Dia meninggal tapi menghantui istri ku.
Ku genggam tangan Dias yang terasa dingin dan Bergetar. Wajahnya pucat pasi dengan keringat membasahi anak rambut di wajahnya. Mulutnya terbuka menahan sakit yang luar biasa, sekalinya menarik nafas darah mengucur dari luka mengangga di bagian ulu hati.
"Bertahanlah Dias." ucapku.
Dia menggeleng, menarik nafas yang tersengal-sengal, lalu berkata dengan susah payah. "Eva."
Tubuhnya yang menegang kini melemas seiring dengan hembusan nafas terakhir.
Aku tercekat memandangi wajah sahabat ku dengan rasa yang berkecamuk hebat.
Mengapa Dias menyebut nama istriku diakhir nafasnya?
Apa hubungannya kematian Dias dengan istriku, Eva?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dayang Rindu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mencari jalan
"Siapa polisi itu Mbak?" tanya Gerry tegang.
"Pak Budi, atasan mu Ger."
Kami terdiam, hanya desahan kasar yang terdengar dari mulut Gerry. Laki-laki yang sudah ku anggap adik itu mengusap wajahnya berkali-kali. Dia benar-benar frustasi kali ini. Artinya kasus ini tidak akan pernah terungkap sampai kapanpun, mereka hanya akan memberatkan satu orang untuk di jadikan tersangka yaitu istriku.
Apakah pelakunya adalah Lusia? Entahlah.
"Ibbuuu..." rengekan seina menyadarkan kami dari lamunan masing-masing.
Ku lirik di luar tenda, sosok Dias hanya berdiri datar tanpa menoleh siapapun. Dia tak bereaksi meskipun aku berusaha berkomunikasi dengannya. Berbeda jika itu Eva, ketika istriku menoleh, diapun akan menoleh hingga keduanya saling bertatapan.
Apakah duniamu hanyalah istriku saja, Dias?
Seketika dia menatap tajam diriku, seolah tahu apa yang sedang aku pikirkan.
Aku melengos, kembali fokus pada istriku yang masih menyusui Seina. Aku duduk menutupi kedua wanita kesayangan ku ini, tak mau da-da istriku di lihat orang lain.
Bara api kembali menyala menerangi gubuk rumput darurat ini, tak ada alas, Hanya rumput tebal beserta bebatuan yang menonjol kami jadikan tempat duduk.
"Jangan terlalu besar Li, takut di lihat orang dari atas sana." aku mencegah Zalli yang terus meniup kayu api.
"Tadi sore itu ada seorang laki-laki yang pingsan Mas, habis berkelahi sama pria yang bawa Seina." kata Mbok Yem.
"Siapa?" tanyaku, kami saling berpandangan menerka-nerka, siapakah laki-laki itu?
"Nggak tahu Mas, dia pingsan tidak jauh dari orang yang mbok bu_ ..." mbok Yem menunduk.
Aku faham sekarang, pria yang tewas itu pasti sudah lumpuh sebelum bertemu mbok Yem, tapi siapa yang berkelahi dengannya? Apakah tetangga ku?
"Mas, maaf aku tidak cerita sama kamu dari awal." Eva menunduk.
"Sudahlah, andaikan aku tahu mungkin kejadiannya sama saja, bahkan lebih parah mungkin." jawabku, tak mau menyesalkan apanya sudah terjadi. Ibu dan Lusia pastinya sudah merencanakan ini semua, termasuk menculik Seina.
Sesalku, harusnya aku tak menyalah Eva. "Maafkan aku Dek."
Aku memeluk Eva dan Seina begitu erat, masih bersyukur Tuhan memberi kesempatan untuk kami masih bersama. Bahkan istriku sudah melewati hal menegangkan bersama Dias, bodohnya aku, sampai tidak tahu hal berbahaya seperti itu.
"Bagaimana sekarang? Kita berkumpul di sini, bukan berarti sudah aman." kata Zalli.
"Aku akan kembali." kata Gerry, dia beranjak dari duduknya namun segera ku cegah.
"Naik ke atas sana malam ini, sama dengan cari mati!" cegah ku.
"Tapi aku tidak bisa membiarkan mereka hidup tenang setelah nyawa kakak ku melayang." ucapnya, mengepal tangan penuh amarah.
"Tapi tidak dengan cara menyerahkan nyawa juga! Kau ingat, bagaimana kakakmu menyelidiki Lusia?"
Gerry terdiam, menoleh ku.
"Kamu juga tidak aman Gerry." kata Eva.
"Apakah kita akan di sini semalaman?" kesalnya, dia kembali duduk di dekat api bersama Zalli.
"Kita harus pergi kemana?" tanya Zalli lagi. Menoleh kami satu persatu, terakhir menoleh mbok Yem yang tak bisa berjalan.
"Jangan pikirkan si mbok, biarlah mbok di sini." katanya.
"Nggak Mbok, kita akan pergi bersama-sama." Kataku.
"Tidak perlu. Mbok sudah sangat lega bisa menyelamatkan non Seina. Mbok gagal menolong Mas Dias, dia malah meminta mbok segera pergi." mbok Yem menangis.
"Bisa lihat lukanya Mbok?" tanya ku.
Lukanya sedikit, hanya saja sepertinya keseleo nya parah.
Zalli pun mendekat, sedikit banyak adik iparku ini bisa ilmu pengobatan, belajar dari pondok ketika itu.
"Tak coba lurusin ya Mbok, mbok gigit lainnya kuat-kuat kalau sakit." kata Zalli, memberikan lipatan kain mbok Yem itu Sendiri.
Adikku itu mulai meluruskan kaki mbok Yem, tampak memar, luka, dan bengkak bagian lututnya.
Tak ada minyak, Zalli mengambil daun kayu lebar lalu memanggangnya sampai layu, menempelkan pada bagian yang bengkak, memar dan lecet. Aku ikut meringis ketika mbok Yem menggigit kainnya hingga berkeringat. Pasti sakit sekali.
"Sabar ya Mbok, nanti sakitnya berkurang setelah selesai di angetin pakai daun-daun ini." kata Zalli.
Kamipun ikut menghangatkan luka memar di tubuh masing-masing. Lumayan, pedih dan nyerinya berkurang setelah itu.
Entah metode apa ini, tapi lumayan manjur mengurangi rasa sakit.
Hampir satu jam kami beristirahat, memulihkan tenaga yang terkuras habis setelah berpetualang.
"Mas, kok aku lihat cahaya di atas sana ya?" Zalli yang baru saja membuang daun-daun yang sudah layu itu mendadak berdiri tegang menghadap ke arah tebing, hutan terjal yang tadi kami lewati.
Brak! Gerri menutup api yang masih menyala itu dengan daun yang basah, lalu menginjak-injaknya.
"Gimana Mas?" tanya Eva, dia memeluk Seina sangat erat, putriku itu sudah tidur lelap setelah kenyang menyusu.
"Kita kemana?" tanyaku, meminta usul kepada yang lain.
"Kita ikut aliran sungai ini saja, karena untuk kembali rasanya tak mungkin." Saran Zalli.
"Bagaimana dengan Andin?" Gumamku, khawatir juga aku dengan adikku itu.
"Andin akan baik-baik saja Mas, dia anak ibu." kata Istriku, benar juga, Andin anak ibu.
Kami menatap hutan di depan kami, suara riuh air mengerikan dalam kegelapan, berbagai bayangan tentang binatang malam menggangu pikiran namun tak ada pilihan.
"Ayo! Mbok sudah baikan." ajak Mbok Yem, perempuan itu memberikan sarungnya yang hanya sebelah itu pada istriku. Kembali menyambungnya menjadi satu untuk menggendong Seina, lumayan, ada pengikat agar tak terlepas ketika melewati perjalanan yang sulit.
Zalli di depan, mbok Yem, Eva, aku dan terakhir di belakang ku Gerry.
Kami berjalan menembus kegelapan dengan minim cahaya, mengikuti langkah Zalli yang masih memegang senter yang mulai redup.
"Hati-hati." ucapku, memegangi tangan Eva.
Lama hingga sudah beberapa puluh meter, ternyata perjalanan kami harus terhenti.
"Jalannya buntu." kata Zalli.
"Kita buat saja, biar aku yang menyibak rumputnya." aku meraih pisau di tangan istriku, menebas rumput yang basah dan rapat, membuat jalan untuk di lewati.
"Tapi di seberang sana tampak bersih, apakah kita menyeberang saja, jalannya akan lebih mudah." kata Gerry.
"Tidak, bahaya." Eva tak setuju, sama halnya denganku.
"Sial, di depan kita hanyalah tebing." Aku mengumpat kesal, sudah payah menebas rumputnya, malah buntu.
"Kita naik ke atas saja, mana tahu di atas sana ada jalan yang bisa kita lewati." usul istriku.
"Baiklah." kami berbelok arah, meninggalkan tebing di depan kami untuk naik ke hutan.
"Cepatlah!"
Suara Dias terdengar mengerikan, sebuah peringatan yang sulit dilakukan, mbon Yem kesulitan berjalan.
"Ayo mbok, cepat!" aku mendorong perempuan tua itu.
"Mbok gak bisa. Cepatlah kalian duluan sebelum di lihat orang." kata mBok Yem.
Sempat saling pandang, kemudian Gerry naik lebih dulu di atas kami. "Ayo Mbak!" Gerry mengulurkan tangannya.
"Mas gendong seina, kamu naiklah lebih dulu." titahku. Dia kesulitan jika sambil menggendong Seina.
Baru saja Gerry menarik tangan Istriku, sebuah tangan lain malah menarik ku ke belakang.
"Maaasss!" Eva memekik.
Mau tak mau harus terlibat perkelahian di tengah kegelapan malam. Ku ikat kuat anakku di balik punggung, pisau yang ku pegang tak akan ku lepas kecuali nyawaku sudah melayang.
Lusia.. lusiapa siih, sampe seenaknya aja mau bunuh orang kek bunuh nyamuk 🦟/Slight/
Lusia.. lusialan emang 🤭🏃♀️🏃♀️🏃♀️
hais jd tegang nieh a1 bacanya