NovelToon NovelToon
Mardo & Kuntilanaknya

Mardo & Kuntilanaknya

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Hantu / Roh Supernatural
Popularitas:380
Nilai: 5
Nama Author: Riva Armis

Mardo, pemuda yang dulu cuma hobi mancing, kini terpaksa 'mancing' makhluk gaib demi pekerjaan baru yang absurd. Kontrak kerjanya bersama Dea, seorang Ratu Kuntilanak Merah yang lebih sering dandan daripada tidur, mewajibkan Mardo untuk berlatih pedang, membaca buku tua, dan bertemu makhluk gaib yang kadang lebih aneh daripada teman-temannya sendiri.

Apa sebenarnya pekerjaan aneh yang membuat Mardo terjun ke dunia gaib penuh risiko ini? Yang pasti, pekerjaan ini mengajarkan Mardo satu hal: setiap pekerjaan harus dijalani dengan sepenuh hati, atau setidaknya dengan sedikit keberanian.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Riva Armis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 21: Mery dan Lukanya

Saat gue dan Naya duduk berdua kayak gini di sini, membawa gue kembali pada ingatan-ingatan waktu kami masih bersama dulu. Walaupun dia gak suka panas matahari dan tempat terbuka, dia masih mau nemenin gue mancing dengan segala kebosanannya. Dia adalah orang yang mau memahami kehidupan gue.

Justru gue yang merasa gak nyaman kalau nemenin dia ke kedai kopi di waktu senja. Bahkan terkadang kalau lagi sama teman-temannya, dia bisa nongkrong sampai tengah malam. Gue gak suka tempat ramai, dan gue selalu bilang gak suka dengerin gosip. Gue adalah orang yang gak memahami kehidupannya.

Dan hari ini, gue adalah orang yang sangat marah dan ketakutan kalau hal buruk menimpanya. Dia memandangi gue yang memandanginya dengan mata berkaca-kaca.

"Kamu kenapa, Do?"

"Aku ... kangen mancing."

Asap hitam Torgol melayang di belakang gue sambil berbisik pelan:

"Kita harus pergi, Mardo."

Gue bangkit dari kursi, menatap Naya sambil tersenyum.

"Maaf, Nay. Aku harus pergi sekarang. Kamu ... habis ini mau ke mana?"

"Iya, Do. Aku senang, kok kamu masih mau datang. Aku ada janji juga sama teman-teman barista."

"Oh gitu."

Gue dan Naya berpisah di depan warung tempat Sulay menunggu. Untungnya Naya gak sadar kalau bapak-bapak di warung lagi pingsan dan dia gak melihat Torgol sama hantu pohon. Dia cuma senyum ke arah Sulay yang sibuk main HP. Setelah Naya menghilang dengan motornya dari pandangan kami, Torgol langsung berdiri dari kursi dan mendekati gue.

"Saya suka wanita itu, Mardo."

Gue duduk di sebelah hantu pohon. Dia menoleh perlahan.

"Kenapa muka kamu ditutupin kalau sebenarnya cantik?"

Dia diam aja. Matanya melirik ke arah Sulay yang menatap gue.

"Do," kata Sulay saat meletakkan HP-nya di meja.

Torgol dan hantu pohon berpindah ke sebelah Sulay.

"Gue minta maaf karena bikin lo panik dan melibatkan cewek tadi itu. Ini satu-satunya cara buat ngembaliin Torgol ke kantor. Gue harap lo paham."

"Hah!? J-jadi ... Naya gak g-gak ... diculik jin tadi!?"

"Saya yang menculiknya," sahut hantu pohon.

"Hah!?"

Sebelum gue semakin bingung, Sulay menjelaskan semuanya.

"Gini, Do. Torgol adalah aset kantor yang berharga. Kami gak bisa biarin dia tersegel gitu aja di pedang lo. Ya, walaupun lo dan pedang lo juga gak kalah berharganya bagi kantor."

"Tapi kenapa harus bawa-bawa Naya?"

"Karena dia orang yang lo peduliin. Lo pasti datang dan lo pasti berusaha sekuat mungkin buat nyelamatin dia. Iya, kan?"

Sulay, Torgol dan hantu pohon bangkit dari kursi.

"Secara keseluruhan yang mudah lo pahami, ya begitulah ceritanya. Kalau lo udah paham, lo pasti tahu alasan yang lebih kuat lagi dari ini. Kita balik ke kantor sekarang."

Hantu cewek bertangan panjang penunggu pohon kembali ke tempatnya katika kami meninggalkan pemancingan. Menururt Torgol, bapak-bapak dan ibu pemilik warung akan sadar kembali ketika kami sudah jauh pergi dan mereka akan lupa kejadian tadi. Hebat.

Torgol berubah jadi burung kecil, terbang mengimbangi motor gue menuju kantor. Kali ini, dia kayaknya gak keberatan kembali ke sini. Kami kaget, karena ketika sampai si Bos sudah berdiri di depan ruang admin dan lagi ngobrol dengan cewek tanpa alis.

"Mardo, Sulay dan ... spirit tua pembawa masalah, Torgol. Ayo ke ruangan saya."

Ketika masuk ke ruangan si Bos, gue langsung memperhatikan lukisan-lukisan di sana. Semuanya aman, gak ada yang kosong seperti sebelumnya.

"Ada yang terluka parah?" tanya si Bos.

Kami bertiga menggeleng. Si Bos mengambil cangkir kopinya di meja lalu berdiri di depan Torgol. Karena Torgol bertubuh tinggi dan si Bos yang bahkan gak setinggi gue yang pendek ini, si Bos jadi kelihatan ngomong sama lutut.

"Bagaimana? Lebih enak tinggal di sini, kan?"

Torgol mengangguk.

"Sulay. Kamu antarkan Mardo ke ruang medis."

"Siap, Bos."

Kami meninggalkan Torgol dan si Bos di ruangannya. Gue emang merasa sakit di beberapa bagian, tapi kayaknya gak harus ke ruang medis juga, deh. Belum lagi kalau mengingat petugas medisnya yang cuma kepala dan organ tubuh doang itu. Mendingan gue ke kantin.

Namun, kalau lagi sama Sulay, gue sudah pasti gak bisa kabur ke mana-mana. Jadinya sampailah kami di ruang medis yang disambut oleh seorang cewek berbaju hitam putih yang mempunyai kemiripan dengan kepala tanpa tubuh waktu itu.

"Ada yang bisa dibantu, Pak?" tanyanya.

"Periksa lukanya dia, ya, Kak. Habis berantem," kata Sulay.

Agak aneh mendengar Sulay ngomong sopan.

"Oh ... Bapak yang waktu itu, ya? Ingat saya, kan?"

Sudah pasti dia si kepala terbang menakutkan waktu itu! Kok jadi gini, ya!?

"Gimana? Bagus nggak? Cocok nggak sama muka dan kepala saya?" tanyanya.

Dia berputar-putar memamerkan badannya. Agak aneh untuk dilihat.

"B-ba ... gus, kok."

Tangan gue langsung ditarik dan gue dibanting ke kasur medis! Kaget gue! Cewek itu memperhatikan beberapa bagian yang memar, dan satu luka gores di pipi kiri. Dua orang cewek lainnya yang berbaju putih mengambilkannya beberapa peralatan dan obat-obatan.

"Bapak umurnya berapa, sih?" tanyanya.

"23."

"Oh masih muda banget ternyata. Saya panggil Mas aja kali, ya?"

Gue melirik ke arah Sulay yang tampak mau ketawa.

"Punya pacar?" tanyanya lagi.

"Eng ... gak."

Bagian tubuh gue yang memar diolesi suatu cairan berwarna ungu lalu dikompres dengan air hangat. Goresan di pipi kiri gue ditutupi dengan plester. Seperti yang tadi gue bilang, sebenarnya gue gak begitu butuh penanganan medis.

"Sudah. Kalau ada yang sakit nanti ke sini lagi, ya. Atau kalau cuma mau main-main ke sini juga gak apa-apa, kok. Datang aja. Siapa nama Mas-nya?"

"Mardo."

"Panggil aja Kila. Kalau Pak Sulay biasanya manggil Kak Kila, sih. Dia cuma gak mau kelihatan tua dari saya."

Berjalan ke kantin yang mulai agak sepi, Mery tersenyum lebar ketika melihat gue. Dia berlari menghampiri kami yang mau duduk.

"Pipi lo kenapa, Do!?" tanyanya pertama kali.

Dia memperhatikan goresan itu.

"Gak apa-apa, Mer. Kena gores aja, kok."

"Ini pasti gara-gara lo gak fokus, kan? Lo gak fokus gara-gara lo lapar, kan?"

"I-iya ... enggak gitu j-juga, sih."

Sulay diam aja, sibuk dengan HP-nya. Gue membuka sarung pedang, memperhatikan pedang gue yang kembali berwarna perak. Jujur gue lebih suka tampilannya yang kayak gini. Entah kenapa terasa lebih punya nilai sejarah. Walau waktu berwarna hitam jadi keren banget, sih.

"Kok bisa?" tanya Mery.

"Diambil dia, nih warnanya," sahut gue sambil menunjuk Sulay.

Gue teringat dengan gelang pemberian Mery dan pengin nanyain hal itu. Ketika gue memperhatikan tangannya, gelangnya yang berwana merah muda dan ungu itu emang masih di sana. Hanya aja, jempolnya kelihatan sedikit bengkak dan memerah. Gue langsung memegang tangannya.

"Jempol lo kenapa, Mer!? Pasti kena air panas, nih."

Dia terdiam menatap gue, lalu melepas kacamatanya.

"Lo ... Mardo, k-kan?"

"Hah!? Ya iya, lah."

Dia memasang kacamata bulatnya kembali.

"Iya, nih. Tadi kesiram air panas dikit."

Gue membuka dompet, mengeluarkan hansaplast lalu menempelkannya ke jempol Mery.

"Pasti gara-gara gak fokus, nih," kata gue.

Sulay melirik gue dan Mery bergantian sambil tetap sibuk dengan HP-nya. Beberapa saat suasana menjadi hening sampai Sulay menerima sebuah telepon.

"Oke siap, Bos. Kami ke sana sekarang."

"Kenapa, Pak?"

"Kita disuruh ke ruang informasi buat ngisi data hasil misi hari ini."

"Sekarang? Tapi—"

"Sekarang, lah. Tapi apaan lagi?"

"Gue ... masih lapar, Pak. Tadi, kan gak sempat habisin nasi kuningnya."

Sulay menyepak kaki gue.

"Makan aja yang ada di pikiran lo! Udah cepetan!"

"Udah pergi dulu aja, Do. Nanti gue siapin makannya," sahut Mery.

1
Affan Ghaffar Ahmad
gass lanjut bang
Riva Armis: Tengkyu support nya Bang
total 1 replies
Ryoma Echizen
Gak kebayang gimana lanjutannya!
Riva Armis: tengkyu udah mampir ya
total 1 replies
art_zahi
Gak sabar pengin baca kelanjutan karya mu, thor!
Riva Armis: tengkyu udah mampir
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!