Terpaksa menikah karena persoalan resleting yang tersangkut pada rambut seorang gadis bernama Laras ketika Polisi Intel itu sedang melaksanakan tugas mengejar pengedar narkoba. Polisi Intel itu menyembunyikan identitasnya dari sang Istri, ia mengaku sebagai seorang Ojol. Karena gagal menyelesaikan tugasnya. Aliando Putra Perdana hendak dipindah tugaskan ke Papua.
Tanpa Ali sadari, ia sengaja dikirim ke sana oleh sang Ayah demi menghindari fitnah kejam dari oknum polisi yang menyalahgunakan kekuasan. Ada mafia dalam institusi kepolisian. Ternyata, kasus narkoba berhubungan erat dengan perdagangan manusia yang dilakukan oleh oknum polisi di tempat Aliando bertugas.
Ingat! Bukan cerita komedi, bukan pula dark romance. Selamat menikmati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pilips, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menculik Laras
Aliando menekan klakson mobil sekali dan Laras langsung keluar. Istri mungilnya itu nampak kaget melihat sebuah mobil mewah bertengger di depan halaman rumahnya.
“Mas Al?” beo Laras memeriksa sekeliling mobil bmw dengan seksama. Menyentuh bodi mobil dengan mata melotot fokus.
“Kenapa? Suka?”
“Hmm.” Angguk Laras autopilot wkwk. “Eh? Enggak. B aja.”
“Pffft.” Ali tiba-tiba saja melingkarkan lengannya ke bahu Laras. “Mau jalan-jalan?”
Mata belo Laras segera bergerak-gerak. Pelan dan pasti, sekali lagi, ia mengagguk. “Ke mana?”
“Mall? Kemarin bilangnya mau main ke mall, ‘kan?”
Ketika polisi intel itu membuka pintu mobil dan menyediakan Laras untuk segera masuk. Diam-diam, Laras mengulum senyumnya. Aliando mendapati ekspresi itu dan ia tahu, istri mungilnya salting cokkk.
Dalam perjalanan kembali menuju kota J. Laras memberi sebuah pertanyaan. Wanita itu menoleh pada suaminya. “Gak capek, Mas?”
“Umm …, tidak.”
Mata belo Laras berkedip-kedip lucu ketika ia melihat sebuah foto anak kecil menggantung dekat spion tengah mobil. Ia memegangnya dan memperhatikan dengan seksama.
“Lucu, ‘kan?” beo Aliando menoleh pada istrinya.
“Hu’um, siapa ini?”
“Aku.”
Laras tersenyum. Ia mengakui jika suaminya begitu tampan. Dalam kepalanya mulai tergambar sebuah skenario. Nanti, anaknya ada dua. Satunya mirip dia, dan satunya lagi mirip Aliando.
“Kenapa senyum-senyum sendiri?” tanya Ali.
“Mau pipis,” jawab Laras asalan biar tidak ketahuan apa yang dia pikirkan.
“Eh?”
“Uh? Oh …, enggak, canda, Mas.”
Sekitar 2 jam mengemudi, akhirnya mereka sampai di sebuah bangunan tinggi, pusat perbelanjaan dan hiburan.
Laras kelihatan sangat bahagia ketika turun dan masuk ke mall bersama Aliando. Sekitar 3 bulan lamanya, ia tak menginjakkan kaki untuk berbahagia.
Di atas eskalator, Ali tiba-tiba saja menggenggam tangan Laras. Wanita itu menoleh, perlahan wajahnya memerah. Ketika ia ingin melepaskan genggaman tangan suaminya, Ali semakin kencang memegangnya.
“Jangan dilepas, nanti kamu hilang, aku repot.”
Beberapa pasang mata memandang ke arah mereka sampai tiba di lantai dua mall.
“Mau nonton dulu atau makan?” tanya Ali begitu perduli.
Bibir Laras bergerak-gerak malu. “Eung? Terserah.”
“Hahhh.” Ali menghela napas pendek. “Sepertinya aku harus selalu ambil keputusan, ya?”
“Kalau gak bisa ambil keputusan, ya udah, ambil hatinya aja,” ujar mulut Laras, lolos begitu saja. Ternyata ada skill buaya betina yang terpendam.
Polisi Intel itu menutupi mulutnya merasa geli mendengar ucapan sang Istri mungil. “Itu menggombal apa gimana?”
Bibir mungil Laras memaju. Karena malu, ia segera menarik tangan Ali menuju meja kasir dan segera memesan tiket.
“Selamat datang, Mas …, Mbak. Mau nonton apa?” tanya wanita petugas tiket bioskop.
Laras menjawab cepat, “prewangan!”
Sementara Aliando berkata, “guna-guna istri muda.”
Laras dan Ali saling pandang. Laras mengernyitkan keningnya. “P, maksud?”
“Ha?” Ali sama ekspresinya. “Ya udah, apa saja, kamu mau nonton apa?”
Mbak penjaga tiket tersenyum melihat tingkah sepasang manusia tersebut. “Kalau baru jadian, baiknya nonton film romantis, Mas …, Mbak.”
“Tapi kita gak pacaran, Mbak.” Bantah Laras.
“Ya. Kita suami istri!” seru Ali bersemangat.
Beberapa orang antri di belakangnya memasang mulut membola. Pasutri muda tersebut sukses menjadi pusat perhatian.
Lagi dan lagi, Laras dibuat malu. Ia segera mengambil dua tiket film prewangan dan berlari ke depan pintu teater dua.
Ali tertawa kecil, gemas sekali melihat tingkah istri mungilnya. Ia mengeluarkan satu kartu atm berwarna hitam. “Gesek, Mbak.”
“Ah …, Mas?”
“Wih ….” Tubuh Ali memundur. “Maksudnya, itu saya mau bayar.”
“Oh.” Mbak petugas tiket bioskop menyampirkan anak rambutnya dengan centil ke belakang.
Aliando kemudian cepat-cepat pergi dari sana, menyusul Laras, merasa takut melihat wanita tersebut tiba-tiba seperti kucing birahi.
***
Hampir dua jam terkaget-kaget di dalam bioskop. Laras berkali-kali meremas tangan, perut, dan rambut Aliando pun tak luput dari jambakan. Laras ketakutan tapi memaksakan diri untuk menonton sampai selesai.
Kini, Laras berjalan bersungut sambil memegang perutnya. “Astagah, serem banget, Mas.”
“Terus ngapain kamu maksa nonton, hmm?”
“Aku mau ke toilet dulu, kantung kemihku penuh.” Laras segera berlari menuju toilet.
Ketika ia mengeluarkan air seninya, suasana toilet terasa begitu sepi. Biasanya ramai ketika para penonton sudah keluar ruang teater, bukan? Meski ke toilet hanya untuk sekedar selfie mirror.
Tiba-tiba saja, lampu mati. Laras tersendat langkahnya ketika memegang kenop pintu. Bulu kuduknya sontak berdesir aneh. Ia kembali mengingat adegan dalam film prewangan.
“Hihhh!” Bahunya bergidik. Cepat-cepat ia keluar dan menyalakan senter ponselnya. Namun, sebuah tangan besar meraihnya.
“Mas, Al?” tanya Laras.
Suara itu menjawab, “hmm.”
Entah intuisi Laras sudah tidak berfungsi atau bagaimana, ia terus saja ikut ketika tangan besar seperti milik suaminya itu membawanya pergi jauh dari gedung bioskop.
“Mas …, aduh, pelan-pelan,” keluhnya. Langkah kakinya mulai tergesa-gesa mengikuti langkah lebar pria yang membawa dirinya yang ia sangka adalah tangannya Mas Al.
Ketika tiba di sebuah parkiran. Laras mendengar suara pintu mobil terbuka. Ia duduk di atas sebuah kursi dan ia merasakan bahwa kursi mobil ini tidak seempuk yang didudukinya tadi.
“Loh, ‘kok, kursinya jadi keras begini, Mas?”
Lampu sontak menyala dan Laras mendapati desain berbeda dari mobil suaminya. Jantungnya mulai berdetak lebih cepat. Laras berusaha menoleh, berharap ketakutannya tidak menjadi kenyataan.
Namun, sesuai dengan prasangka buruknya. Seorang pria bertubuh tinggi, badan kekar dengan fitur wajah sangar sedang menyeringai menatapnya.
Laras sontak membuka pintu namun terkunci. Kepanikannya kian menjadi. “Siapa kamu?!”
Semakin keras tawa pria tersebut didalam mobil. Karena Laras begitu berisik. Emosi pria itu langsung memuncak. Ia tarik rahang Laras. Lengan besar dilingkari jam tangan royalex itu mengeluarkan napas berbau alkohol.
Laras semakin gemetar, perlahan ia merasa mati rasa.
“Jangan berisik,” kata pria itu dengan nada pelan penuh ancaman.
“A … anda, si … siapahhh?”
“Andra …, aku Andra, sayang.”
***
Aliando mulai kehilangan kesabaran menunggu Laras keluar dari toilet. Ketika lampu menyala,ia segera berdiri di depan menantikan Laras keluar.
Ketika seorang wanita muda keluar dari sana, Ali menahannya. “Apa masih ada wanita di dalam?”
Wanita muda itu mengernyit. “Mang kenapa?” Selidiknya mengira kalau pria tersebut adalah seorang maniak.
“Istri saya masuk, tadi.”
“Oh, gak tahu, deng. Coba tanya satpam.”
Wanita itu segera berlalu meninggalkan Ali, mulutnya nampak mencibir. Tidak percaya kalau Ali benar mencari istrinya.
Polisi itu geleng-geleng. Karena firasatnya sudah tidak enak, Ali memeriksa satu per satu pintu toilet, dan ya!
“Laras?” Dada bidang Aliando mulai naik turun. Ali berlari ke segala arah dan menyisir setiap sudut mall. Namun, hasilnya nihil. Laras hilang!
Ketika ia menelfon pun, tidak tersambung. Frustasi mulai menguasai Aliando. Ia memegang kepalanya dan berteriak keras.
Cepat-cepat ia menghubungi Prass. Meminta bantuan agar Laras ditemukan. Apa gunanya berstatus sebagai polisi jika menemukan istrinya saja tidak bisa.
Ketika Aliando naik ke mobilnya. Ponselnya kemudian berdering lagi. Kali ini, dari nomor baru.
“Siapa?” tanyanya sambil memaju mundurkan persenelan mobil.
Ali menoleh ke belakang memeriksa jika pantat mobilnya tidak menyentuh mobil orang lain. Meski ia buru-buru, ketelitian harus tetap di jaga.
(Aliando ….) Suara itu tertawa jahat.
Namun, Ali segera mengerem mendadak mobilnya ketika mendengar suara tangisan seorang wanita yang sangat ia kenali. “Laras?”
(Jika kau ingin istri kecilmu ini selamat. Datang sendiri ke gedung H dekat gudang senjata.)
Sambungan telepon segera berakhir. Tanpa pikir panjang lagi, Aliando sontak menekan pedal gas mobilnya melaju ke jalan raya kota menuju lokasi yang dimaksud si Penelfon gelap.