Alika tidak pernah menyangka kehidupannya akan kembali dihadapkan pada dilema yang begitu menyakitkan. Dalam satu malam penuh emosi, Arlan, yang selama ini menjadi tempatnya bersandar, mabuk berat dan terlibat one night stand dengannya.
Terry yang sejak lama mengejar Arlan, memaksa Alika untuk menutup rapat kejadian itu. Terry menekankan, Alika berasal dari kalangan bawah, tak pantas bersanding dengan Arlan, apalagi sejak awal ibu Arlan tidak menyukai Alika.
Pengalaman pahit Alika menikah tanpa restu keluarga di masa lalu membuatnya memilih diam dan memendam rahasia itu sendirian. Ketika Arlan terbangun dari mabuknya, Terry dengan liciknya mengklaim bahwa ia yang tidur dengan Arlan, menciptakan kebohongan yang membuat Alika semakin terpojok.
Di tengah dilema itu, Alika dihadapkan pada dua pilihan sulit: tetap berada di sisi Adriel sebagai ibu asuhnya tanpa mengungkapkan kebenaran, atau mengungkapkan segalanya dengan risiko kehilangan semuanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
7. Hasil Tes
Di ruang kerjanya, Arlan duduk di depan laptop, tetapi pikirannya jauh dari pekerjaan. Jemarinya yang semula mengetik kini terhenti, lalu ia mengusap wajahnya kasar.
"Hari ini aku benar-benar kacau," gumamnya, frustrasi.
Sejak terbangun bersama Terry pagi tadi, pikirannya terus terusik. Ia yakin ingatannya tentang malam itu benar, ia bersama Alika, bukan Terry. Namun situasi yang terjadi saat ia bangun justru bertentangan dengan ingatannya.
Kesadaran itu membuatnya menyadari betapa cerobohnya ia hari ini. Ia, yang biasanya teliti dan penuh perhitungan, justru melewatkan banyak hal penting.
Ia tak memeriksa rekaman CCTV sebelum pergi ke rumah sakit bersama Terry dan mamanya. Bahkan saat menunggu tes di rumah sakit, ia juga tidak teringat untuk mengecek CCTV melalui ponselnya. Ia terlalu sibuk mengurai potongan ingatan malam itu.
Bukan hanya itu, ia juga baru sadar bahwa keputusannya melakukan tes di rumah sakit adalah kesalahan. Seandainya ia membawa sampelnya ke laboratorium klinik swasta, hasil analisis bisa keluar dalam 24 jam hingga satu minggu. Tapi di rumah sakit, hasilnya baru akan tersedia paling cepat dalam satu minggu.
Sebuah keputusan yang tak seperti dirinya.
Arlan menutup laptopnya dengan kasar, lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi. Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres, dan perasaan itu semakin menguat.
***
Hari demi hari berlalu, dan Arlan semakin tenggelam dalam pekerjaannya. Proyeknya yang bermasalah menuntut perhatiannya sepenuhnya. Ia sering pulang larut malam, bahkan beberapa kali tidak pulang sama sekali. Kesibukannya membuatnya tidak lagi memikirkan kejadian malam itu.
Hingga malam itu, ia akhirnya pulang. Pukul tiga dini hari, ia memasuki rumah dalam keadaan lelah dan nyaris setengah sadar. Ia langsung menuju kamarnya, hanya sempat melepas jas dan duduk di tepi ranjang sebelum akhirnya terlelap.
Pagi harinya.
Di meja makan, Arlan duduk dengan wajah terlihat lelah dan kurang tidur. Matanya sedikit sayu, namun ia tetap berusaha menyantap sarapannya. Di seberangnya, Alika duduk sambil membantu Adriel makan. Wanita itu tidak banyak bicara, hanya sesekali membujuk Adriel agar mau menghabiskan makanannya.
Namun ketenangan pagi itu tak berlangsung lama.
Suara langkah kaki mendekat, lalu suara Widi terdengar. "Selamat pagi."
Arlan dan Alika menoleh. Widi datang bersama Terry, keduanya terlihat rapi dan segar, sangat kontras dengan keadaan Arlan yang kelelahan.
Tanpa menunggu undangan, Widi langsung duduk di kursi kosong. Terry mengikuti, memasang senyum manis yang terasa janggal di mata Alika.
"Kalian sedang sarapan? Bagus, kami ikut," kata Widi, mengambil piring tanpa ragu.
Arlan hanya menghela napas pendek, terlalu lelah untuk menolak kehadiran mereka. Ia melanjutkan sarapannya tanpa banyak bicara.
Di sisi lain, Alika menunduk, lebih fokus pada Adriel daripada situasi di meja makan.
Saat itulah Widi berbicara lagi, dengan nada santai tapi penuh maksud. "Oh ya, Arlan. Hari ini hasil tesnya keluar. Kita akan mengambilnya pagi ini."
Sendok yang dipegang Arlan berhenti di udara. Ia menatap Widi, lalu sekilas melirik Terry yang tersenyum tenang.
Sementara itu, Alika tetap diam. Jari-jarinya refleks membelai kepala Adriel, mencari ketenangan dari anak itu di tengah pikirannya yang berkecamuk. Ia tahu betul—yang bersama Arlan malam itu adalah dirinya. Tapi Terry… perempuan itu dengan berani melakukan tes dan mengklaim hal itu sebagai miliknya.
Betapa kuat ambisi Terry untuk menjadi nyonya Arlan. Jika ia berani membuka mulut sekarang, Terry pasti akan melakukan apa pun untuk membungkamnya… termasuk membuktikan ancamannya.
Udara di meja makan terasa sedikit lebih berat.
Arlan menyandarkan punggungnya ke kursi dan menatap Widi dengan ekspresi lelah. "Kalian saja yang ambil."
Widi mendesah. "Arlan, ini menyangkut masa depanmu—"
"Aku ada pekerjaan," potong Arlan dingin. Ia benar-benar tidak ingin berurusan dengan ini sekarang.
Terry berpura-pura kecewa, tapi dalam hatinya ia lega. Jika Arlan ikut, ia bisa saja mulai curiga pada ekspresi atau reaksi dokter.
"Baiklah," ujar Widi akhirnya. "Kami akan mengambil hasilnya."
Setelah sarapan, Widi dan Terry berangkat ke rumah sakit.
***
Di rumah sakit.
Dokter menyerahkan amplop hasil tes dan mulai menjelaskan.
"Berdasarkan hasil yang kami periksa, sampel yang diuji membuktikan bahwa terdapat jejak hubungan intim antara Saudara Arlan dan Nona Terry."
Terry menahan senyum. Ia sudah tahu ini akan terjadi, berkat rencananya bersama Reza.
Widi mengangguk, tidak terlalu terkejut. "Terima kasih, Dokter. Kami hanya ingin memastikan."
Saat mereka keluar dari ruangan, Terry tersenyum penuh kemenangan. "Sekarang tinggal menunggu bagaimana Arlan menyikapinya," gumamnya dalam hati.
Widi terdiam, pikirannya dipenuhi berbagai pertimbangan. Sejauh ini, Arlan tidak menunjukkan niat untuk menikahi Terry. Bahkan setelah hasil tes menyatakan bahwa Arlan dan Terry telah melakukan hubungan intim, ia tak yakin putranya akan menikahi Terry.
Kekhawatiran mulai menyelinap di benaknya. Jika Arlan terus menolak, bagaimana reaksi Terry? Meski selama ini Terry selalu mengatakan bahwa ia bisa menerima segala keputusan, Widi tahu betul, di balik kata-kata itu, tersimpan ambisi dan tekad yang sulit dipatahkan.
***
Malam harinya, Widi duduk di ruang keluarga Arlan. Di tangannya ada hasil tes yang baru saja mereka terima dari rumah sakit. Terry duduk di sofa sebelahnya dengan ekspresi penuh kemenangan, sementara Arlan berdiri di sudut ruangan, tangan terlipat, wajahnya dingin namun matanya menunjukkan ketidakpercayaan.
Widi membuka percakapan dengan nada tegas.
“Hasil tes ini jelas menunjukkan bahwa kalian memang sudah tidur bersama, Arlan. Sekarang, mama tidak ingin mendengar penolakan lagi darimu.”
Terry menunduk seolah merasa bersalah, tetapi senyuman kecil bermain di sudut bibirnya. “Tante, aku sebenarnya tidak ingin memaksa Arlan. Aku hanya ingin dia bertanggung jawab atas apa yang terjadi. Bagaimanapun, aku hanya mencoba melindungi nama baik keluarga ini.”
Arlan mengerutkan kening. “Tanggung jawab? Bagaimana aku bisa bertanggung jawab untuk sesuatu yang tidak aku lakukan?” Nada suaranya tetap datar, tetapi ada penekanan di setiap kata yang membuat ruangan terasa lebih tegang.
Widi menggelengkan kepala. “Arlan, kau tidak bisa terus menyangkal. Hasil tes ini tidak mungkin salah. Kau mabuk, dan mungkin kau tidak mengingatnya dengan jelas, tapi kenyataannya tetap sama.”
Arlan melangkah maju, tatapannya tajam menusuk Terry. “Tes bisa dimanipulasi. Dan aku yakin, kalau ada seseorang yang cukup putus asa untuk melakukannya, dia pasti ada di ruangan ini.”
Terry mendongak dengan wajah pura-pura terkejut. “Arlan! Kenapa kamu selalu menyalahkanku? Aku bahkan melakukan ini demi kebaikanmu! Kalau aku tidak melindungimu malam itu, apa yang akan terjadi pada reputasimu?”
Arlan menatapnya tanpa berkedip. “Kebaikan, ya? Katakan padaku, Terry, sejak kapan ‘melindungi’ berarti melibatkan diri dalam situasi yang penuh kebohongan?”
Widi memotong dengan suara tajam. “Sudah cukup! Arlan, mama tidak akan membiarkan kau berbicara seperti itu pada Terry. Dia sudah cukup banyak berkorban untukmu, dan mama tidak akan membiarkan nama keluarga kita hancur karena egomu!”
Terry menunduk, kali ini benar-benar menangis. “Aku hanya ingin kita menyelesaikan ini dengan baik. Kalau Arlan tidak mau bertanggung jawab, aku akan pergi, Tante. Tapi aku tidak tahu bagaimana harus menghadapi semua ini sendirian.”
Widi segera menggenggam tangan Terry, menenangkannya. “Kau tidak akan kemana-mana, Terry. Arlan akan bertanggung jawab, suka atau tidak.”
Arlan menghela napas panjang, wajahnya tetap tenang namun penuh perhitungan. “Silakan percaya pada hasil tes itu, Ma. Tapi aku tidak akan berhenti mencari tahu kebenarannya. Dan percayalah, ketika aku menemukan bukti yang sebenarnya, semua ini akan berbalik.”
Terry merasakan gelombang kepanikan yang hampir tak bisa ia kendalikan, tetapi ia segera menutupinya dengan senyum sinis. Tangannya mengepal erat di atas pahanya, kukunya hampir menekan telapak tangannya sendiri.
"Jadi kau lebih percaya pada instingmu daripada hasil tes yang jelas-jelas membuktikan segalanya?" ucapnya dengan nada penuh kepura-puraan. Matanya menatap Arlan, berusaha menantang, namun di baliknya, ada ketakutan bahwa Arlan benar-benar akan menemukan sesuatu yang bisa menghancurkan rencananya.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
dan jangan ragu lagi , Arlan pasti bertanggung jawab atas kehamilanmu .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍