Sakit Jiwa Kamu, Mas!

Hari sudah larut malam saat Kana memutuskan untuk membaca diary milik Rara. Semula Kana ragu untuk membacanya, ia seperti akan membuka kotak pandora yang pada akhirnya akan membuat hatinya semakin sakit namun jika tidak dibuka, maka Kana tak akan pernah tahu apa yang sudah terjadi. Kana siap menanggung semua. Ia harus tahu apa yang terjadi dengan Rara agar Kana bisa memutuskan akan mengambil keputusan apa nanti.

Kana membuka cover buku berbahan beludru warna hitam dan mulai membaca diary di tangannya.

.

.

.

...Diary ini milik Rara....

"Dear Adnan, jika suatu hari nanti kamu membaca buku diary-ku ini, jangan pernah menertawaiku, oke? Awas kalau kamu tertawa dan mengejekku, aku cubit kamu!"

“Adnan, hari ini aku sangat bahagia. Kita berjalan-jalan di taman kota, makan es krim kesukaanku dan kamu bahkan menyanyikan lagu untukku. Aku tidak pernah menyangka akan seberuntung ini bisa memiliki kamu. Aku janji, aku akan selalu ada untukmu, dalam suka dan duka."

Kana tersenyum pahit. Kata-kata sederhana itu begitu tulus, membuat hati Kana mulai teriris. Kana melanjutkan membaca buku harian Rara. Semakin dalam ia membaca, semakin ia menyadari betapa beruntungnya Rara dicintai laki-laki seperti Adnan.

“Hari ini adalah hari ulang tahunku. Adnan memberikan kejutan yang sangat indah. Ia mengajakku ke sebuah taman kecil. Secara tiba-tiba Adnan muncul dengan balon berwarna-warni serta setangkai bunga mawar dan ia juga menyanyikan lagu untukku. Aku merasa seperti putri di negeri dongeng. Oh, Adnan, kamu manis sekali. Terima kasih sudah mengingat hari lahirku, tunggu ya, nanti aku yang akan mengingat hari lahirmu!"

Kana ikut tersenyum membaca kalimat itu. Ia membayangkan betapa bahagianya Rara saat itu, seolah ia yang diperlakukan dengan manis oleh Adnan.

“Kemarin aku dan Adnan pergi ke pantai bersama. Adnan mengajakku bermain ombak, kami mengejar ombak namun saat ombak datang, kami malah berlari menghindar. Ah, lucunya. Malamnya kami menatap bintang bersama di tepi pantai. Adnan berjanji akan selalu ada untukku, seperti bintang yang selalu bersinar di langit. Ia janji akan jadi orang hebat suatu hari nanti. Aku tahu dan aku sangat yakin Adnan-ku adalah lelaki pintar dan hebat. Aku percaya padanya."

Kana membalik halaman demi halaman. Semakin jauh ia membaca, semakin ia memahami betapa dalam cinta yang dirasakan Rara pada Adnan. Rara menceritakan tentang perjuangan mereka untuk mempertahankan hubungan, tentang janji-janji yang mereka buat, dan tentang harapan mereka untuk bisa bersama selamanya sampai cobaan mulai menerpa hubungan Adnan dan Rara.

“Adnan Sayang, ternyata Mama dan Papa-mu sangat menentang hubungan kita. Mereka tidak ingin aku bersamamu karena perbedaan latar belakang kita. Aku sadar diri, Ibu Erin-ku tersayang hanyalah seorang single parent. Ibu hanya bekerja sebagai seorang baby sitter di rumah majikannya, namun bagiku Ibu adalah Ibu yang paling baik dan amat menyayangiku. Hatiku sedih saat mendengar Mama-mu menghina Ibuku. Apa salah Ibuku pada Mama-mu? Ah, sudahlah. Aku tak mau peduli mereka mau menentang kita atau tidak. Selama ada kamu, aku merasa lengkap."

Kana mengerutkan keningnya. "Jadi Ibu Erin adalah ibu kandung Mbak Rara? Pantas dia sejak awal kurang menyukaiku dan sama gilanya dengan Mas Adnan yang menganggap guling sebagai Mbak Rara," ucap Kana. "Ternyata, nasib Mbak Rara tak beda jauh denganku. Kami sama-sama tak direstui oleh kedua orang tua Mas Adnan. Aneh, sudah tahu tak akan direstui, kenapa Mas Adnan masih nekat menikahiku?"

Kana melanjutkan kembali membaca buku diary. Matanya sama sekali tak mengantuk. Ia terus didera rasa penasaran. Kana membalik buku diary tersebut ke halaman berikutnya.

“Aku tahu, hubungan kita tidak mudah. Kita harus menghadapi banyak rintangan tapi aku tidak akan pernah menyerah pada cinta kita. Aku yakin, suatu saat nanti kita akan bisa bersama selamanya."

"Hari ini, aku kembali ditolak oleh kedua orang tuamu. Aku sudah hampir putus asa. Segala cara sudah kulakukan untuk membuat mereka menerimaku namun semua seolah sia-sia. Aku tahu kamu juga lelah dengan keadaan ini namun kamu selalu menyemangatiku. Kamu mengatakan kalau kamu tak akan menyerah. Kamu juga meyakinkanku kalau kamu serius dengan hubungan ini dan kita pasti bersama. Meski aku tak yakin namun aku berjanji akan berjuang bersamamu. Aku tak akan menyerah. Aku janji!"

Kana membalik diary ke halaman berikutnya.

"Ditolak lagi. Huft ... aku capek. Sudah susah payah membuat kue, eh malah tidak disentuh sama sekali, malah aku disuruh bawa pulang kembali, katanya takut aku menaruh racun di dalamnya. Untuk apa coba? Kayaknya mereka terlalu negatif thinking padaku. Benar deh, aku capek ditolak terus. Adnan juga capek. Adnan bahkan mengajakku kawin lari. Apa aku iyakan saja ya?"

Timbul rasa iba dalam hati Kana. Adnan dan Rara telah berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan restu orang tua Adnan, mereka telah menunjukkan keseriusan hubungan mereka, memperkenalkan Rara kepada keluarga, bahkan ikut serta dalam acara-acara keluarga. Namun, semua usaha mereka sia-sia. Orang tua Adnan tetap tidak merestui hubungan mereka karena alasan perbedaan latar belakang sosial.

“Mereka tidak mengerti betapa aku mencintaimu, Nan. Aku rela melakukan apapun demi cinta kita. Apakah restu orang tuamu dikecualikan untuk orang kecil macam aku? Aku capek. Sudahlah kalau mereka tak merestui kita. Aku ... setuju kita kawin lari. Aku tak mau kehilangan kamu, Nan. Aku mencintaimu."

Setelah berbulan-bulan berjuang, Adnan dan Rara akhirnya memutuskan untuk menikah secara diam-diam. Mereka sadar bahwa keputusan ini akan membuat orang tua mereka kecewa, namun mereka yakin bahwa cinta mereka lebih kuat dari apapun.

Kana membalik halaman buku diary. Kali ini halaman di buku tersebut nampak lebih cerah. Rara menghiasi tulisannya dengan stabilo warna warni serta membuat bentuk hati menandakan hatinya sedang berbahagia saat menulisnya.

"Hari ini, akhirnya kita menikah juga, Nan. Sedih rasanya kita harus menikah dalam keadaan seperti ini. Aku saja hanya memakai kebaya wisuda temanku, pinjam, tak ada uang untuk membeli gaun nikah. Meski kita menikah serba sederhana namun aku senang pada akhirnya aku bisa menjadi istrimu, seperti cita-citaku sejak kita SMA dulu. Tak apa-apa saat ini foto nikah kita di depan KUA, nanti kita foto bersama di studio ya. Kita akan pajang foto kita di ruang tamu rumah kita. Nan, semoga kita bisa melewati semua cobaan ini ya."

Sayangnya, kebahagiaan Adnan dan Rara tidak berlangsung lama. Orang tua Adnan sangat marah ketika mengetahui bahwa anaknya telah menikah tanpa restu. Mereka memutuskan untuk memutus hubungan dengan Adnan. Semakin banyak saja cobaan setelah mereka menikah.

"Nan, rupanya aku tak henti memberikan ujian untukmu. Keadaan keluargaku yang hanya berasal dari kasta rendah ini membuatmu sampai harus diusir dari rumah karena kamu lebih memilih menikahiku dibanding menuruti kehendak keluargamu. Kini, baru saja cinta kita bersatu, aku jatuh sakit. Dadaku terasa nyeri dan panas namun aku memilih merahasiakan semua darimu. Kamu sedang fokus dengan bisnismu, aku tak mau menjadi batu yang menghalangi langkahmu. Aku tak apa-apa. Aku kuat!"

"Nan, aku tak tahan dengan rasa sakit yang kurasakan ini. Aku hari ini ke rumah sakit tanpa sepengetahuanmu. Aku melakukan beberapa pemeriksaan lab dan rontgen. Dokter bilang aku harus segera dioperasi karena jantungku bermasalah. Aku takut, Nan, tapi aku lebih takut kehilanganmu. Janji, kamu akan selalu ada di sisiku, ya?”

"Nan, ternyata saat aku tanya pada bagian administrasi, biaya operasi amat mahal. Lebih baik uangnya untuk kamu membesarkan bisnismu saja daripada menyembuhkanku yang penyakitan ini. Aku lihat, kamu hebat dalam bisnis. Aku yakin kamu akan jadi orang sukses suatu hari nanti. Entah ketika saat itu tiba apakah aku masih bisa menemanimu atau tidak. Jika aku tak bisa menemanimu, aku ingin kamu tidak terlalu terpukul. Aku ingin kamu tetap melanjutkan hidupmu. Mulailah membuka hatimu. Cari wanita lain yang baik dan menyayangimu. Sayangilah dia melebihi sayangmu padaku. Sejatinya, melihatmu bahagia merupakan suatu kebahagiaan tersendiri untukku. Kalau nanti aku tak kuat menahan sakitku, jangan tangisi kepergianku. Aku sangat bahagia pernah menjadi wanita yang mengisi hari-harimu. Aku sangat mencintaimu, Nan."

Tangan Kana gemetar saat membaca kalimat terakhir itu. Ia membayangkan betapa sedih dan takutnya Rara saat itu. Tidak heran jika Bu Erin dan Adnan begitu terpukul dengan kepergian Rara. Mereka telah kehilangan seseorang yang sangat mereka cintai. Seorang yang amat baik dan menyayangi mereka dengan setulus hati.

Kana menutup buku harian itu dengan mata berkaca-kaca. Ia merasa begitu sedih karena kisah cinta yang begitu indah harus berakhir begitu tragis.

"Sekarang aku mengerti maksud ucapanmu, Mas. Cintaku tak ada apa-apanya dengan cinta Mbak Rara padamu. Aku ... memang tak layak jika dibandingkan dengan Mbak Rara."

****