Amira kira setelah menikah hidupnya akan bahagia tapi ternyata semua itu tak sesuai harapan. Ibu mertuanya tidak menyukai Amira, bukan hanya itu setiap hari Amira hanya dijadikan pembantu oleh mertua serta adik iparnya. Bahkan saat hamil Amira di tuduh selingkuh oleh mertuanya sendiri tidak hanya itu setelah melahirkan anak Amira pun dijual oleh ibu mertuanya kepada seorang pria kaya raya yang tidak memiliki istri. Perjuangan Amira begitu besar demi merebut kembali anaknya. Akankah Amira berhasil mengambil kembali anaknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Non Mey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
meminta bagian
Malam itu, suasana di kamar Amira dan Angga sejenak terasa hangat. Angga baru saja pulang membawa kabar gembira bahwa ia telah menerima gaji bulanannya. Amira tersenyum lega, merasa bahwa langkah menuju kehidupan yang lebih mandiri semakin dekat.
"Alhamdulillah, akhirnya kita bisa mulai menyisihkan lebih banyak untuk tabungan," kata Amira sambil merapikan amplop uang di tangan Angga.
Angga mengangguk sambil menatap istrinya. "Iya, Mira. Aku juga ingin kita segera punya rumah sendiri. Aku tahu ini berat buat kamu."
Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Belum sempat mereka melanjutkan pembicaraan, pintu kamar terbuka tanpa diketuk. Bu Ratna dan Loli masuk dengan wajah tanpa basa-basi.
"Angga," panggil Bu Ratna dengan nada tegas, "sudah gajian, kan? Ibu perlu uang untuk bayar listrik dan belanja bulanan. Kamu tahu sendiri kebutuhan rumah makin banyak."
Amira hanya bisa menunduk, tidak ingin menambah ketegangan. Namun, ia merasa sesak mendengar permintaan itu. Ia tahu, jika Angga terus-menerus memberikan sebagian besar penghasilannya, impian mereka untuk pindah rumah akan semakin jauh.
Loli, yang berdiri di samping ibunya, ikut angkat bicara. "Bang, aku juga perlu uang. Aku mau beli buah buat bikin rujak. Siapa tahu nanti bisa aku jual. Daripada cuma di rumah, kan mending aku cari uang, ya?" katanya sambil tersenyum licik.
Angga menghela napas panjang, wajahnya tampak tegang. Ia melirik Amira, seolah meminta maaf dengan matanya.
"Ibu, Loli, aku sebenarnya mau menyisihkan uang ini untuk tabungan. Aku dan Amira sedang berencana pindah rumah," kata Angga, mencoba menjelaskan.
Namun, Bu Ratna segera menyela. "Pindah rumah? Kamu ini tidak memikirkan kami, Angga? Ibu ini sudah tua, siapa yang akan membantu kalau kalian pergi? Lagipula, untuk apa buru-buru pindah? Rumah ini cukup besar untuk kita semua."
"Iya, Bang," tambah Loli. "Lagipula, Kak Amira kan di rumah aja. Kalau kalian pindah, siapa yang bantu-bantu di sini? Aku nggak mungkin gantiin Kak Amira, ya."
Amira merasa dadanya seperti dihantam. Ia ingin membela diri, tetapi kata-kata itu tersangkut di tenggorokannya.
Angga berusaha mempertahankan argumennya. "Bu, aku tetap akan membantu, tapi aku juga punya tanggung jawab terhadap Amira. Kami butuh tempat sendiri untuk membangun kehidupan kami."
Namun, Bu Ratna tidak mau mendengar alasan itu. "Angga, kamu harus ingat siapa yang membesarkanmu. Apa kamu mau meninggalkan keluargamu begitu saja? Jangan egois hanya karena sudah menikah."
Di sudut ruangan, Amira merasa hatinya semakin hancur. Ia tahu Angga sedang terjepit. Meski Angga ingin mendahulukan mereka berdua, tekanan dari ibu dan adiknya terlalu besar.
Akhirnya, dengan berat hati, Angga mengambil sebagian besar uang dari amplop itu dan menyerahkannya kepada ibunya. "Ini, Bu, untuk listrik dan belanja. Tapi, tolong jangan habiskan semuanya, aku masih butuh untuk tabungan."
Loli yang melihat itu segera menyambar bagian lain dari amplop itu. "Bang, aku ambil segini, ya. Jangan khawatir, nanti kalau rujaknya laku, aku ganti kok," katanya dengan nada tidak serius.
Setelah Bu Ratna dan Loli pergi, meninggalkan kamar dengan riang karena mendapatkan apa yang mereka inginkan, Angga duduk di tepi tempat tidur, menunduk lesu. Amira hanya bisa diam, mencoba menahan rasa kecewanya.
"Maafkan aku, Mira," kata Angga pelan. "Aku tahu ini tidak adil untukmu. Tapi aku tidak tahu harus bagaimana lagi."
Amira menggeleng kecil, mencoba tersenyum meski air matanya sudah menggenang. "Aku mengerti, Mas. Aku tahu kamu ingin melakukan yang terbaik untuk semua orang."
Namun, di dalam hatinya, Amira merasa semakin jauh dari impian mereka. Setiap gajian Angga selalu habis untuk memenuhi kebutuhan keluarga mertua, sementara ia dan Angga hanya bisa menyisihkan sedikit, atau bahkan tidak sama sekali.
Malam itu, Amira tidak bisa tidur. Ia merenungkan nasibnya, bertanya-tanya apakah ia dan Angga akan selamanya terjebak dalam lingkaran ini. Namun, ia juga tahu bahwa ia harus mencari cara untuk keluar dari situasi ini tanpa merusak hubungan mereka dengan keluarga Angga.
Pagi berikutnya, Amira teringat kata-kata Bu Sari. "Hidup ini bukan tentang membuat semua orang senang," ia mengulang dalam pikirannya. Ia tahu bahwa ia harus berbicara lagi dengan Angga, tetapi kali ini dengan rencana yang lebih konkret.
Amira memutuskan untuk mulai mencari cara agar ia bisa membantu menambah tabungan mereka. Ia tidak ingin hanya bergantung pada Angga, terutama jika penghasilannya terus-menerus tersedot oleh keluarga mertuanya.
Di dalam hatinya, Amira percaya bahwa meskipun jalan mereka penuh rintangan, ia dan Angga masih punya harapan untuk mencapai impian mereka. Namun, untuk mewujudkan itu, ia tahu bahwa mereka harus mulai menetapkan batasan, tidak peduli seberapa sulitnya itu.
Pagi itu, Amira duduk di tepi tempat tidur setelah Angga berangkat kerja. Pikirannya dipenuhi kekhawatiran. Ia menyayangi Angga, tetapi ia tahu bahwa mereka tidak bisa terus-menerus hidup seperti ini. Amira merasa harus membantu, tidak hanya untuk meringankan beban Angga tetapi juga untuk mempercepat impian mereka memiliki rumah sendiri.
Amira teringat Bu Sari, yang pernah memberikan nasihat penuh makna ketika ia merasa terpuruk. Ia merasa bahwa Bu Sari mungkin bisa membantunya, atau setidaknya memberinya saran.
"Kalau aku terus-menerus bergantung pada Mas Angga, sampai kapanpun kami tidak akan bisa lepas dari situasi ini," gumam Amira pada dirinya sendiri.
Dengan keyakinan baru, Amira mengambil tas kecilnya dan bergegas menuju tempat laundry milik Bu Sari.
Ketika Amira sampai, ia menemukan Bu Sari sedang melipat pakaian di meja resepsionis. Wanita itu tersenyum hangat begitu melihat Amira masuk.
"Amira, ada apa pagi-pagi ke sini? Ada yang bisa saya bantu?" tanya Bu Sari sambil menepuk kursi di sebelahnya, mengisyaratkan Amira untuk duduk.
Amira duduk dan menarik napas panjang sebelum mulai berbicara. "Bu Sari, saya ingin tanya... apakah di sini masih ada lowongan kerja? Saya ingin membantu, apapun pekerjaannya. Saya bisa melipat pakaian, menyetrika, atau bahkan membersihkan tempat ini."
Bu Sari terkejut, tetapi ia bisa melihat kesungguhan di mata Amira. "Amira, kenapa kamu tiba-tiba ingin bekerja? Bukankah kamu tinggal di rumah mertua dan seharusnya tidak perlu khawatir soal uang?"
Amira tersenyum pahit. "Bu, saya tidak ingin terus bergantung pada gaji Mas Angga. Setiap kali dia gajian, uangnya selalu habis untuk keluarganya saja. Kalau begini terus, impian kami untuk pindah rumah tidak akan pernah tercapai. Saya ingin membantu, meski hanya sedikit."
Bu Sari mengangguk, memahami situasi yang diceritakan Amira. Ia berpikir sejenak sebelum menjawab, "Sebenarnya, saya memang butuh tambahan tenaga untuk membantu melipat dan menyetrika. Tapi, kamu yakin bisa? Pekerjaan ini cukup melelahkan."
"Saya yakin, Bu," jawab Amira tanpa ragu.
Namun, di tengah percakapan itu, Amira tiba-tiba teringat sesuatu. "Tapi, Bu Sari... saya belum tahu apakah Mas Angga akan setuju kalau saya bekerja. Dia mungkin merasa malu atau tidak nyaman kalau istrinya harus bekerja."
Bu Sari tersenyum lembut. "Amira, kamu tahu Angga lebih baik dari siapapun. Cobalah bicara dengannya. Jelaskan alasanmu, bahwa ini bukan tentang merendahkan martabatnya, tapi tentang kamu ingin membantu keluarga kalian. Kalau kamu berbicara dari hati, saya yakin dia akan mengerti."
Amira mengangguk perlahan. Kata-kata Bu Sari memberinya keberanian.
"Baiklah, Bu. Saya akan bicara dengan Mas Angga malam ini. Kalau dia setuju, saya akan mulai bekerja besok," kata Amira dengan semangat baru.
Bu Sari menepuk bahu Amira dengan penuh dukungan. "Bagus. Jangan ragu untuk mengambil langkah ini, Amira. Kamu perempuan yang kuat."
Malam itu, setelah makan malam, Amira memberanikan diri berbicara dengan Angga. Mereka duduk di kamar, dengan pintu tertutup rapat agar tidak ada yang mendengar.
"Mas, aku ingin bicara sesuatu," kata Amira pelan.
Angga menoleh, matanya penuh perhatian. "Ada apa, Mira? Kamu kelihatan serius."
Amira menarik napas dalam-dalam sebelum mulai bicara. "Mas, aku ingin bekerja. Aku sudah bicara dengan Bu Sari, dan dia bilang dia membutuhkan karyawan untuk membantu di laundry-nya. Aku ingin mencoba."
Angga terdiam, terlihat sedikit terkejut. "Kenapa kamu tiba-tiba ingin bekerja, Mira? Kamu tahu aku tidak keberatan menanggung kebutuhan kita."
Amira menggenggam tangan Angga erat. "Aku tahu, Mas. Tapi aku tidak ingin kamu terus-menerus menanggung semuanya sendirian. Aku ingin membantu, meski hanya sedikit. Apalagi, kalau setiap gajian kamu harus membagi uang untuk Ibu dan Loli, kapan kita bisa menabung?"
Angga tampak berpikir. Ia mengerti alasan Amira, tetapi ia juga merasa khawatir. "Tapi, Mira, aku tidak mau kamu terlalu lelah. Aku menikahimu bukan supaya kamu ikut bekerja."
"Aku tidak akan memaksakan diri, Mas. Aku hanya ingin kita punya kesempatan lebih besar untuk mencapai impian kita," jawab Amira penuh keyakinan.
Setelah beberapa saat hening, Angga akhirnya mengangguk. "Baiklah, Mira. Kalau itu memang yang kamu mau, aku akan mendukungmu. Tapi, kalau kamu merasa terlalu lelah, jangan ragu untuk berhenti, ya?"
Amira tersenyum lega. "Terima kasih, Mas. Aku janji, aku akan melakukan yang terbaik."
Keesokan paginya, Amira memulai hari pertamanya bekerja di laundry Bu Sari. Meski tubuhnya lelah setelah beberapa jam melipat dan menyetrika, hatinya terasa lebih ringan. Untuk pertama kalinya, ia merasa memiliki kendali atas masa depannya.
Amira tahu, ini baru langkah kecil, tetapi ia percaya bahwa dengan kerja keras dan dukungan Angga, mereka bisa melewati semua rintangan dan akhirnya mencapai impian mereka.