Kehidupannya telah menjadi impian semua wanita, namun Beta justru mengacaukannya.
Bukannya menikmati hidup bahagia, ia malah membunuh sang suami yang kaya raya???
Dari sinilah, kisah kehidupan Beta mulai diceritakan. Kelamnya masa lalu, hingga bagaimana ia bisa keluar dari lingkar kemiskinan yang membelenggu dirinya.
Kisah 'klasik'? Tidak! Kehidupan Beta bukanlah 'Template'!
Flashback kehidupan Beta dimulai sejak ia masih sekolah dan harus berkerja menghidupi keluarganya. Hingga akhirnya, takdir membawakan ia seorang pria yang akan mengubah gaya hidup dan juga finansialnya.
Seperti kisah 'cinderella' yang bahagia. Bertemu pangeran, dan menikah.
Lalu apa? Tentu saja kehidupan setelah pernikahan itu terus berlanjut.
Inilah yang disebut dengan,
'After Happy Ending'
Selamat membaca~
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yola Varka, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Seorang Teman dan Festival (1)
"Hah, capek banget. Baru pulang sekolah, udah kerja. Ini tempatnya masih jauh, ya? Mana sih?!" Aku hanya bicara pada diriku sendiri, karena hari ini aku sedang mengantar hasil laundry-an milik pelanggan, di tengah teriknya matahari.
Pekerjaanku adalah seorang kurir laundry. Sekarang, masih sangat jarang ada jasa kurir semacam ini. Aku yakin. Di masa depan, jasa kurir pasti sudah membludak dan banyak digemari oleh orang-orang.
Jadi kurir memang berat. Apalagi, aku hanya bermodalkan sepeda milik tempat laundry tempatku bekerja.
Kini, aku sedang membawa dua kresek merah besar di dalam box belakang sepedaku. Selain itu, aku juga harus mencari di mana letak alamat para pelanggan.
Jujur, itu bukanlah hal yang mudah. Ditambah, aku tidak memiliki ingatan yang bagus. Meski aku pernah mengambil pakaian milik pelanggan di rumahnya, tetapi saat mengantar laundry-an kembali, aku sudah lupa letak jalannya.
Tambahan informasi, aku adalah seseorang yang buta arah. Pekerjaan ini emang sebenarnya tidak cocok untukku. Aku hanya terpaksa. Karena pekerjaan ini yang mampu aku lakukan sembari bersekolah.
Ketika melihat seorang pejalan kaki, aku otomatis menghentikan laju sepedaku dan menanyakan alamat padanya. Dan syukurlah, ternyata aku sudah dekat dengan tujuan.
Aku pun, segera mengayuh sepedaku ke sebuah gerbang perumahan.
Dan waw, aku serasa masuk ke dalam dunia yang berbeda, ketika mulai memasuki area perumahan yang terlihat elit ini.
Ternyata, orang yang dulu mengambil pakaian milik pelanggan ini bukanlah aku. Mungkin saja, rekan kerjaku yang lain. Dan kini, aku yang harus mengantarkannya kembali.
Pantas saja aku kebingungan. Biasanya, bosku memberikan tugas mengantar laundry-an ini kepada pekerja yang juga telah mengetahui alamatnya. Mungkin, bosku lupa. Beliau juga hanyalah seorang manusia biasa.
Ting tong!
Aku menekan bel rumah basar nan megah ini. Sepertinya, rumah di hadapanku ini adalah yang termewah di antara yang lain.
Ketika aku sedang asik mengagumi bangunan sekitar perumahan, pintu besar akhirnya terbuka. 3 detik kemudian, tubuhku mematung seketika.
'Oh, tidak!'
Orang yang membukakan pintu adalah seseorang yang kukenal. Dia adalah Jaka, seorang bendahara di kelasku.
Gawat. Tak kusangka aku bisa ketahuan oleh teman sekelas. Aku takut jika dia melapor ke para guru, sebab melihatku bekerja di usia yang masih di bawah umur.
Dan lagi, aku malu. Selain seragam sekolah, aku tidak memiliki jenis pakaian yang bagus dan layak.
Karena sedang bekerja, kini aku hanya mengenakan kaos partai yang kututup dengan jaket hitam yang sudah usang. Plus, celana olahraga bekas SMP. Sepasang sandal jepit yang tidak singkron dan hijab ala ibu-ibu pengajian, ikut melengkapi penampilanku.
Sudah dipastikan, outfitku hari ini pasti terlihat sangat buruk. Seakan ada cap miskin di dahiku.
Aku berdehem untuk menghilangkan rasa canggung. "Ehem! Ini laundry-an," ujarku singkat sambil menyerahkan dua kantong besar warna merah kepada Jaka, sang bendahara kelas.
Jaka menerimanya dalam diam. Aku sadar kalau aku sedang ditatap olehnya. Tapi, aku tidak berani menatapnya balik.
Setelah menyerahkan semua barang itu, aku segera balik kanan dan pulang tanpa berlama-lama berada di sana. Namun, tidak kusangka kalau teman sekelasku ini ternyata sangat ramah, sehingga mau repot-repot menyapaku.
"Tunggu! Kamu Beta, kan?" Jaka menahanku dengan sapaannya barusan.
"Iya. Kenapa?" jawabku sok santai.
"Ah, nggak. Kamu kerja?" Pertanyaan bagus.
Aku mengembuskan napas panjang, tanda menyerah. "Kalo mau lapor ke guru, silakan. Aku nggak ngelarang," ucapku padanya.
Saat ini, aku memang terlihat sok menantang, padahal aku sangat khawatir dan ketakutan.
Di otakku saat ini, sedang dipenuhi dengan pikiran tentang pekerjaan apa lagi yang kira-kira bisa aku lakukan tanpa ketahuan teman.
"Oh, apa harusnya ini rahasia?" tanya Jaka dengan wajah yang terlihat seperti malaikat di mataku.
Aku pun berjalan sedikit mendekat ke arah Jaka. "Kalau kamu diem saja, aku akan merasa sangat berterima kasih," ucapku pelan, hampir seperti bisikan.
"Oke. Aku nggak bakal kasih tahu siapa-siapa." Respon Jaka benar-benar membuatku terkejut dan senang. Tanpa sadar, aku telah menunjukkan senyum terlebarku yang belum pernah aku tunjukkan pada siapapun, selain keluargaku sendiri.
"Wah! Makasih banget," ucapku masih dengan senyuman lebar.
"Seseneng itu?" ujar Jaka sambil melipat kedua tangan di depan dada.
Aku berdehem satu kali sebelum berbicara. "Ya udah, aku balik. Bye-bye, jangan sok kenal di sekolah, ya?" pamitku pada Jaka, sambil berjalan menjauh dengan tangan kananku yang melambai ke arahnya.
Meski sambil tersenyum, tapi aku serius soal apa yang aku katakan di kalimat terakhirku. Memang, sejak awal aku tidak dekat dengan siapapun. Dan aku juga tidak ingin didekati.
~
"Serius? Dulu anda tidak punya teman sama sekali?" tanya sang psikolog, membuat Beta menjeda ceritanya.
Kali ini, hari kedua psikolog itu menemui Beta di rumah sakit.
"Bukan hanya dulu, sekarang pun, saya juga tidak punya teman," jawab Beta dengan nada dan ekspresi datar. Kedua matanya terlihat sayup, seakan tidak ada kehidupan di sana.
"Ah, begitu. Anda cukup realistis. Teman sekolah juga ujung-ujungnya akan berpisah dan menjauh. Dan sekarang, anda sudah sibuk dengan keluarga, jadi tak ada waktu untuk bersama orang lain."
"Anda paham maksud saya ternyata." Beta sedikit menunjukkan senyumnya. Dia tersenyum tipis. Saaangat tipis.
"Tapi, tetap saja manusia tidak bisa hidup secara individu, Bu Beta. Saya sendiri juga punya teman. Meski hanya seorang, tapi satu orang itu yang menjadi tempat saya bersandar jika sedang merasa kesulitan dan kelelahan. Teman, bagi saya tak perlu banyak. Cukup orang yang paling bisa kita percayai saja. Maaf, saya hanya memberi saran. Tapi, apa anda yakin, tak pernah terbesit rasa ingin berteman dengan seseorang?" Pertanyaan yang psikolog itu ajukan akhirnya membuat Beta mengingat-ingat sambil menatap lantai rumah sakit yang berwarna putih. Ia tampak berpikir sejenak.
"Ada," jawab Beta dengan raut wajah yang sulit diartikan, setelah ia teringat sesuatu.
"Sudah saya duga. Bisa anda ceritakan sedikit saja?" pinta sang psikolog dengan nada lembut.
"Tapi, tolong jangan kecewa karena ini bukanlah cerita yang akan terdengar menyenangkan." Beta membari peringatan kepada wanita di hadapannya.
"Saya siap mendengarkan, tidak peduli dengan akhir ceritanya," jawab sang psikolog dengan raut terlihat antusias.
~
"Nggak, aku nggak ikut. Karna udah kelas tiga, jadi harus fokus belajar." Aku menyesal telah bertanya sesuatu tentang bazar kepada Sofia. Kupikir, itu adalah bazar buku, ternyata hanyalah semacam acara festival yang diadakan di dekat rumahnya.
"Dih, sok banget! Hari ini lesnya libur dan besok Minggu. Ayolah, sekali-kali. Kamu juga udah pinter, kan? Aku nggak ada temen, jadi ayo sama kamu aja," bujuk Sofia sambil memegangi lenganku kuat-kuat. Aku khawatir. Bisa gawat kalau sampai seragamku robek.
"Nggak." Aku tetap bersikukuh untuk menolak ajakannya.
"Ayo dong! Beta, kamu harus refreshing sebelum masa ujian datang. Salah sendiri, tadi kamu peke nanya-nanya segala. Aku jadi kepikiran buat ngajakin. Asli, nggak akan rugi kalau kamu mau ikut! Ya?!" Sofia terus memaksa.
Aku tidak terlalu mengerti tentang kepribadian Sofia. Padahal, aku tidak dekat dengannya, tapi hari ini, dia tiba-tiba terlihat sok kenal denganku hanya karena aku bertanya sesuatu padanya. Aneh.
Aku mengembuskan napas kuat. "Yaudah." Aku akhirnya mengalah. Acara festival terdengar lumayan menyenangkan juga.
Karena hari ini libur les, jadi aku punya waktu luang setelah pulang sekolah. Hari sabtu juga kebetulan bukan hari kerjaku. Mungkin, aku bisa bersenang-senang sebentar hari ini.
Bersambung.....