Rumah sudah kokoh berdiri, kendaraan terparkir rapi, tabungan yang cukup. Setelah kehidupan mereka menjadi mapan, Arya justru meminta izin untuk menikah lagi. Istri mana yang akan terima?
Raya memilih bercerai dan berjuang untuk kehidupan barunya bersama sang putri.
Mampukah, Raya memberikan kehidupan yang lebih baik bagi putrinya? Apalagi, sang mantan suami hadir seperti teror untuknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Egha sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4. Sesal, namun tak berubah
Dirumah yang terlihat sepi, seperti tak berpenghuni. Hanya ada cahaya lampu, suara jam dinding, yang menandakan rumah ini memiliki tuan.
Sosok pria kurus, duduk membungkuk dengan murung diteras samping. Rambutnya acak-acakan, wajahnya kusut seperti orang tampak frustasi. Sesekali ia mendesah putus asa.
"Sampai kapan, kamu mau seperti ini?" tegur sang ibu, yang seolah muak melihat penampilan putranya, yang seperti orang yang tidak ingin hidup lagi. Pakaian belum diganti, ia bahkan tidak punya nafsu makan. Dan kini duduk, seperti orang kehilangan segalanya.
"Aku menyesal, Bu." Arya menundukkan kepala, tidak ingin menunjukkan bagaimana menyesalnya saat ia menjatuhkan talak pada istrinya. Namun, ekspresi itu hanya sesaat. Tiba-tiba suaranya naik satu oktaf. "Aku terlalu marah dan kesal. Kenapa dia begitu sulit menerima pernikahanku? Aku sudah bilang akan bersikap adil dan aku menikah hanya untuk tanggung jawab. Kenapa masih saja dia tidak mau mengerti?"
"Cukup! Ibu tidak mau membahas wanita itu. Sekarang, mana buku nikahmu?"
"Untuk apa?" Arya mengerutkan alisnya.
"Kalian harus bercerai secara resmi. Biar ibu yang urus. Mana bukunya?" ibu menengadahkan tangannya dan menggerakkan empat ujung jarinya.
"Raya yang simpan, Bu."
"Apa?" teriak ibu, lalu bergegas masuk dalam rumah. Bisa gawat, jika Raya membawa buku nikah itu.
Arya hanya menatap saat ibunya masuk kedalam rumah. Ia tidak ingin bercerai, tapi tidak mencegah ibunya mengambil buku nikah. Dia seperti pria plinplan dan tidak tegas.
"Ibu sudah menemukannya. Ternyata, Raya tidak membawanya."
Arya tidak menjawab. Ia membiarkan sang ibu berjalan melewatinya.
"Aku tidak mau bercerai, Bu."
"Kamu bilang, apa?" Ibu kembali menoleh, saat hendak memakai sendalnya.
"Aku tidak mau menceraikan Raya, Bu. Aku masih mencintainya."
"Cinta kepalamu!" bentak ibu, "kau sudah berselingkuh dan menjatuhkan talak. Sekarang, masih bilang cinta. Kamu mau membuat ibu mati cepat! Jangan seperti anak kecil kamu. Mana ada dua istri, mau tinggal satu atap."
"Bukannya, Ibu tidak suka dengan Raya? Kenapa sekarang malah membelanya?"
"Siapa yang membelanya? Ibu hanya ingin kamu sadar, agar tidak menjilat ludahmu sendiri. Lagi pula, semua sudah terjadi. Dan ibu lebih menyukai Tari daripada istri kamu."
Arya menatap ibu, seolah bertanya tentang alasan ia mengatakan itu.
"Dia punya karir, yang bisa membantu kehidupan kalian lebih baik. Lihat Raya! Bisa apa dia?" lanjut ibu, menjawab pertanyaan Arya.
"Tapi, semua masih bisa diperbaiki, Bu. Aku hanya menjatuhkan talak satu."
"Maksud kamu, apa? Kau mau rujuk dan meminta dia kembali, begitu. Lalu, wanita itu bagaimana? Dia sedang hamil. Kau mau lari dari tanggung jawab?"
"Tidak, Bu. Aku tetap akan menikahinya. Tapi, aku tidak mau menceraikan istriku." Arya kekeh pada pendiriannya, yang membuat ibu semakin emosi.
Plak, plak.
Ibu berbalik dan memberikan tamparan keras secara beruntun. Darahnya seakan mendidih mendengar itu. Wanita itu sudah pergi, setelah dijatuhi talak dan disini putranya masih berkata tidak mau bercerai.
"Sepertinya, ibu harus membenturkan kepalamu, agar kau sadar. Kenapa kau sangat plinplan? Ingat, Arya. Talak sudah jatuh dan tidak ada kata rujuk. Ibu tidak mau menerima Raya kembali. Lagipula, jika Ibu diposisi Raya, akan melakukan hal yang sama."
Arya menundukkan kepala dan terisak seperti anak kecil yang terus merengek. "Aku merindukan Lily, Bu. Aku merindukan mereka."
Ibu berdiri di depan putranya, sambil berkacak pinggang. Bibirnya cemberut dengan tatapan mata tajam yang hendak menerkam.
"Kau benar-benar akan membuat ibu mati, karena melihat ulahmu. Seharusnya, kau tahu akan jadi seperti ini. Dimana kau menyimpan otakmu, hah?"
"Aku khilaf, Bu."
"Ah, sudah. Jangan membuatku pusing, dengan alasan bodohmu. Ibu akan urus perceraianmu, setelah itu kita akan ke rumah orang tua Tari."
Ibu segera pergi, tanpa menghiraukan Arya yang duduk termenung, sambil terisak. Anak itu, membuatnya naik darah. Ia terus merengek seperti anak kecil.
"Dasar, anak bodoh!" omel Ibu hingga ke dalam rumahnya.
"Kenapa, Bu?"
"Kakak kamu yang bodoh itu, bikin ibu pusing. Kamu jangan pernah mengikuti sifatnya."
Arga tidak merespon. Ia tidak mau ikut campur, hal yang bukan urusannya. Dia hanya akan menjadi penonton, tanpa membela siapapun.
Disaat Arya, merasa menyesal dan bersalah. Tari menelpon. Arya langsung menggeser layar hijau tanpa ragu. Kesedihan yang ia tumpahkan untuk istri dan anaknya, menguap begitu saja.
"Ada apa, sayang?" tanya Arya dengan lembut.
"Aku lemas banget, mas. Emang gini yah, kalau lagi hamil?" Suara Tari mendayu-dayu dibalik telepon. Terdengar manja dan seksi, hingga mampu menarik mangsa untuk mendekat.
"Iya, sayang. Emang seperti itu. Kamu yang sabar, yah." Arya tersenyum. Suara Tari, membuat pikirannya tenang. Bahkan, bayangan Raya dan putrinya, yang sejak pagi menari-nari diatas kepalanya, hilang entah kemana.
"Mas, mbak Raya bagaimana? Mas sudah bilang?"
"Sudah dan dia menerimanya. Memangnya, dia bisa apa. Kamu tidak usah memikirkannya. Jaga dirimu dan istirahat banyak."
"Mas, aku merindukanmu." Suara berat dan sedikit mendesah, membuat Arya tiba-tiba berhasrat. Mungkin, ini yang membuat ia jatuh cinta kembali pada Tari.
"Aku juga, sayang. Minggu ini, aku dan ibu akan ke rumahmu. Kamu siap-siap, yah."
"Iya, mas."
HP dimatikan. Arya masuk ke dalam rumah, mematikan lampu diruang tamu dan tengah. Lalu duduk, merenung.
Satu sisi, ia merindukan istri dan anaknya. Namun, setelah mendengar suara Tari, semua itu lenyap. Apa mungkin hanya karena rumah ini terasa sepi, hingga ia memikirkan mereka? Yah, pasti seperti itu, pikir Arya. Biasanya, suara Lily yang berlarian akan memenuhi rumah. Dan suara Raya, yang terus bicara sana sini tanpa henti. Mungkin, ini yang membuat suasana menjadi berbeda.
Arya memandang ponselnya. Sejak Raya pergi, wanita itu belum menghubunginya. Dan Arya, menekan egonya untuk tidak mengalah. Sudah cukup baginya meminta pengertian, bahkan sampai harus memohon. Tapi, Raya yang begitu keras kepala, sama sekali tidak mau menerima keputusannya.
"Cih. Aku mau lihat, bagaimana kau akan hidup tanpa uangku."
Arya dan Raya bertemu, saat keduanya berstatus mahasiswa. Namun, Raya berhenti ditengah jalan karena kurang biaya. Meski begitu, hubungan mereka tetap berjalan, hingga akhirnya mereka menikah.
Bagi Arya, Raya adalah gadis pekerja keras. Ia melihat gadis itu berjuang membiayai kuliah dan hidupnya. Raya bahkan memiliki dua pekerjaan sambilan, untuk bertahan hidup. Ia tidak merengek dan mengeluh.
Lalu, siapa Tari?
Tari adalah bagian masa lalu Arya, sebelum bertemu Raya. Ia memiliki kenangan tersendiri untuk sang mantan kekasih. Mungkin karena takdir, keduanya berpisah dan sepertinya karena takdir pula mereka bertemu kembali, sebagai rekan kerja.
🍁🍁🍁
tidak mau memperjuangkan raya
bntar lg km ketemu sm laki2 yg tulus yg mampu bahagiakan km.
plg suka crita klo perempuannya tangguh & kuat