Dibesarkan oleh kakeknya yang seorang dokter, Luna tumbuh dengan mimpi besar: menjadi dokter bedah jantung. Namun, hidupnya berubah pada malam hujan deras ketika seorang pria misterius muncul di ambang pintu klinik mereka, terluka parah. Meski pria itu menghilang tanpa jejak, kehadirannya meninggalkan bekas mendalam bagi Luna.
Kehilangan kakeknya karena serangan jantung, membuat Luna memilih untuk tinggal bersama pamannya daripada tinggal bersama ayah kandungnya sendiri yang dingin dan penuh intrik. Dianggap beban oleh ayah dan ibu tirinya, tak ada yang tahu bahwa Luna adalah seorang jenius yang telah mempelajari ilmu medis sejak kecil.
Saat Luna membuktikan dirinya dengan masuk ke universitas kedokteran terbaik, pria misterius itu kembali. Kehadirannya membawa rahasia gelap yang dapat menghancurkan atau menyelamatkan Luna. Dalam dunia penuh pengkhianatan dan mimpi, Luna harus memilih: bertahan dengan kekuatannya sendiri, atau percaya pada pria yang tak pernah ia lupakan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
Malam telah larut ketika keluarga Douglas kembali ke rumah mewah mereka, yang berdiri megah di kawasan elite kota. Pilar-pilar besar yang menopang bangunan itu tampak dingin dan suram di bawah cahaya bulan, seolah mencerminkan suasana hati penghuni di dalamnya. Douglas melangkah masuk dengan wajah merah padam, dasi yang sebelumnya rapi kini longgar di lehernya. Pintu besar itu tertutup dengan bunyi keras, membuat Clara dan Claudia saling melirik dengan gugup.
“Luar biasa. Benar-benar luar biasa!” seru Douglas, suaranya bergema di ruang tamu yang luas. “Malam ini adalah salah satu malam paling memalukan dalam hidupku. Aku sudah cukup bersabar dengan kegagalan demi kegagalan, tapi ini? Ini keterlaluan, Clara!”
Clara, yang duduk di sofa dengan tubuh kaku, meremas ujung gaunnya. Wajahnya pucat, tapi dia mencoba menjawab dengan suara kecil, “Dad, itu bukan sepenuhnya salahku. Aku—”
“Bukan salahmu?” Douglas memotong, matanya menyala penuh kemarahan. “Kau kalah dari Luna dalam ujian masuk universitas! Luna, Clara! Dia bahkan tidak memiliki fasilitas sehebat yang kuberikan untukmu! Apa kau sadar betapa memalukan itu?”
Clara menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang hampir jatuh. Dia tahu ini akan datang. Ayahnya tidak pernah segan menghujaninya dengan kritik pedas, terutama saat dia gagal memenuhi harapan keluarga.
“Dan bukan hanya itu!” Douglas melanjutkan, suaranya semakin tinggi. “Kau bahkan tidak berhasil menarik perhatian Dr. Adrian! Padahal aku sudah memberimu setiap kesempatan, setiap sumber daya! Dia memilih Luna! Gadis itu sekarang menjadi muridnya, sementara kau hanya duduk di sini, tak berguna! Kau bahkan berani mencari masalah dengannya saat hari ujian!!”
Clara akhirnya tak mampu menahan air matanya. “Aku sudah mencoba, Dad! Tapi dia tidak tertarik padaku! Itu bukan kesalahanku kalau dia lebih memilih Luna!”
“Cukup!” Douglas membanting tangan ke meja, membuat Claudia yang berdiri di sisi lain ruangan tersentak. “Jangan berani-berani menyalahkan orang lain! Kau seharusnya lebih pintar, lebih cerdik! Kau punya semua yang diperlukan untuk memenangkan simpatinya, tapi kau tidak bisa memanfaatkan hal itu, dan malah jadi pecundang!”
Claudia, yang biasanya selalu mendukung Douglas, merasa suasana semakin tidak terkendali. “Douglas, tenanglah,” katanya, mencoba meredakan ketegangan. “Kita bisa memperbaiki ini. Masih ada waktu untuk membangun hubungan dengan Dr. Adrian—”
“Tutup mulutmu, Claudia!” potong Douglas tajam. “Ini bukan waktunya untuk alasan atau rencana bodohmu! Semua ini terjadi karena kau terlalu memanjakan Clara! Kau yang membiarkannya tumbuh menjadi seseorang yang lemah dan tidak kompeten!”
Claudia membuka mulutnya, tapi tidak ada kata yang keluar. Untuk pertama kalinya, dia tampak terkejut dan terluka oleh kata-kata suaminya. Tapi dia memilih untuk tidak membalas, hanya menundukkan kepala, seolah mengakui kekalahannya.
Sementara itu, Clara, yang masih duduk di sofa, mengepalkan tangannya erat-erat. Amarah dan rasa malu berputar di dalam dirinya seperti badai. Kata-kata ayahnya bergema di kepalanya, menyakitkan namun tak terbantahkan. Luna, selalu Luna. Nama itu kini menjadi racun yang meracuni pikirannya.
Ketika Douglas akhirnya pergi ke ruang kerjanya dengan langkah berat, meninggalkan keheningan tegang di ruang tamu, Clara berdiri. Claudia mendekatinya dengan cemas, mencoba menghiburnya, tapi Clara menggeleng.
“Jangan, Mom,” katanya, suaranya rendah tapi penuh tekad. “Aku sudah cukup mendengar. Aku tidak butuh simpati.” Dia menatap ibunya dengan mata yang menyala dengan kebencian. “Aku tidak akan membiarkan Luna mengambil semuanya dariku. Tidak kali ini.”
Claudia memandang putrinya dengan ragu, tapi dia tahu lebih baik untuk tidak mengatakan apa-apa. Clara sudah berada di ujung batasnya, dan apa pun yang akan dia lakukan, Claudia tidak akan bisa menghentikannya.
Clara naik ke kamarnya, menutup pintu dengan keras. Dia berdiri di depan cermin besar di sudut ruangan, menatap bayangannya sendiri. Dia melihat mata yang lelah dan penuh kemarahan, wajah yang dulu selalu percaya diri tapi kini tampak retak.
“Luna Harrelson,” gumamnya, suaranya penuh kebencian. “Kau pikir kau sudah menang? Kau hanya beruntung. Tapi aku akan memastikan itu tidak bertahan lama.”
Clara mengambil teleponnya, jemarinya gemetar saat dia mengetik pesan. Dia tahu siapa yang harus dia hubungi, seseorang yang akan membantunya mengembalikan posisi yang seharusnya menjadi miliknya. Luna mungkin telah menang malam ini, tapi Clara bersumpah, perang ini belum berakhir.
Di ruang kerjanya, Douglas menuangkan segelas besar bourbon, mencoba menenangkan amarahnya. Tapi di sudut hatinya, dia merasa lebih dari sekadar marah. Dia merasa kalah. Luna telah menghancurkan kebanggaannya sebagai kepala keluarga. Dan sekarang, untuk pertama kalinya, dia merasa takut. Takut bahwa Luna mungkin adalah ancaman yang lebih besar dari yang pernah dia bayangkan.
***
Clara duduk di meja riasnya yang dipenuhi botol-botol parfum dan kosmetik mahal, tapi tidak satu pun benda itu mampu menenangkan pikirannya. Tangannya gemetar saat mengetik pesan singkat di ponselnya. Kata-katanya sederhana, tapi penuh ancaman tersembunyi.
“Aku butuh bantuan. Bukan sesuatu yang besar. Cukup beri seseorang sedikit pelajaran. Bayarannya seperti biasa.”
Dia menatap layar, memastikan pesan itu sudah tepat, lalu mengirimkannya ke nomor yang sudah lama tak dia hubungi. Beberapa detik kemudian, balasan datang.
“Siapa targetnya?”
Clara mengetik satu nama: Luna Harrelson, dia juga mengirimkan foto Luna serta informasi dimana Luna tinggal.
Luna berjalan santai di taman kecil yang terletak tak jauh dari apartemen tempat dia tinggal bersama Bradley. Langit malam dihiasi bintang, dan udara dingin menyelimuti, membuatnya menarik jaket lebih erat. Ini adalah salah satu momen langka di mana dia merasa benar-benar tenang, jauh dari drama keluarga Douglas dan semua intrik mereka.
Namun, langkahnya terhenti ketika dia melihat seorang pria besar dengan jaket kulit hitam berdiri di tengah jalan setapak. Pria itu bersandar pada tiang lampu, dengan rokok terselip di antara jari-jarinya. Matanya tajam, menatap Luna seolah dia adalah mangsa yang sudah lama diincar.
“Apa yang kau lakukan di sini sendirian, manis?” tanyanya, suaranya serak dan berbahaya.
Luna memiringkan kepalanya, tidak gentar meskipun perasaannya mulai waspada. “Berjalan. Apa urusanmu?” jawabnya datar.
Pria itu tertawa kecil, melemparkan rokoknya ke tanah dan menginjaknya. Dia melangkah maju, memblokir jalan Luna. Dua pria lain muncul dari bayangan, melingkupinya dari belakang. Luna melirik mereka dengan tenang, matanya penuh kalkulasi.
“Kau tahu, jalanan ini berbahaya. Gadis seperti kau bisa mendapat masalah,” pria itu berkata lagi, menyeringai. “Jadi, kenapa tidak kau serahkan semua barang berhargamu, dan kita bisa selesaikan ini dengan damai?”
Luna memandangi pria itu dengan mata dingin, lalu tersenyum kecil. “Damai, ya? Kau pasti bercanda.”
“Dengar, nona kecil,” pria itu berkata sambil mengangkat tangannya, seolah mencoba menjelaskan sesuatu. “Aku tidak ingin menyakitimu, tapi kalau kau keras kepala, aku tidak punya pilihan.”
Luna mendesah pelan, menarik napas panjang. Dia menatap pria itu, pandangannya berubah tajam seperti bilah pedang. “Kau tahu apa masalahmu? Kau terlalu percaya diri.”
Sebelum pria itu sempat menjawab, Luna bergerak. Cepat. Dia mengangkat lututnya, menghantam perut pria itu dengan keras, membuatnya terhuyung mundur sambil mengerang kesakitan.
“Brengsek!” teriak salah satu anak buahnya, yang segera maju dengan tinju terangkat.
Tapi Luna sudah lebih dulu bergerak. Dia memutar tubuh, menghindari pukulan, lalu memukul rahang pria itu dengan siku, membuatnya jatuh ke tanah. Yang terakhir mencoba menyerangnya dari belakang, tapi Luna menangkap lengannya, memutarnya hingga terdengar bunyi retakan yang membuat pria itu berteriak kesakitan.
Pria pertama, yang sekarang sudah pulih dari serangan awal, mengeluarkan pisau dari sakunya. “Kau cari masalah dengan orang yang salah, gadis kecil,” desisnya.
Luna memutar matanya. “Pisau? Serius? Itu sudah ketinggalan zaman.”
Ketika pria itu menerjang, Luna menangkap pergelangan tangannya, memelintirnya hingga pisau itu terjatuh. Dia menendangnya ke samping, lalu menghantam lutut pria itu dengan tendangan samping yang membuatnya jatuh berlutut.
Dengan ketenangan yang mengejutkan, Luna menatap pria itu, yang sekarang terengah-engah di depannya. “Dengar, aku tidak tahu siapa yang menyuruhmu, tapi sampaikan pesan ini: Aku bukan orang yang mudah ditakut-takuti. Mengerti?”
Pria itu mengangguk, ketakutan. Matanya melirik dua anak buahnya yang masih tergeletak di tanah, merintih kesakitan. Luna mundur beberapa langkah, memberikan mereka kesempatan untuk melarikan diri.
Sementara itu, Clara menerima pesan di ponselnya dari pria yang baru saja dia pekerjakan. Pesan itu singkat, tapi cukup untuk membuatnya terkejut.
“Aku tidak mau melakukannya, Clara. Gadis itu monster. Urus masalahmu sendiri.”
Clara melempar ponselnya ke sofa, wajahnya merah padam. “Apa-apaan ini?” gumamnya, giginya terkatup rapat. Kekalahannya kembali menguatkan rasa frustrasi dan kebenciannya pada Luna.
Namun, di balik amarah itu, ada rasa takut yang mulai muncul di hati Clara. Luna bukan hanya gadis biasa, dan setiap rencana jahat yang dia buat tampaknya selalu berakhir dengan kegagalan.
Tapi bagi Clara, ini bukan akhir. Dia tidak akan menyerah. Tidak sampai Luna sepenuhnya hancur.