Setelah diadopsi Verio, kehidupan Ragna berubah. Apalagi saat mendapat ingatan masa lalunya sebagai putri penjahat yang mati akibat penghianatan.
Memanfaatkan masa lalunya, Ragna memutuskan menjadi yang terkuat, apalagi akhir-akhir ini, keadaan kota tidak lagi stabil. Bersama Verio, mereka memutuskan menuju puncak dalam kekacauan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Matatabi no Neko-chan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
Ragna tersentak dari tidurnya. Keringat dingin bercucuran membasahi tubuh mungilnya, matanya melebar penuh ketakutan. Mimpi buruk yang kembali menghantuinya kali ini terasa lebih nyata, memutar ulang semua kenangan kelam yang ingin dia lupakan. Bayangan penyiksaan yang diterimanya dari keluarga angkatnya menyeruak, seakan menolak menghilang meski ia sudah terjaga.
Ia teringat bagaimana dirinya pernah dikurung di gudang gelap tanpa makanan selama tiga hari, tubuh kecilnya menggigil dalam kegelapan yang seolah menelan harapan hidupnya. Kemudian, tenggelam dalam dinginnya kolam renang tanpa pertolongan, hanya suara tawa puas keluarga angkatnya yang menggema di sekitarnya. Bahkan saat mereka dengan kejamnya mencampakkannya ke laut, ia hanya menjadi tontonan belaka, hiburan bagi mereka yang seharusnya menjadi pelindungnya.
Ragna menggigit bibirnya, berusaha menahan sesak yang perlahan-lahan menghimpit dadanya. Ia duduk di tepi tempat tidur, menatap kosong ke lantai. Dalam hatinya, ia tahu bahwa kali ini ia tidak berharap banyak. Harapan hanya seperti api kecil yang cepat padam di tengah badai.
"Jangan berharap pada siapa pun, Ragna," gumamnya lirih pada dirinya sendiri. Suaranya terdengar berat, seolah mengandung luka yang tak pernah sembuh. "Kalau ingin bertahan, kau harus melindungi dirimu sendiri."
Ragna menatap bayangan dirinya di cermin kecil di sudut kamar. Mata hijau yang biasanya bersinar penuh percaya diri kini tampak suram, mencerminkan rasa sakit yang tak terlihat. Ia mengusap wajahnya dengan kedua tangan, mencoba menghapus sisa mimpi buruk yang terus menghantuinya.
Suara langkah kaki di luar kamarnya membuatnya tersadar dari lamunannya. Ia buru-buru bangkit, memasang wajah tanpa ekspresi yang sudah menjadi tamengnya selama ini. Pintu kamar terbuka, dan Verio berdiri di sana, menatapnya dengan alis sedikit terangkat.
"Kau baik-baik saja?" tanya Verio, suaranya datar namun matanya menyiratkan kekhawatiran.
Ragna mengangguk singkat. "Aku cuma mimpi buruk, itu saja," jawabnya sambil menghindari tatapan Verio.
Pria itu masuk ke kamar, mendekat ke arahnya. Tanpa banyak bicara, Verio duduk di kursi dekat tempat tidur, menatapnya dengan intens. "Mimpi tentang apa?"
Ragna menghela napas panjang, berusaha bersikap acuh seperti biasanya. "Tentang masa lalu. Tidak penting."
Verio mendengus kecil. "Kalau tidak penting, kenapa kau terlihat seperti habis diseret keluar dari neraka?" sindirnya, meski nada bicaranya tetap tenang.
Ragna tersenyum tipis, meskipun senyum itu lebih terlihat seperti upaya menyembunyikan rasa sakit. "Papa benar-benar suka menyebalkan, ya," katanya sambil mencoba bercanda.
Verio tidak membalas leluconnya. Ia hanya menatap gadis itu dengan serius, lalu berkata, "Dengar, Ragna. Aku tidak bisa mengubah apa yang sudah terjadi padamu. Tapi aku bisa memastikan tidak ada orang lagi yang berani menyakitimu."
Ragna terdiam, menelan kalimat Verio dalam keheningan. Meski hatinya terasa hangat mendengar kata-kata itu, ia tetap menjaga sikapnya yang dingin. "Aku bisa melindungi diriku sendiri," ucapnya singkat.
Verio tersenyum tipis, senyum khas yang penuh sarkasme. "Tentu saja. Karena anak keras kepala sepertimu pasti tidak membutuhkan siapa pun, bukan?"
Kali ini, Ragna benar-benar tersenyum kecil. "Akhirnya Papa paham."
Verio berdiri dan mengacak rambut Ragna dengan lembut. "Kalau begitu, lain kali jangan buat aku panik kalau kau bangun seperti habis dihantui setan. Tidur lagi, bocah keras kepala."
Ragna menatap punggung Verio saat pria itu pergi, meninggalkan pintu sedikit terbuka. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa meskipun ia selalu berkata bisa melindungi dirinya sendiri, kehadiran Verio membuatnya merasa sedikit lebih aman di tengah semua luka yang pernah ia alami.
🐾
Setelah tiga bulan bersama, Ragna mulai memahami gaya hidup yang dibawa Verio ke dalam hidupnya. Benar seperti kata pria itu saat pertama bertemu: dia bukan pria baik. Ucapannya penuh sarkasme, tajam seperti silet. Jika ada yang memiliki mental lemah, mereka mungkin akan berpikir untuk menyerah pada hidup atau setidaknya tersinggung sampai tenggelam dalam rasa depresi.
Namun di balik mulut tajam dan sikap kasarnya, Verio ternyata memiliki sisi perhatian yang tersembunyi. Dia peduli dengan caranya sendiri, meskipun itu sering kali tersamar di balik komentar-komentar pedasnya. Ragna yang awalnya bingung dengan cara pria itu menunjukkan kasih sayang kini mulai terbiasa. Dia tahu, meskipun kata-kata Verio menyakitkan, perbuatannya selalu membuktikan sebaliknya.
Di sisi lain, Verio juga menemukan kenyamanan yang baru bersama gadis kecil itu. Kehadirannya membawa warna dalam kehidupan Verio yang dulunya sunyi. Kini, rutinitas barunya adalah mengusili Ragna setiap kali kesempatan muncul. Ledakan amarah kecil gadis itu menjadi hiburan tersendiri bagi pria itu. Apartemen yang dulu terasa sepi kini selalu riuh dengan tawa, omelan, atau keributan kecil mereka.
---
Pagi itu di apartemen Verio, keributan kecil kembali terjadi seperti biasa. Pria bersurai ungu gelap itu mendobrak pintu kamar Ragna dengan semangat, tangannya memegang gagang sapu yang ia gunakan untuk memukul pantat panci, menciptakan suara bising yang menggema di seluruh apartemen.
"Bangun, bocah pemalas! Kenapa kau bangun lebih siang dari ayam?! Kau pikir dirimu burung hantu?!" teriaknya lantang sambil menyibak selimut yang membungkus tubuh kecil Ragna.
Gadis itu menggeliat pelan, meregangkan tubuhnya sebelum kembali memeluk bantal guling dengan wajah malas. "Lima menit lagi, Pa," gumamnya dengan suara serak khas bangun tidur.
Mendengar itu, Verio tidak menyerah. Wajahnya mengerut dengan ekspresi kesal. Dia memukul pantat panci dengan lebih keras, menghasilkan suara memekakkan telinga yang membuat siapa pun pasti jengkel. Ragna yang masih setengah tertidur mengerang pelan sambil menutup telinganya.
"Bangun, bocah! Kau pikir aku membayar listrik untuk anak pemalas seperti kamu?! Cepat bangun, atau aku ambil gayung dan menyirammu dengan air dingin!" ancam Verio, matanya menyipit seolah menantang gadis kecil itu untuk mencoba peruntungannya.
Ragna, yang tidak tahan dengan ancaman itu, terperanjat dan langsung duduk di atas ranjangnya. Matanya masih terlihat setengah mengantuk, dan dia menguap kecil sambil mengucek kedua matanya yang masih terasa berat.
"Kenapa sih Papa harus ribut banget pagi-pagi..." gerutunya setengah hati.
Verio menyilangkan tangannya di dada dengan ekspresi puas. "Cepat mandi dan bersiap! Kalau tidak, jangan harap ada sarapan untukmu hari ini!"
Ragna mendengus kesal, tetapi dia tahu tidak ada gunanya melawan. Dengan langkah malas, dia turun dari ranjang, menuju kamar mandi sambil merutuki pagi yang begitu gaduh. Sementara itu, Verio menyeringai kecil, menikmati kemenangan kecilnya. Hari baru dimulai dengan keributan khas mereka—sebuah kebiasaan yang kini tak tergantikan.
🐾
"Hei, Ragna. Kau nggak punya ibu, ya?" tanya seorang siswi dengan nada mengejek, matanya menatap Ragna dengan sinis.
Ragna yang sedang mengemasi buku-bukunya menoleh santai, menatap gadis itu tanpa ekspresi. "Punya. Tapi ibuku sudah dipanggil Tuhan," jawabnya singkat, dengan nada yang terdengar ringan namun cukup menusuk.
Jawaban itu sejenak membuat siswa-siswa lain yang mendengar mulai menunjukkan simpati. Namun, bukannya berhenti, gadis itu justru tersenyum mengejek, seolah mendapatkan amunisi baru. "Berarti nggak punya, dong. Kalau punya, harusnya ibumu menjemputmu. Apa dia terlalu sibuk di surga?" ucapnya dengan nada menyindir.
Suasana mulai riuh. Beberapa siswa lainnya ikut menertawakan Ragna, melemparkan ejekan tentang dirinya yang tidak memiliki ibu. Suara gaduh mereka akhirnya terdengar sampai ke kantor guru. Beberapa guru yang sedang sibuk dengan tugas mereka segera keluar untuk melihat apa yang sedang terjadi.
Di tengah kerumunan itu, Ragna tetap berdiri tenang. Dia menatap gadis yang mengejeknya dengan tatapan polos, kemudian bertanya, "Kalau kamu pintar, bagaimana cara orang mati hidup kembali?"
Kerumunan seketika hening. Pertanyaan Ragna itu menghentikan tawa mereka, seolah menyentak logika semua orang di sana. Bahkan guru yang sudah berdiri di dekat kerumunan pun terdiam, tak mampu berkata-kata. Pertanyaan gadis kecil itu terasa terlalu dalam dan penuh ironi untuk situasi seperti ini.
Namun, suasana hening itu tak berlangsung lama. Seorang guru laki-laki akhirnya berseru dengan suara tegas, "Hei! Apa yang kalian lakukan di sini?! Bubar! Sekarang!"
Kerumunan siswa segera berpencar, kembali ke tempat masing-masing. Gadis yang tadi mengejek bernama Arina, menatap Ragna dengan mata penuh kebencian sebelum melangkah pergi tanpa sepatah kata.
Ragna hanya menunduk sambil tersenyum sinis, melanjutkan mengemasi buku-bukunya kembali. Tatapannya kosong, tetapi ada keteguhan yang tersembunyi di balik sikap diamnya. Seolah, meskipun sendirian, dia sudah terbiasa menghadapi dunia yang tidak selalu ramah padanya.
🐾
Ragna berjalan menuju gerbang sekolah dengan langkah santai, namun pikirannya melayang ke masa lalu. Bukan karena ejekan Arina yang menyebutnya tidak memiliki ibu, tetapi ingatannya kembali ke kehidupan sebelumnya—sebuah kenangan yang mengendap di sudut gelap pikirannya.
Ingatan itu menyeruak begitu nyata, seperti saat dia terjatuh ke dalam lautan. Dalam perjuangannya antara hidup dan mati, kenangan itu muncul, memberinya dorongan untuk bertahan hingga akhirnya ditemukan.
Dahulu, dia adalah putri seorang penjahat kerajaan yang terbunuh dalam perebutan takhta keluarga. Sebagai salah satu suksesor yang ahli dalam seni senjata dan racun, dia dihormati sekaligus ditakuti. Namun, hidupnya berakhir tragis—dikhianati oleh kekasihnya yang bekerja sama dengan musuh.
Lamunan itu terhenti ketika sebuah suara sarkastis memecah pikirannya.
"Apa kau akan terus melamun sampai menabrak tiang listrik?"
Ragna mendongak dan mendapati Verio sedang bersandar santai pada tiang lampu. Dia langsung menghampiri pria itu dengan wajah ceria.
"Papa~!"
Verio berjongkok hingga sejajar dengannya, mengusap kepala gadis kecil itu dengan lembut, meski ekspresinya tetap datar.
"Bagaimana harimu?" tanyanya singkat.
"Hari ini cukup baik, Pa. Tapi..." Ragna menatap Verio dengan mata polos, "Apa orang mati bisa hidup kembali?"
Pertanyaan itu membuat Verio terdiam sejenak. Namun sebelum dia sempat menjawab, Ragna melanjutkan, suaranya terdengar ringan meski kata-katanya menusuk.
"Tadi ada yang bilang aku nggak punya ibu. Kalau saja ayah nggak kasar sama ibu, mungkin ibuku masih hidup."
Beberapa ibu-ibu yang menjemput anak mereka diam-diam menghentikan obrolan mereka, menajamkan telinga pada percakapan Ragna dan Verio.
"Papa tahu?" Ragna melanjutkan, ekspresinya berubah sedikit lebih ceria. "Ayahku dulu mendorongku ke lautan demi menyenangkan selingkuhannya. Ibu sudah dibunuh oleh wanita itu. Tapi nanti, kalau aku sudah besar, aku akan balas mereka. Lebih kejam."
Verio menatapnya, mencoba membaca ekspresi gadis kecil itu yang begitu tenang seolah menceritakan dongeng biasa. Tapi kemudian, Ragna menambahkan dengan polos, "Mungkin menyalakan petasan di dapur mereka adalah ide bagus, ya?"
Ekspresi Verio berubah. Ia memijat pelipisnya sambil menghela napas. "Kau ini benar-benar seperti calon kriminal kecil."
Namun, ada rasa tidak nyaman yang menggelitik pikirannya. Gadis kecil ini... dia seperti memiliki sisi psikopat yang tersembunyi di balik senyumnya. Sementara itu, ibu-ibu yang mendengar percakapan itu menatap mereka dengan tatapan bingung dan takut, sebelum buru-buru mengajak anak-anak mereka menjauh.
Verio menggendong Ragna dengan santai, membiarkan gadis kecil itu bersandar nyaman di pelukannya. Beberapa teman sekolah Ragna memandang mereka dengan tatapan iri, terutama anak-anak perempuan yang tidak pernah merasakan perlakuan manis seperti itu dari ayah mereka.
Di tengah perjalanan menuju gerbang, Ragna yang tampak ceria tiba-tiba mengutarakan sesuatu yang membuat Verio menghela napas panjang.
"Soalnya, ayahku dulu membunuh ibu dan adikku yang belum lahir. Jadi, kalau aku menggantung kaki mereka dan mengikatnya terbalik, pasti seru, kan, Pa?" ucap Ragna dengan semangat, menggoyangkan tubuh kecilnya di pelukan Verio.
Pria itu terdiam sejenak, menatap gadis kecil yang berbicara dengan polos seolah sedang membahas permainan anak-anak. Mengabaikan beberapa tatapan terkejut dari orang-orang di sekitarnya, Verio hanya menghela napas dan bergumam pelan, "Kau ini benar-benar penuh ide aneh, bocah."
Namun, tangannya tetap memeluk Ragna dengan erat, seolah mencoba menahan dunia yang terasa terlalu keras bagi gadis kecil itu. "Kita bicarakan soal itu nanti. Sekarang, pulang dulu," ujarnya, berjalan menjauh dengan ekspresi datar namun penuh pemikiran.
Di balik sikap dinginnya, Verio tahu gadis kecil ini menyimpan luka mendalam yang belum sempat benar-benar sembuh. Dan meski dia tak pandai mengutarakan perasaan, Verio merasa dirinya bertanggung jawab untuk menjaga agar gadis kecil itu tak kehilangan arah.
Semangat author...jangan lupa mampir 💜