--Balas dendam terbaik adalah dengan menjadi pemenang sejati--
Setelah dicampakkan ayahnya dan diputus status sebagai Tuan Muda saat usia delapan tahun karena kutukan, Xavier bangkit sebagai sisi yang berbeda setelah dewasa. Mengusung nama besar Blood dengan menjadi panglima perang sejati dan pebisnis andal di kekaisaran.
Namun ... pada akhir dia tetaplah sampah!
---Ekslusif di NOVELTOON---
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eka Magisna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ɛpɪsoʊd 33
“Aku hanya berpikir, suatu saat aku harus membalas mereka, bukan?”
“Tentu saja!” tanggap Xavier. “Selain pil-pil itu, apalagi yang kau ketahui tentang mereka? Seberapa luas konspirasi yang dibuat para keparat itu?” tanyanya, ingin tahu.
Meski beberapa poin telah didapatnya dari telik sandi yang ditempatkan di istana, tapi mendengarnya langsung dari Ashiana akan memperjelas semua dan dia tahu kemana harus mengarah dan apa yang harus dilakukan ke depannya nanti, mana yang harus dihati-hati atau ditindak cepat.
Senyum Ashiana bercabang makna. Satu sisi, dia kagum karena Xavier; “Kau bahkan sudah tahu ada konspirasi di balik tahta." Kecerdasan pria itu bukan isapan jari, dia mengakui. Sisi lainnya, senyuman getir; “Sebenarnya aku benci membicarakan ini. Aku merasakan semua yang kutahan selama ini akan membuncah. Aku takut tak bisa menahan lagi. Tapi ....”
Xavier beranjak dari duduknya, bergerak ke depan dan berakhir di samping Ashiana, duduk lalu meraih telapak tangan wanita itu untuk mentransfer kekuatan baru. “Tak apa, pelan-pelan saja. Jika tidak sanggup bercerita sekarang, aku bisa menunggu sampai kau siap.”
Ashiana menoleh lelaki itu hingga beradu pasang mata mereka. “Tidak,” sanggahnya. “Justru karena aku sudah tak sanggup, aku ingin melepas semuanya. Selama ini aku mengunci semua fakta di dadaku sendiri. Sekarang ada kau, yang meskipun belum sepenuhnya aku yakini, setidaknya sesak yang kurasakan akan berkurang, walau harus mati di tanganmu saat ini juga.”
Meski ucapannya sedikit menyinggung, menggelitik atau apalah namanya, tapi Xavier merasa tidak ingin memarahinya. Ada kerapuhan di mata wanita itu, kerapuhan seorang anak rusa yang tersesat. Dia jadi ingin memberi setidaknya pelukan kecil, tapi lagi-lagi ... belum saatnya. Nanti saja sekalian. -----
“Baiklah. Luapkan semuanya padaku. Seluas bebanmu, lebih luas wadah yang kumiliki untuk menampungnya. Kau hanya perlu memindahkan padaku tanpa menyisakannya.”
Terdengar sejuk dan menghapus semua dahaga. Ashiana seperti merebah di atas awan. Atau jika boleh, dia ingin berjingkrak-jingkrak sambil berkokok.
“Ya.”
Tapi belum lima detik hatinya berbunga-bunga ....
“Kau berpura-pura gila untuk mengorek banyak hal dari orang-orang itu, 'kan? Jadi ... apa saja yang kau dapatkan selama belasan tahun bermain drama?”
Setelah terbongkar begini, Ashiana jadi merasa aneh. Semua tingkah yang dia buat sebagai wanita gila ... ahh, terlalu memalukan. “Aku ingin tenggelam saja.”
Tapi dibanding ego, pada akhir dia tetap harus mengalah pada pemilik kuasa.
Hanya perlu bercerita, sisanya dia sudah menyerahkan penuh pada Xavier.
Fakta pertama:
Kematian Kaisar Eugen, juga tidak sesederhana penderitaan karena sakit. Lagi-lagi pemberian racun secara berkala oleh tabib istana yang dibayar mahal oleh Bjorn, menjadi penyebab pulangnya kaisar bijak itu ke pelukan Dewa.
Fakta kedua:
Kecelakaan yang merenggut nyawa Ratu Selena, juga kebakaran galeri istana yang melenyapkan kakak laki-laki Ashiana, tidak lain juga merupakan olah konspirasi dari sumber yang sama.
Jelas sudah.
Puncak dari segala keruntuhan keluarga Eugen dan garis-garis keturunannya, adalah Bjorn Philaret dan Ratu Jennefit, juga para pendukungnya.
“Ibu bahkan sedang mengandung adikku saat kecelakaan itu terjadi.” Jantung Ashiana bertabuh kencang, sesak di dada memukul-mukul hingga akhirnya mengembun di pelupuk mata. “Aku kehilangan mereka semua sekaligus, Xavier. Aku kehilangan mereka semua.”
Kali ini Xavier tidak membiarkan lagi seperti tadi. Segera ditariknya Ashiana dalam pelukan. “Jangan takut, sekarang kau punya aku. Kau tidak sendiri. Percayakan semua padaku. Akan kulakukan apa pun yang kau inginkan. Kau ingin aku meruntuhkan tahta Kaisar Bjorn? Dengan senang hati ... akan aku lakukan!”
Ashiana mendongak dalam pelukan, ingin bertemu wajah yang baru saja membuatnya merasa berharga.
Xavier malas menatap. “Tidak perlu mengatakan apa pun, aku hanya membalas budi dan berterima kasih karena kau sudah membebaskanku dari kutukan, juga karena kau adalah istriku.” Lahir perasaan ingin membelai pipi yang mulus itu, dan Xavier merealisasikan langsung tanpa berpikir. “Ashiana ... lepaskan Philaret dan jadilah Nyonya Blood yang kuat dan pemberani.”
Tangan itu terasa hangat di pipinya, Ashian menimpal dengan telapak tangannya. “Semua alasan sudah ada padamu, aku hanya perlu mengulang dengan mulutku----aku mau!”
Sudut bibir Xavier melengkung manis. “Kalau begitu ... mari hancurkan kebahagiaan orang-orang yang menginginkan kematianmu ... kita buat anak!”
...----------------...
Dua hari kemudian ....
Perjalanan panjang menuju Grim Hills dijalani Xavier bersama Luhde, Proka dan beberapa pengikut.
Pemantauan pertama kali, sebelum tak lama lagi akan dimulai pembangunan dengan melibatkan penduduk asalnya secara menyeluruh.
Cukup memakan waktu untuk sampai. Selain jarak yang memang berbeda kota, jalanan mupeng juga jadi kendala.
Dari ibukota sampai belokan perbatasan, semua lancar. Hanya saat memasuki kawasan, sambutan jalan berbatu dan hutan tandus dengan aroma gersang membuat laju mobil dipaksa lambat karena harus berhati-hati.
“Kita harus mulai dari membangun jalanan terlebih dulu untuk memudahkan pasokan bahan," kata Xavier, mengingat terjalnya trek yang dilalui saat datang ke tempat itu.
“Benar, Tuan Muda. Itu juga yang saya pikirkan.”
“Kebutuhan air bagaimana? Apakah memungkinkan hanya mengandalkan dari pengiriman, sebelum kita membuat beberapa sumur?”
“Hal itu yang belum sempat saya sampaikan semalam pada Anda, Tuan Muda,” imbuh Luhde seraya membenarkan posisi kacamata yang sama sekali tidak masalah. “Anda tidak perlu cemas. Satu orang kita menemukan adanya sumber air di sumur tua sebelah selatan pemukiman penduduk. Setelah diteliti lebih lanjut, ternyata airnya sangat banyak.”
“Benarkah?”
“Ya. Kita hanya perlu menggali lebih dalam menggunakan alat.”
“Hmm, kedengarannya cukup baik," tanggap Xavier. “Pasokan semua bahan bisakah diselesaikan dengan cepat?”
“Kita hanya menunggu sisa kayu-kayu besar dan alat berat. Karena kita menginginkan bahan terbaik, jadi cukup memakan waktu. Mungkin sekitar tiga hari baru akan tiba.”
“Tidak masalah. Terus pantau saja. Jangan sampai ada timpang dalam segala aspek, seperti kecurangan distributor atau apa pun yang menghambat. Aku ingin semua sempurna tanpa adanya masalah yang menyelingi. Juga ... tetap buat mereka bungkam. Jangan sampai ada bocor ke telinga Kaisar dan para pendukungnya, termasuk De Jongh.”
“Baik, Tuan Muda. Semua sudah diatur sesuai yang Anda minta.”
“Bagus.”
Percakapan antara Xavier dan Luhde berlangsung di salah satu rumah paling besar dari semua yang tercampakkan.
Itu adalah rumah pemimpin wilayah yang telah melarikan diri lebih dulu dan meninggalkan penduduknya dalam masa krisis.
Setelah [bahkan] pemimpinnya pun melarikan diri, Grim Hills terancam hilang dari peradaban. Dan berpindahnya tanah itu ke tangan Xavier, sungai susu akan kembali mengalir dan angin sejuk akan berembus lagi. Itu janjinya.
“Aku ingin melihat pertambangan yang tadi pagi kita lewati.”
“Baik. Mari, Tuan Muda.”
Xavier kembali masuk ke dalam mobil, lalu melaju menuju tambang nikel yang dimaksudnya.
Selama saat melaju, tak satu pun mata Xavier melewatkan pemandangan di sekeliling.
Grim Hills hanya sebuah wilayah kecil yang luasnya tak lebih dari 12,8 km² menurut topografi Zorg. Terlalu kecil untuk disamakan dengan sebuah kota, tapi terlalu besar untuk ukuran desa.
Tak lama, mereka sampai di pertambangan yang dimaksud.
Xavier turun lebih dulu. Diam sesaat untuk mengedar pandangan, lalu melangkah menuju tebing yang curam penuh bebatuan besar
Semua nampak menyedihkan.
Tanah-tanah sisa longsor menggunung seolah mengolok kematian kawasan ini.
Tapi Xavier menemukan sisi lain dari reruntuhannya.
“Bjorn terlalu bodoh. Dia mencintai uang, tapi malah membuang sumber yang bisa memperkaya dirinya.” Sebutir nikel diambil Xavier di bawah kaki, menatapnya lalu tersenyum sinis, “Bukankah ini berkah?”
😍😍😍
😘😘😘🔞🔞🔞