Alisha Alfatunnisa, putri dari pemilik pondok pesantren yang populer di kotanya. Belum menikah meski menginjak umur 29 tahun. Hati yang belum bisa move on karena Azam sang pujaan hati, salah melamar kembaran nya yaitu Aisha.
Peperangan batin dilalui Alisha. Satu tahun dia mengasingkan diri di tempat kakeknya. Satu tahun belum juga bisa menyembuhkan luka hati Alisha. Hingga datang sosok Adam, senior di kampusnya sekaligus menjadi rekan duet dalam menulis.
Apakah kehadiran Adam bisa menyembuhkan luka hati Alisha? Atau masih ada luka yang akan diterima Alisha? Cerita yang menguras air mata untuk kebahagiaan sang kembaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erni Handayani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
"Baru tiga hari ini, kangen sama kamu buat duet nulis lagi!" ucapnya dengan senyum yang masih menghiasi bibirnya. Aku tertawa kecil, ada-ada saja kangen duet nulis lagi. Tak di pungkiri aku banyak belajar juga darinya. Dulu, di kampus banyak juga mahasiswi yang cemburu, karena aku bisa menjadi teman duet novel Kak Adam. Karena Kak Adam juga namaku banyak di kenal.
"Kakak ada-ada saja! Aku lama vakum nggak nulis, kak!" ujarku.
Kak Adam menyungar rambutnya yang lumayan panjang. Lelaki ini memang misterius, tidak banyak yang tahu masalah yang di hadapinya. Namun, dengan epik dia menceritakan semua lewat novel-novelnya yang bestseller.
Adam Ar-rahim, nama yang terkenal di Fakultas Sastra tempat aku kuliah dulu. Sejak dia pindah ke Amerika, aku kehilangan kontaknya. Dan dia juga tidak pernah pulang ke Indonesia, tapi hari ini dia berada di hadapanku.
"Kenapa vakum? Karena aku pergi ya?"
Perkataan Kak Adam sukses membuatku tertawa. Aku vakum karena tidak sanggup merangkai aksara, yang membuat aku selalu teringat Azam. Azam? Aku segera menoleh ke belakang, mobil pajero putih itu ternyata masih di tempat tadi. Azam belum pergi?
"Kak ayo ikut aku belanja buku!" aku mengajak Kak Adam untuk meninggalkan parkiran. Bodoh kamu Alisha mengapa kamu tidak memastikan dulu Azam sudah pergi apa belum.
"Kamu sama siapa tadi, Alisha?" tanya Kak Adam yang sejajar berjalan di sampingku. Bukannya menjawab pertanyaan Kak Adam, aku malah menoleh ke belakang lagi. Mobil yang di kendarai Azam baru saja beranjak ke jalanan.
"Aw.." aku mengaduh karena tertabrak orang yang jalan di depanku.
"Maaf Mba, saya buru-buru!" ucap orang yang menabrakku.
"Nggak apa saya yang salah, Mba!" balasku dan orang itu melanjutkan lagi jalannya.
"Kamu lihatin apa, Alisha?"tanya Kak Adam penasaran.
""Nggak apa, Kak!" jawabku singkat.
Kini aku dan Kak Adam berada di dalam toko buku yang cukup besar. Aku keliling untuk mencari buku yang aku butuhkan untuk di jadikan bahan referensi pelajaran sastra.
Kak Adam entah dia kemana, dia juga hobi mengoleksi novel mungkin sedang mencari novel keluaran terbaru. Begitulah hakikatnya, penulis juga pembaca yang baik. Troliku sudah penuh dengan berbagai buku, pena juga notes. Aku berkeliling mencari Kak Adam.
"Serius banget, kak! Baca novel apa sih?" tanyaku setelah menemukan keberadaan Kak Adam ternyata dia sedang asyik membaca novel.
"Novel keluaran terbaru ini, ide ceritanya menarik. Baca bab awal udah di suguhin rasa kehilangan yang mendalam tokoh utamanya!" tutur Kak Adam. Jika Kak Adam saja mengatakan jika novel ini bagus, berarti memang rekomendasi untuk bacaan.
Aku mengambil novel yang sama, membalik sampul belakang untuk membaca blur yang menjadi intisari cerita.
'Bukan kehilangan yang membuatku sakit, ataupun takdir yang tak berpihak. Ingin aku sampaikan laraku melalui aksara. Karena kamu tak bisa aku gapai. Apa yang lebih menyakitkan dari rasa kehilangan, saat melihat dia dari dekat. Namun, terdalap dinding yang megah sebagai pemisah.
Aku bagaikan Qais yang gila karena Laila, akulah gelombang tanpa ombak di pantai.
Tanpamu, dunia terasa abu-abu, meski waktu harus tetap berlalu. Tanpa cerita yang sama dan dengan orang berbeda.
Wahai Laila-ku.
Jantung ini mendadak berirama keras, dipompa begitu cepat. Sejak pati hati melandaku, novel yang sensitif seperti ini aku hindari. Tidak salah jika Kak Adam mengatakan novel ini bagus, aku juga bisa jatuh cinta hanya membaca bukunya.
Akhzamil, aku baru tahu novelis ini. Sepertinya aku butuh pelepasan agar bebanku sedikit berkurang. Dengan kembali menulis, aku bisa curhat tanpa orang tahu aku sedang mengadu lewat aksaraku.
"Tertarik juga, Alisha?"tanya Kak Adam saat aku memasukan novel berjudul Rembulan ke dalam troliku.
"Iya kak, penasaran sama kisahnya! Kakak juga beli?" aku balik bertanya pada Kak Adam.
"Iya ini, aku juga vakum menulis sejak di Amerika, Lis!" ucap Kak Adam.
Aku mengerutkan dahi. Seorang Azam Ar-rahim juga vakum menulis? Sudah lima tahun? Ingin aku mengajukan pertanyaan itu, tapi Kak Adam mengajak untuk membayar belanjaan kami.
"Total semua dua juta Mba!" ucap kasir saat semua belanjaanku sudah di total. Aku mengeluarkan kartu atm untuk membayarnya.
"Sini aku bantu, Lis! Berat itu bawaanmu!" tawar Kak Adam. Dua plastik besar membuat aku kesusahan karena beratnya yang mencapai hampir 10 kg.
Aku menurut, Kak Adam membawa satu plastik. Sampai di parkiran aku membuka ponsel untuk memesan taksi online. Walau tadi Aisha berpesan agar menghubungi jika sudah pulang, namun aku urung untuk memberi kabar.
"Pulang sama siapa, Lis? Azam nggak nemenin kamu tadi? Padahal aku kangen sama suami kamu! nggak nyangka juga bisa ketemu kamu di sini."
Pertanyaan Kak Adam membuat lidahku kelu, semua teman kuliah tidak ada yang tahu jika Aisha yang menjadi istri Azam bukan aku, ini yang membuat aku menghindar juga dari acara reuni yang di adakan setahun sekali.
Harus aku jawab apa ya Allah. Cepat atau lambat pasti akan ada yang tahu, Kak Adam juga sudah menikah jadi tidak ada masalah jika aku mengatakan yang sebenarnya.
"Aku belum nikah, Kak!" jawabku ragu-ragu, dengan suara pelan.
Kak Adam nampak begitu terkejut, beribu pertanyaan pasti muncul di benaknya. Aku mencoba tersenyum agar tidak terlihat menyedihkan di hadapannya.
"Bukannya kamu sudah menikah dengan Azam satu tahun lalu?" tanya Kak Adam tak percaya.
Kelu lidah ini untuk mengatakan jika'Azam menikah dengan adikku kak.'
"Alisha.. Kamu nggak bercanda kan?" tanya Kak Adam lagi.
"Aku serius, Kak! Azam menikahnya sama Aisha adikku! Bukan aku, kak!"
Rasanya ribuan panah membidik ulu hatiku. Perih aku mengatakan itu, namun fakta memang perih untuk di ungkapkan. Pahit, lebih pahit dari kopi yang pekat. Tetapi, ini memang faktanya jika Azam adalah adik iparku.
Kak Adam terdiam, aku tidak bisa menjabarkan ekspresi wajahnya saat ini. Aku tidak di minta untuk di kasihani, hanya ingin meluruskan fakta. Akan bahaya jika Aisha yang di tanya.
"Kok bisa Alisha? Bukankah kalian?"
"Aku mau pulang, kak! Ayah sudah menunggu aku,"selaku memotong pembicaraan Kak Adam. Aku tidak ingin di tanya lebih karena hanya akan membuat aku semakin terlihat menyedihkan, cukup tahu Aisha yang menjadi istri Azam.
"Cari makan dulu, ada restoran dekat sini! Pasti kami belum sarapan kan!" ajak Kak Adam.
"Nggak usah repot-repot, Kak! Aku mau pulang saja,"tegasku.
Bukan Adam Ar-rahim jika bisa memerima penolakan. Tanpa persetujuanku, di ambilnya plasti dari tanganku dan membawanya ke arah mobil avanza yang terlihat masih baru. Ingin aku protes tapi terlambat karena semua barang sudah di masukan ke dalam bagasi.