Hari pertama di SMA menjadi langkah baru yang penuh semangat bagi Keisha, seorang siswi cerdas dan percaya diri. Dengan mudah ia menarik perhatian teman-teman barunya melalui prestasi akademik yang gemilang. Namun, kejutan terjadi ketika nilai sempurna yang ia raih ternyata juga dimiliki oleh Rama, seorang siswa pendiam yang lebih suka menyendiri di pojok kelas.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moka Tora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27 Cahaya di Tengah Kegelapan
Malam terasa lebih sunyi dari biasanya. Keisha duduk di balkon asrama, menatap langit malam yang dipenuhi bintang. Angin sepoi-sepoi menerpa wajahnya, membawa sedikit kesejukan di tengah perasaan yang bercampur aduk.
Seleksi tim inti debat sudah berlalu, dan meskipun ia tidak terpilih sebagai anggota utama, Keisha tetap merasa bangga pada dirinya sendiri. Namun, ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Perasaan tidak adil itu masih ada. Ia telah berjuang keras, memberikan yang terbaik, tetapi akhirnya tetap kalah oleh sistem yang lebih kuat.
Anita keluar dari kamar dengan membawa dua cangkir teh hangat, seperti kebiasaannya setiap kali mereka berbicara serius. Ia duduk di sebelah Keisha, menyerahkan satu cangkir kepadanya.
“Gimana perasaan lo sekarang?” tanya Anita, menyesap tehnya perlahan.
Keisha menghela napas. “Masih agak kecewa sih, tapi gue juga lega. Setidaknya, gue bisa membuktikan kalau gue pantas bersaing.”
Anita mengangguk. “Gue paham. Tapi lo tahu kan, Kei? Ini bukan akhir dari segalanya. Malah, ini bisa jadi awal dari sesuatu yang lebih besar.”
Keisha menatap sahabatnya itu dan tersenyum tipis. “Lo selalu tahu cara bikin gue merasa lebih baik.”
Anita tertawa kecil. “Ya iyalah, gue kan sahabat lo.”
~
Keesokan harinya, Keisha kembali ke rutinitasnya. Namun, ada sesuatu yang berbeda. Sejak debat seleksi itu, banyak siswa mulai memperhatikannya. Beberapa di antaranya bahkan memberikan dukungan secara terang-terangan.
Di kantin, seorang siswa dari kelas sebelah menghampirinya. “Keisha, gue nonton debat lo kemarin. Lo keren banget! Harusnya lo yang masuk tim inti.”
Keisha tersenyum sopan. “Makasih, gue cuma berusaha melakukan yang terbaik.”
Di sisi lain, Ryan juga mulai menunjukkan sikap yang berbeda. Meskipun mereka tetap bersaing dalam akademik, kini Ryan lebih sering menyapa Keisha dan bahkan sesekali mengajaknya berdiskusi tentang materi pelajaran.
Suatu hari, saat mereka bertemu di perpustakaan, Ryan tiba-tiba berkata, “Keisha, gue serius sama yang gue bilang waktu itu. Gue nggak pernah minta perlakuan khusus. Gue tahu lo mungkin kecewa, tapi gue juga belajar banyak dari lo.”
Keisha menatapnya, berusaha mencari ketulusan dalam perkataannya. Akhirnya, ia tersenyum tipis. “Gue juga belajar banyak dari lo, Ryan.”
Ryan tersenyum, lalu kembali fokus pada buku yang sedang ia baca. Keisha tahu bahwa persaingan mereka belum berakhir, tetapi setidaknya sekarang ada rasa saling menghargai di antara mereka.
~
Namun, di balik semua itu, ada sesuatu yang mulai mengganggu Keisha. Beberapa hari terakhir, ia merasa ada yang memperhatikannya. Setiap kali ia berjalan di lorong atau berada di taman sekolah, ia merasakan tatapan yang mengikuti setiap gerakannya.
Awalnya, ia mengira itu hanya perasaannya saja. Namun, suatu malam ketika ia sedang berjalan kembali ke asrama setelah mengerjakan tugas di ruang belajar, ia mendengar langkah kaki di belakangnya.
Keisha mempercepat langkahnya, tetapi suara langkah itu juga semakin cepat. Jantungnya berdebar kencang. Ia menoleh ke belakang, tetapi lorong itu kosong.
Ia menghela napas, mencoba menenangkan dirinya sendiri. “Mungkin gue cuma kecapekan,” gumamnya.
Namun, perasaan itu tidak hilang. Dan semakin hari, kejadian-kejadian aneh mulai terjadi.
~
Suatu pagi, ketika Keisha membuka loker di sekolahnya, ia menemukan sebuah kertas kecil terselip di antara buku-bukunya.
"Hati-hati. Tidak semua orang ingin melihatmu sukses."
Keisha menatap kertas itu dengan dahi berkerut. Jantungnya berdetak lebih cepat. Siapa yang mengirim ini? Dan apa maksudnya?
Ia segera menunjukkan kertas itu pada Anita. “Lo pikir siapa yang ngirimin ini?”
Anita membaca pesan itu dengan ekspresi serius. “Gue nggak tahu, tapi ini nggak beres, Kei. Lo harus lebih waspada.”
Keisha mengangguk. Ia tidak ingin terlalu paranoid, tetapi ia juga tahu bahwa ada sesuatu yang sedang terjadi.
Danu, yang duduk di meja dekat mereka, tiba-tiba ikut berbicara. “Keisha, lo harus hati-hati. Gue denger ada beberapa orang yang nggak suka sama lo sejak seleksi debat kemarin.”
Keisha menatapnya dengan kaget. “Maksud lo?”
Danu menatapnya serius. “Ada orang-orang yang nggak suka kalau lo terlalu menonjol. Mereka takut lo bakal mengubah sistem yang selama ini mereka manfaatkan.”
Keisha merasa bulu kuduknya meremang. Ini lebih dari sekadar persaingan akademik. Ada sesuatu yang lebih besar di balik semua ini.
~
Malam itu, Keisha tidak bisa tidur. Ia terus memikirkan semua yang telah terjadi. Siapa yang mengirim pesan itu? Dan mengapa ada orang yang begitu tidak menginginkan kesuksesannya?
Tiba-tiba, ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal.
"Kamu seharusnya tidak berada di sini."
Keisha membeku. Ini bukan lagi kebetulan. Seseorang benar-benar mengawasinya.
Ia segera menunjukkan pesan itu pada Anita keesokan paginya.
“Gila, ini makin aneh,” ujar Anita dengan wajah khawatir. “Lo harus lapor ke guru atau siapa pun yang bisa dipercaya.”
Keisha mengangguk. Ia tahu bahwa ia tidak bisa menghadapi ini sendirian.
~
Namun, sebelum ia sempat melaporkan hal ini, sesuatu yang lebih mengejutkan terjadi.
Saat Keisha sedang berjalan menuju ruang kelas, ia tiba-tiba melihat Ryan berdiri di depan lokernya dengan ekspresi marah. Ia sedang memegang selembar kertas yang tampaknya baru saja ia temukan di dalam loker.
Keisha mendekatinya dengan hati-hati. “Ryan, ada apa?”
Ryan menatapnya dengan tatapan tajam. “Keisha, ini lo yang ngelakuin?”
Keisha mengerutkan kening. “Apa maksud lo?”
Ryan menunjukkan kertas itu padanya.
"Ryan, kamu pikir kamu pantas menang? Semua orang tahu kalau kamu cuma menang karena koneksi, bukan karena kemampuanmu."
Keisha terkejut. “Bukan, ini bukan gue! Gue nggak pernah nulis ini.”
Ryan masih menatapnya penuh curiga. “Kalau bukan lo, siapa lagi?”
Keisha menggigit bibirnya. Sekarang ia sadar—ini bukan hanya tentang dirinya. Seseorang sedang mencoba mengadu domba mereka.
Ia menatap Ryan dengan serius. “Gue nggak tahu siapa yang ngirim ini, tapi yang jelas, ini bukan gue. Lo harus percaya sama gue.”
Ryan masih ragu, tetapi akhirnya ia menghela napas dan mengangguk pelan. “Oke. Tapi kita harus cari tahu siapa yang ngelakuin ini.”
Keisha mengangguk. “Kita akan cari tahu bersama.”
~
Malam itu, Keisha dan Ryan bertemu diam-diam di perpustakaan. Mereka mulai menyusun daftar orang-orang yang mungkin berada di balik semua ini.
Anita dan Danu juga ikut membantu.
“Kita harus mulai dari siapa yang paling mungkin merasa terancam sama kalian berdua,” ujar Danu.
Keisha mengangguk. “Gue rasa kita harus cari tahu siapa yang paling diuntungkan kalau gue dan Ryan berantem.”
Ryan mengepalkan tangannya. “Siapapun mereka, mereka sudah memilih lawan yang salah.”
Keisha menatapnya dan tersenyum tipis. Untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa ia dan Ryan tidak lagi sebagai rival, tetapi sebagai sekutu dalam menghadapi sesuatu yang jauh lebih besar dari mereka berdua.
Dan ini baru permulaan dari misteri yang harus mereka pecahkan.