Fox jika mereka banyak bicara.
Sehari sebelumnya,
“Fox!” Harvey dan Kevin menyapa Fox yang baru saja keluar dari ruang administrasi universitas.
Fox tersenyum tipis dan kedua sahabatnya itu pun melangkah mendekatinya. Ia memasukkan beberapa lembar kertas ke dalam tas ransel miliknya.
“Kamu benar-benar dikeluarkan dari universitas?” tanya Harvey.
“Menurutmu?”
“Elon keterlaluan! Dia tak perlu sampai melakukan hal ini,” ujar Kevin geram, “Aku tak mau lagi bersahabat dengannya.”
“Aku tak apa, kalian berdua belajarlah dengan baik,” kata Fox kemudian melangkah pergi.
“Fox!” Langkah Fox kembali terhenti ketika mendengar Kevin kembali memanggilnya, “Kamu pindah ke mana?”
“Aku belum tahu,” jawab Fox.
Tanpa banyak kata lagi, Fox pun pergi meninggalkan keduanya.
“Fox! Jangan mengganti nomor ponselmu, kami akan menghubungimu,” teriak Harvey.
Fox melambaikan tangannya tanpa berputar, kemudian pergi meninggalkan keduanya. Harvey dan Kevin pun hanya bisa melihat kepergian Fox, tanpa bisa mencegah.
***
Waktu akhir minggu itu dihabiskan Quin bersama dengan Grandpa Bone. Bone memang sangat menyayangi Quin, terlebih ia melihat pertumbuhan gadis itu sejak Quin dilahirkan. Ia tak memiliki keluarga lagi setelah putra kandungnya, Rocco, meninggal dunia.
Dan pagi ini, Quin akan kembali ke universitas, kemudian siang ia akan bekerja di perpustakaan seperti biasa.
Setelah menyelesaikan kuliah pertamanya, Quin beristirahat di taman universitas. Ia duduk di bawah pohon sambil menatap beberapa grup mahasiswa yang juga sering berkumpul di sana. Quin jarang berkumpul seperti mereka karena ia lebih banyak menghabiskan waktu untuk bekerja.
Saat sedang memperhatikan, mata Quin menangkap sosok Elon yang sedang berjalan bersama dengan seorang wanita.
Memang tak bisa diharapkan. Ia bukan tipe pria yang kuinginkan. Ia tak seperti Dad. - batin Quin mulai membandingkan Elon dengan Nathan.
Tak jauh dari sana, tampak juga Harvey dan Kevin. Namun, Quin tak melihat keberadaan Fox. Ia sedikit menatap ke sekeliling untuk mencari keberadaan pria itu.
“Di mana Fox?” gumam Quin. Di dalam hatinya tiba-tiba saja merasa gelisah. Tak biasanya Fox tak bersama dengan salah satu dari tiga pria itu.
Jangan-jangan … - pikiran buruk mulai memasuki kepala Quin. Ia mengambil tas ranselnya kemudian bangkit. Ia mendekati Harvey dan Kevin yang berjalan di belakang Elon dengan jarak tertentu.
“Harv, Kev, di mana Fox?” tanya Quin.
Harvey dan Kevin yang mendengar pertanyaan itu pun menghela nafasnya dalam.
“Ia dikeluarkan.”
🌹🌹🌹