The World Where You Exist, Become More Pleasant
_______
"Suka mendadak gitu kalau bikin jadwal. Apa kalau jadi pejabat tuh memang harus selalu terburu-buru oleh waktu?"
- Kalila Adipramana
_______
Terus-terusan direcoki Papa agar bergabung mengurus perusahaan membuatku nekat merantau ke kabupaten dengan dalih merintis yayasan sosial yang berfokus pada pengembangan individu menjadi berguna bagi masa depannya. Lelah membujukku yang tidak mau berkontribusi langsung di perusahaan, Papa memintaku hadir menggantikannya di acara sang sahabat yang tinggal tempat yang sama. Di acara ini pula aku jadi mengenal dekat sosok pemimpin kabupaten ini secara pribadi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rsoemarno, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18.) Mengungkap Kebenaran
Chapter 18: Mengungkap Kebenaran
Sore ini juga aku langsung meluncur menuju alamat yang tertera pada berkas yang kuterima pagi tadi. Dengan didampingi beberapa ajudan pribadiku, sampailah kami di sebuah rumah sederhana yang berada di pinggiran Kabupaten Bawera.
Aku mengerutkan dahiku memandang lingkungan rumah ini yang tampak belum selesai di bangun. Hanya ada beberapa rumah saja yang sudah berdiri tegak, sementara yang lain masih berupa tanah kosong yang penuh ilalang.
“Tempat apa ini, Sanca?” tanyaku pada kepala ajudan pribadiku.
“Perumahan layak huni dengan harga terjangkau untuk keluarga menengah, Nona.” jawab Sanca mendekatiku.
“Salah satu janji Pak Satya untuk warga Bawera pada pilkada kemarin. Sayangnya harus terhenti sementara karena kasus korupsi yang melibatkan kepala dinasnya beberapa waktu yang lalu.” lanjutnya.
“Sistemnya bagaimana?”
“Akan diperjual-belikan ketika seluruh bangunan sudah rampung berdiri, Nona. Untuk calon pembelinya sendiri akan diseleksi dengan ketat oleh tim yang sudah ditunjuk Pak Satya. Salah satu syaratnya adalah keluarga yang belum memiliki rumah dan hanya menerima pembayaran secara kredit. Untuk meringankan perputaran beban keluarga pembeli tentunya.”
Aku mengerling pada bangunan di depan kami yang terlihat lebih hidup daripada bangunan lain yang juga sudah jadi. “Bagaimana dengan rumah itu?”
“Sudah keluar sertifikat kepemilikannya, Nona. Atas nama Ramona Elenora.”
Aku menipiskan bibir mendengar jawaban Sanca. Hanya Mas Satya yang bebas mengeluarkan sertifikat rumah yang tanahnya harus dipecah dengan mudahnya.
Kuamati sekeliling rumah ini yang lenggang tanpa penjagaan berarti. Hanya ada pagar besi kokoh yang menghalangi rumah dengan lingkungan luar.
“Kita masuk.” perintahku.
Sanca membuka pintu pagar yang tidak dikunci dengan benar. Ia mengetuk pintu dan berusaha memanggil sang penghuni rumah untuk keluar.
Salah seorang ajudan yang juga ikut mengamati sekeliling rumah ini memberikan kode kepada Sanca karena tidak ada respon dari penghuni rumah sama sekali.
“Sepertinya penghuni rumah ini sedang sibuk di halaman belakang, Nona.” lapor Sanca.
“Di samping rumah ini ada lorong yang langsung terhubung ke halaman belakang.” tambahnya.
Aku melangkah menuju lorong samping yang ditunjukkan Sanca. Jantungku berdegup kencang seiring dengan ujung lorong yang semakin terlihat. Akankah hal yang kutemui di depan sana membuatku hancur?
Tiba di ujung lorong, kulihat seorang wanita muda berambut panjang tengah duduk di kursi taman, membelakangi diriku.
Kuamati wanita tersebut dengan intens hingga pandanganku berhenti di bagian perutnya yang tampak membuncit.
"Kamu tau sayang. Pak Satya itu sudah tidak sabar menantikan kelahiranmu. Beliau selalu menemani mama waktu memeriksa kesehatanmu. Beliau juga membelikan perlengkapan kehamilan mama dengan merk terbaik di dunia. Bahkan beliau sudah mulai menyiapkan perlengkapan kelahiranmu."
"Kalau di adat jawa saat ini kamu sudah memasuki usia 7 bulan. Seharusnya ada ritual mitoni untuk melindungimu. Tapi apa daya mama tidak memiliki apapun, sayang. Maafkan mama.”
Mataku memanas mendengar monolog wanita tersebut pada calon bayinya. Dengan menahan air mata yang mendesak keluar, kudekati wanita tersebut untuk mengonfrontasinya secara langsung.
“Mbak kalila? Kenapa Mbak Kalila menangis? Apa ada yang salah?” tanya wanita itu yang menyadari keberadaanku.
Aku menatapnya tak percaya. Bisa-bisanya dia menanyakan hal tersebut kepadaku tanpa teringat dengan perutnya yang sudah membuncit besar itu.
“Kamu bertanya apa ada yang salah?” tanyaku tak habis pikir.
“Kehadiranmu adalah sebuah kesalahan besar. Bisa-bisanya kamu hidup tenang di sini, menikmati masa kehamilan. Sementara di luar sana pernikahanku dan Mas Satya terancam hancur dengan adanya kalian.”
Ramona tampak terusik mendengar ucapan tajamku padanya. Ia menjadi histeris mengatakan berbagai hal yang tidak dapat kutangkap dengan baik maksudnya. Fokusku beralih mengkhawatirkan keadaan dirinya yang seharusnya tidak boleh terlalu emosional karena sedang mengandung.
Dan benar saja. Ramona tiba-tiba jatuh pingsan seusai mengeluarkan segala unek-uneknya. Beruntung Sanca dengan sigap menahan tubuh wanita itu hingga tidak jatuh ke tanah.
Aku segera memerintahkan ajudanku untuk membawa Ramona ke rumah sakit terdekat.
“Bagaimana keadaannya, dok?”
“Ibu Ramona terlalu emosional hingga tidak dapat menahan lonjakan adrenalin yang membuatnya hilang kesadaran. Untuk saat ini keadaannya sudah stabil. Setelah infusnya habis, sudah boleh dibawa pulang ke rumah.”
“Bagaimana dengan bayinya?”
“Kondisi bayinya baik. Jika ingin mengetahui kondisi bayinya lebih jelas lagi bisa mengunjungi dokter kandungan setelah ini.”
Selepas kepergian dokter ugd yang memeriksa Ramona, aku segera meminta Sanca untuk mengurus kamar VVIP dan pemeriksaan dokter obgyn langsung ke kamar tersebut.
Ramona yang sudah tersadar sempat menolak ketika akan dipindahkan dari ruang ugd ke kamar VVIP. Ia merasa sudah sehat dan ingin segera kembali pulang ke rumah.
“Kita masih belum mengetahui bagaimana keadaan bayi dalam perutmu. Akan lebih nyaman untuk memeriksanya di ruang yang lebih privat.”
“Ingat, statusmu istimewa. Dan masih ada yang perlu kita bahas lebih dalam mengenai ucapanmu tadi sore.”
Ramona pun akhirnya menurut mengikuti pengaturan yang kubuat.
“Siapa sebenarnya ayah dari bayimu itu? Mas Satya? Atau Alreno?” tembakku setelah hanya ada kami berdua di kamar VVIP ini. Sanca kuperintahkan berjaga di luar.
Ramona menatapku lurus. “Alreno.” jawabnya lugas. “Tapi bayi ini ada karena campur tangan Pak Satya.”
Kuangkat alisku bertanya. “Jelaskan.”
“Saya terjebak bersama Wistara yang sedang dalam pengaruh obat perangsang ketika hari terakhir pelatihan yang diadakan YMB. Dan terjadilah hal yang tidak diinginkan tersebut hingga berbuah menjadi bayi yang sedang saya kandung sekarang.”
“Saat mengetahui hamil, saya segera menemui wistara untuk meminta tanggung jawabnya. Tapi dia tidak berkenan menikahi saya, malah menawarkan kesejahteraan bagi saya dengan syarat menggugurkan bayi ini.”
“Saya tidak bersedia menggugurkan bayi ini. Jadi saya memilih pergi menjauh saja dari hidup Wistara.”
“Pak Satya tiba-tiba muncul, menawarkan bantuan kepada saya yang mengalami kebuntuan akan bagaimana membesarkan bayi ini.”
“Dan baru-baru ini saya mengetahui dari Wistara yang ternyata adalah Alreno, anak satu-satunya Ibu Kirana, kebenarannya.”
“Ternyata Pak Satya yang berada di balik kejadian saat itu. Akibat ulahnya saat itu hingga ia bersedia membantu saya merawat bayi ini ketika lahir nanti. Karena ayah kandungnya sendiri tidak mau menerimanya.”
Aku terenyuh mendengar cerita yang disampaikan Ramona dengan sikap tegarnya.
Terjawab sudah alasan Alreno tiba-tiba mengamuk di kantor bupati yang menyebabkan munculnya rumor perselingkuhan Mas Satya. Aku paham dengan kemarahan Alreno yang merasa dipermainkan masa depannya.
Yang tidak kupahami adalah alasan Mas Satya melakukan hal tersebut kepada sepupunya sendiri. Dan tiba-tiba saja ia berbuat layaknya pahlawan kesiangan kepada korbannya.
Apa yang ingin dicapainya?
Kuusap lengan Ramona pelan, berusaha menyalurkan empati kepadanya.
“Dokter yang memeriksa tadi bilang, kamu terlalu emosional sehingga pingsan. Sekarang sebaiknya kamu menenangkan diri sembari menunggu dokter obgyn datang untuk memeriksa keponakanku ini.”