Bian, seorang pria berusia 30-an yang pernah terpuruk karena PHK dan kesulitan hidup, bangkit dari keterpurukan dengan menjadi konten kreator kuliner. kerja kerasnya berbuah kesuksesan dan jadi terkenal. namun, bian kehilangan orang-orang yang di cintainya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D.harris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perpisahan
Hari itu, Bian menghadiri pernikahan sahabatnya, Fendi dengan Jessica. Pernikahan berlangsung sederhana namun penuh kebahagiaan. Fendi terlihat gagah dengan setelan jas hitam, sementara Jessica tampak anggun dalam gaun putih.
“Yan, akhirnya gue nikah juga ! eh tapi ada kabar lain, gue sama Jessica bakal pindah ke Australia” kata Fendi setelah acara selesai.
Bian terkejut sekaligus sedih. “Australia? Lo serius, Fen? Kok lo ngga pernah cerita?”
Fendi menepuk bahu Bian sambil tersenyum. “Gue baru dapet tawaran kerja di sana. Ini kesempatan besar buat gue dan Jess. Tapi tenang, bro. Kita masih bisa komunikasi. Lo nggak bakal gue lupain.”
Bian mencoba menahan emosinya. “Gue bakal kangen, Fen. lo tahu gue nggak punya banyak teman yang ngerti gue kayak lo.”
Fendi tersenyum kecil. “Lo nggak sendiri, Yan. gue yakin lo bakal terus sukses. lo Cuma perlu percaya sama diri lo sendiri.”
Seminggu setelah pernikahan, Fendi dan Jessica berangkat ke Australia. Perpisahan itu membuat Bian merasa kehilangan.
Setelah kepergian Fendi, Bian mulai merenung tentang hidupnya. Di usianya yang sudah memasuki 30-an, ia merasa ada sesuatu yang kurang.
“Kayaknya aku juga pengen punya pasangan, Bu. hidup udah lumayan stabil sekarang, tapi rasanya sepi,” kata Bian saat ngobrol dengan ibunya.
Minah tersenyum sambil menepuk punggung anaknya. “Ibu selalu doain yang terbaik buat kamu, Yan. Kalau waktunya tepat, kamu pasti ketemu jodoh.”
Dengan kondisi keuangan yang mulai membaik, Bian merasa lebih percaya diri untuk membuka hati. Ia mulai lebih sering keluar, bertemu orang baru, dan mencoba mencari teman.
................
Suatu hari, saat sedang mencari properti kecil untuk investasi, Bian bertemu dengan Lisa, seorang sales properti. Lisa adalah wanita muda berusia 28 tahun, ramah, dan penuh semangat.
“Selamat siang, Mas Bian. Saya Lisa. Ada properti tertentu yang sedang Mas cari?” tanya Lisa dengan senyum profesional.
Awalnya, pembicaraan mereka hanya seputar properti. Namun, kepribadian Lisa yang menyenangkan membuat Bian merasa nyaman. Setelah beberapa kali bertemu untuk diskusi properti, mereka mulai akrab dan sering bertukar cerita di luar pekerjaan.
“Mas Bian, kok kelihatannya selalu sibuk bikin konten, ya? Saya suka nonton video-video Mas di TikTok,” kata Lisa suatu hari.
Bian tersenyum. “Iya, itu kerjaan gue sekarang. Tapi jangan panggil Mas terus, dong. Panggil Bian aja.”
Kedekatan mereka semakin intens. Bian dan lisa sering berhubungan lewat chat. hingga akhirnya Bian memberanikan diri mengajak lisa untuk makan malam berdua. bian menjemput lisa di kost nya. Lisa tampak cantik dengan dress simple warna hitam dan make up yang natural. Rambutnya yang hitam panjang sepundak, di biarkan tergerai rapi.
Mereka makan malam di sebuah restoran. Malam itu bian merasa gugup karena dia akan menyatakan perasaanya ke lisa.
“Lisa, gue mau bikin pengakuan”
“Pengakuan? Apa yan?” tanya lisa penasaran sambil menatap mata bian bikin bian makin nervous.
“Lisa, gue suka sama lo. gue pengen kita lebih dari sekadar teman. Lo mau nggak jadi pacar gue?” tanya bian.
Lisa terkejut tapi tersenyum. “Bian, gue juga sebenarnya suka sama lo…iya gue mau”
Jawaban itu membuat Bian merasa seperti mendapatkan semangat baru. Kini, ia tidak hanya fokus pada kariernya, tetapi juga merajut hubungan serius dengan Lisa.
................
Setelah beberapa bulan bian dan lisa pacaran. Bian merasa nyaman dengan lisa. Bian mampir ke sebuah toko perhiasan untuk membeli cincin. Bian tersenyum kecil saat memandangi cincin di tangannya. Ia sudah mempersiapkan semuanya: cincin sederhana tapi elegan, restoran kecil yang nyaman, dan sebuah rencana manis untuk melamar Lisa.
“Bu, doain, ya. aku mau lamar Lisa minggu depan,” kata Bian sambil menunjukkan cincin itu kepada Minah.
Ibunya tersenyum hangat. “Ibu yakin Lisa pasti terima. Dia orang baik, Yan. Semoga semuanya lancar.”
Hari-hari menjelang lamaran, Bian semakin bersemangat. Ia bahkan mengurangi waktu ngonten untuk memastikan rencananya berjalan sempurna.
Namun, kebahagiaan itu berubah menjadi mimpi buruk. Suatu pagi, telepon Bian berdering. Di layar terlihat nama salah satu teman Lisa.
“Bian, ini aku, Agni. Maaf, aku harus kasih tahu sesuatu…” suara agni terdengar serak, seperti habis menangis.
“Ada apa, ni?” tanya Bian, merasa firasat buruk.
“Lisa… Lisa kecelakaan semalam. Dia meninggal, Bian.”
Dunia Bian seketika runtuh. Ponselnya nyaris terlepas dari genggaman. “Apa? Itu nggak mungkin… ni , lo pasti salah.”
Agni menahan tangis. “Aku juga berharap itu salah. Tapi ini nyata, Bian. Maaf banget.”
Bian langsung bergegas ke rumah sakit untuk memastikan kabar itu. Namun, kenyataan tak bisa ditolak. Tubuh Lisa terbujur kaku, wajahnya yang biasa tersenyum kini tak bernyawa.
Hari-hari setelah kepergian Lisa menjadi sangat berat bagi Bian. Ia mengurung diri di kamar, memandangi cincin yang seharusnya ia berikan pada Lisa.
“Kenapa harus dia, Bu? Aku baru aja mau mulai hidup baru bareng dia,” kata Bian dengan mata merah, menahan air mata di hadapan ibunya.
Minah hanya bisa memeluk anaknya erat. “Sabar, Yan. Semua ini sudah jalannya Tuhan. Kalau Lisa memang jodohmu, mungkin kalian akan bertemu lagi di tempat yang lebih baik.”
Ucapan itu sulit diterima Bian. Hatinya terasa kosong. Ia merasa kehilangan arah, bahkan tidak punya semangat untuk melanjutkan hidup.
Namun, kenangan bersama Lisa perlahan mulai membangkitkan kekuatan dalam dirinya. Ia ingat bagaimana Lisa selalu mendukungnya, memberi semangat, dan membuatnya percaya bahwa ia bisa melewati segala rintangan.
................
Setelah kepergian Lisa, Bian mencoba bangkit meski terasa berat. Ia kembali membuat konten untuk media sosialnya, mengalihkan perhatian dari rasa kehilangan yang masih menghantuinya.
Bian menyadari bahwa banyak orang yang terinspirasi dari kisah perjuangannya. Ia tidak ingin mengecewakan para pengikutnya yang selalu mendukungnya. Dengan perlahan, ia mulai kembali mendatangi pedagang kecil, mencicipi makanan mereka, dan membuat konten yang menghibur dan menginspirasi.
“Lisa, ini yang akan aku lakukan. Aku akan terus maju, seperti yang kamu inginkan,” gumamnya setiap kali selesai membuat video.
Namun, kebahagiaan kecil yang mulai muncul kembali itu tidak berlangsung lama.
................
Suatu pagi, Bian dikejutkan oleh suara batuk keras dari ibunya di dapur. Minah, yang selama ini terlihat sehat dan selalu semangat, mulai sering sakit-sakitan dalam beberapa bulan terakhir.
“Bu, kita ke dokter, ya. Ini nggak bisa dibiarkan,” kata Bian dengan nada cemas.
Meski awalnya menolak karena tidak ingin merepotkan, Minah akhirnya setuju. Setelah pemeriksaan, dokter menyampaikan kabar yang membuat dunia Bian terasa hancur lagi: ibunya mengidap penyakit paru-paru yang sudah cukup parah.
Bian melakukan segala cara untuk mengobati ibunya, menggunakan tabungannya untuk membiayai perawatan. Namun, kondisi Minah terus menurun.
Hingga suatu malam, Minah memanggil Bian ke kamar. “Yan, Ibu tahu hidup ibu ndak lama lagi. Tapi Ibu ndak mau kamu berhenti hidup Cuma karena Ibu pergi. kamu harus terus semangat, ya, Nak.”
Bian menahan tangis, menggenggam tangan ibunya erat. “Bu, jangan ngomong gitu. aku masih butuh Ibu. aku nggak sanggup kalau Ibu pergi.”
Namun, hanya beberapa hari setelah itu, Minah mengembuskan napas terakhirnya di rumah mereka.