NovelToon NovelToon
Jejak Langkah Yang Sempat Hilang

Jejak Langkah Yang Sempat Hilang

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama
Popularitas:2.8k
Nilai: 5
Nama Author: Widyel Edles

Naidim, Widy dan Grady adalah teman dekat sejak berada di bangku SMP dan SMA. Mereka memiliki banyak kesamaan dan selalu ada satu sama lain. Namun, saat memilih jurusan kuliah, mereka mengambil jalan yang berbeda. Widy memilih jurusan teknik, sedangkan Naidim lebih tertarik pada bidang pendidikan keolahragaan. Perbedaan minat dan lingkungan membuat hubungan mereka renggang. Widy yang selama ini diam-diam menyukai Naidim merasa sangat kehilangan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Widyel Edles, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Di balik Senyuman, Gitar dan Les Kosong

Suatu siang yang cerah, suara bel sekolah yang menandakan dimulainya jam pelajaran baru terdengar nyaring di seluruh sudut gedung. Widy bersama teman-temannya segera kembali ke tempat duduk masing-masing di dalam kelas, membuka buku catatan dan bersiap untuk memulai pelajaran seperti biasa. Namun, alih-alih melihat sosok guru yang mereka tunggu memasuki ruangan, justru ketua kelas yang maju ke depan dengan ekspresi sedikit canggung. Sambil menenangkan suasana kelas yang mulai gaduh, ia mengumumkan dengan suara lantang, “Hari ini pelajaran kosong karena Pak Guru harus menghadiri rapat mendadak.”

Mendengar kabar tersebut, suasana kelas yang semula hening langsung berubah menjadi riuh dengan berbagai macam aktivitas siswa. Beberapa teman-teman Widy langsung berkumpul membentuk lingkaran kecil, sibuk mengobrol tentang topik-topik seru yang membuat mereka tertawa terbahak-bahak. Sementara itu, siswa lain memilih untuk tenggelam dalam dunianya sendiri, asyik memainkan game di ponsel masing-masing tanpa peduli dengan keadaan sekitar. Di tengah keramaian itu, Widy memalingkan pandangannya ke arah belakang kelas, tepat ke tempat duduk Naidim, yang terlihat santai dengan gitar kecil kesayangannya berada di pangkuannya, seolah siap untuk dimainkan kapan saja.

"Dim, aku boleh pinjem gitarnya, nggak?” tanya Widy sambil melangkah mendekat dengan wajah penuh semangat. Naidim, yang sedang memegang gitar kesayangannya, menoleh dan tersenyum hangat, lalu menjawab dengan nada bercanda,

“Mau ngapain nih? Nyanyi lagu favoritmu? Atau kamu mau aku ajarin cara main gitar biar kamu jago?” Widy terkekeh pelan, matanya berbinar-binar.

“Kalau dua-duanya bisa, kenapa nggak, ya kan?” jawabnya sambil setengah bercanda namun penuh harapan.

Setelah berunding sebentar, mereka akhirnya memutuskan untuk mencari tempat yang lebih tenang dan nyaman, memilih duduk di pojok kelas yang jauh dari hiruk-pikuk teman-teman lain yang masih sibuk bercanda dan tertawa. Naidim, dengan santai, mengambil posisi di bangku, lalu dengan cekatan mulai menyetem gitarnya untuk memastikan suaranya pas. Setelah merasa puas, ia memetik beberapa senar, memainkan melodi sederhana yang terdengar lembut dan menenangkan. “Oke,” katanya dengan nada ramah, sambil melirik ke arah Widy yang duduk di sebelahnya.

"Kita mulai dari lagu yang gampang dulu, ya. Biar kamu nggak terlalu kesulitan buat ngikutin,” kata Naidim sambil tersenyum, memetik beberapa senar gitar dengan nada yang lembut. Ia lalu menoleh ke arah Widy, yang tampak antusias duduk di sampingnya, dan melanjutkan, “Ngomong-ngomong, kamu paling suka lagu apa? Biar aku bisa langsung mainin yang kamu suka.”

Widy berpikir sejenak, mengingat lagu-lagu favoritnya yang sering ia dengar. Dengan penuh semangat, ia akhirnya menjawab, “Coba mainin lagunya Dewa 19, yang judulnya Aku Milikmu,” ujarnya dengan nada yakin sambil menyebutkan lagu yang lirik dan nadanya sudah cukup familiar di kepalanya.

Dengan santai, Naidim mulai memainkan intro lagu itu, jemarinya dengan lihai menari di atas senar gitar, menghasilkan alunan melodi yang terdengar begitu lembut dan menenangkan. Suara petikan gitarnya perlahan tapi pasti mulai menarik perhatian beberapa teman di sekitar yang awalnya hanya sekadar berbincang, kini mulai diam dan memperhatikan dengan rasa penasaran. Di sisi lain, Widy yang sejak tadi hanya mendengarkan, akhirnya memberanikan diri untuk ikut bernyanyi. Suaranya terdengar agak ragu-ragu pada awalnya, seolah takut salah nada, namun seiring waktu, keberaniannya mulai tumbuh, membuat suaranya semakin kuat dan penuh percaya diri, berpadu sempurna dengan petikan gitar Naidim yang terus mengalun indah.

Saat suara Widy semakin mantap, ruangan yang semula dipenuhi obrolan kecil kini berubah menjadi lebih hening, hanya tersisa alunan gitar dan suara Widy yang mengalir merdu. Beberapa teman mulai tersenyum, ada yang mengangguk pelan mengikuti irama, sementara yang lain diam-diam merekam momen itu dengan ponsel mereka.

Naidim, yang awalnya hanya fokus pada gitarnya, sesekali melirik Widy. Ada senyum kecil yang tersungging di wajahnya, seolah memberi isyarat bahwa ia terkesan dengan keberanian Widy. Petikannya terasa lebih lembut, memberi ruang bagi suara Widy untuk bersinar.

Di tengah-tengah lagu yang terus mengalun dengan indah, Widy tiba-tiba terdiam, menghentikan nyanyiannya untuk sejenak, seolah sedang mengumpulkan keberanian yang sempat hilang. Matanya, yang sejak tadi fokus pada lantai, perlahan terangkat, melirik ke arah Naidim dengan raut wajah yang penuh keraguan. Ia tampak bimbang, seolah bertanya-tanya apakah yang ia lakukan sudah benar atau justru terdengar aneh di telinga orang lain. Namun, tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Naidim menatap balik dengan pandangan tenang dan penuh keyakinan, diiringi sebuah anggukan pelan yang berupa isyarat dengan pesan bahwa semuanya berjalan baik-baik saja dan tidak perlu ada yang dikhawatirkan. Dengan napas panjang yang diambil untuk menenangkan dirinya, Widy akhirnya kembali membuka suaranya, kali ini dengan senyuman kecil yang mulai menghiasi bibirnya, menandakan bahwa kepercayaan dirinya perlahan pulih dan ia siap melanjutkan lagu itu hingga selesai.

Ketika lagu itu akhirnya selesai, ruangan langsung dipenuhi tepuk tangan dan sorakan kecil dari teman-teman. Widy tertawa lega, wajahnya sedikit memerah, sementara Naidim meletakkan gitarnya di pangkuan sambil berkata santai, "Nggak nyangka, suaramu bagus banget, Wid. Harusnya kita sering duet kayak gini."

Widy hanya mengangguk sambil menunduk, mencoba menyembunyikan pipinya yang semakin panas. Namun dalam hati, ada rasa bangga yang perlahan muncul. Hari itu, tanpa disadari, ia telah membuka satu lembar baru dalam dirinya lembaran yang lebih percaya diri.

Setelah beberapa lagu selesai dimainkan, Naidim meletakkan gitarnya di pangkuannya dan menepuk bagian atasnya dengan ringan, seolah mengisyaratkan sesuatu. Ia kemudian menoleh ke arah Widy sambil tersenyum, dan berkata dengan nada santai namun penuh semangat, “Sekarang giliran kamu yang main, Wid. Nggak usah khawatir, aku bakal ajarin. Kuncinya gampang kok. Kita mulai dari yang paling sederhana dulu, coba kunci G.”

Dengan penuh kesabaran, Naidim mulai membimbing Widy. Ia meraih tangan Widy dengan perlahan, lalu menuntun jari-jarinya untuk menekan senar gitar pada posisi yang benar. “Nah, gini. Jari tengah kamu taruh di sini, terus jari manisnya di situ,” jelasnya sambil menunjukkan posisi yang tepat. Setelah memastikan posisi jari Widy sudah sesuai, ia menambahkan, “Oke, sekarang coba kamu petik senarnya pelan-pelan.”

Widy menurut, namun begitu ia memetik senarnya, suara yang keluar terdengar jauh dari sempurna, bahkan sedikit fals. Wajah Widy langsung menunjukkan rasa frustrasi, dan ia mengeluh, “Kok suaranya malah begini, sih? Susah banget ternyata!”

Naidim hanya tertawa kecil mendengar keluhan Widy. Dengan nada yang tenang dan membesarkan hati, ia berkata, “Santai aja, Wid. Emang gitu awalnya, semua orang pasti ngalamin hal yang sama. Tapi kalau terus nyoba, lama-lama juga bakal lancar. Ayo, kita ulang lagi, kali ini lebih pelan-pelan.” Ia kembali membimbing Widy dengan sabar, memastikan setiap langkah dilakukan dengan benar.

Mereka terus mencoba, dan meskipun beberapa kali Widy salah, Naidim tetap sabar membimbing. Lama-kelamaan, Widy mulai bisa memainkan melodi sederhana.

“Ehh, aku udah mulai bisa, dim!” seru Widy dengan wajah sumringah.

Naidim tersenyum bangga. “Nah, tinggal latihan terus biar makin jago.”

Tanpa mereka sadari, bel pulang berbunyi. Widy dan Naidim saling bertukar pandang sambil tertawa.

“Les kosong kali ini jadi produktif, ya,” kata Widy sambil mengembalikan gitar.

“Iya, lain kali kita main bareng lagi, ya,” jawab Naidim sambil menyimpan gitarnya.

Hari itu, les kosong yang awalnya biasa saja berubah menjadi kenangan berharga yang tak akan Widy lupakan.

1
bintang🌷🦄🍭🍥
good
Nona Laura
bagus, kira kira terinsipirasi dari mana ya🫢???
Ira Sitinjak
Semangat thor
Pak Herda Sitinjak
👍
Ira Sitinjak
Keren thor
Diana (ig Diana_didi1324)
hallo thor salam kenal ya
jika berkenan mampir juga dikarya baruku trimakasih😊
valeria la gachatuber
Keren thor, semoga bisa lanjut sampai ke akhir cerita!
Bé tít
Nggak bosan-bosan deh baca karyamu thor, semoga semakin sukses! ❤️
bintang🌷🦄🍭🍥: terimakasih ya
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!