Zen Vessalius adalah nama yang pernah menggema di seluruh penjuru dunia, seorang pahlawan legendaris yang menyelamatkan umat manusia dari kehancuran total. Namun, waktu telah berubah. Era manusia telah berakhir, dan peradaban kini dikuasai oleh makhluk-makhluk artifisial yang tak mengenal masa lalu.
Zen, satu-satunya manusia yang tersisa, kini disebut sebagai NULL—istilah penghinaan untuk sesuatu yang dianggap tidak relevan. Dia hanyalah bayangan dari kejayaan yang telah hilang, berjalan di dunia yang melupakan pengorbanannya.
Namun, ketika ancaman baru muncul, jauh lebih besar dari apa yang pernah dia hadapi sebelumnya, Zen harus kembali bangkit. Dengan tubuh yang menua dan semangat yang rapuh, Zen mencari makna dalam keberadaannya. Mampukah ia mengingatkan dunia akan pentingnya kemanusiaan? Atau akankah ia terjatuh, menjadi simbol dari masa lalu yang tak lagi diinginkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zen Vessalius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 3 MENGENAL DUNIA LUMORIA
Keesokan harinya, Zen membuka matanya dan merasakan sesuatu yang sudah lama tidak ia rasakan: energi yang melimpah dan ketenangan yang menyelimuti. Tubuhnya terasa ringan, pikirannya jernih, dan wajahnya yang dulu penuh kekhawatiran kini tampak lebih tenang.
Ia bangkit dari tempat tidur sederhana yang disediakan oleh para Lumoria. Udara di ruangan terasa hangat dan lembut, dipenuhi aroma makanan yang baru saja matang. Di sudut ruang itu, Selvina berdiri dengan senyuman kecil di wajahnya, memegang nampan berisi semangkuk sup hangat dan beberapa potong roti lembut.
"Zen, ini sudah saya siapkan," kata Selvina sambil meletakkan nampan di meja kecil di depannya. "Makanan ini baru saja diangkat dari pemanas. Semoga cocok untukmu."
Zen mengangguk pelan dan menghampiri meja itu. Ia duduk di kursi sederhana, menghadap Selvina yang tetap berdiri di sisi meja. "Selvina," katanya dengan nada lembut, "apakah kamu sudah makan juga?"
Selvina terlihat sedikit terkejut dengan pertanyaannya, tetapi ia menjawab dengan tenang, "Sudah." Namun, nada suaranya yang ragu dan senyuman tipis yang ia berikan membuat Zen tahu bahwa itu bukanlah jawaban yang sepenuhnya jujur.
Zen memandangnya sejenak, lalu tersenyum kecil. "Kau tidak perlu berbohong, Selvina," katanya sambil mengambil sendok yang ada di depannya. Ia mengambil sesendok sup hangat, lalu dengan gerakan lembut menyuapkannya ke arah Selvina. "Cobalah, ini untukmu."
Selvina terkejut dan wajahnya memerah seketika. "Z-Zen! Aku tidak bisa... Maksudku, ini makanan untukmu..." katanya dengan suara yang sedikit tergagap.
Zen hanya terkekeh pelan. "Kau sudah melakukan begitu banyak untukku. Setidaknya biarkan aku berbagi sedikit ini denganmu. Lagipula, kau pasti belum makan apa pun, kan?"
Selvina akhirnya tidak punya pilihan selain menerima suapan itu. Ia merasakan kehangatan sup yang lezat mengalir di tenggorokannya, tetapi yang membuat wajahnya semakin memerah adalah perhatian Zen yang begitu tulus. Ia mengalihkan pandangannya, berusaha menyembunyikan rasa malunya.
"Terima kasih, Zen," bisiknya pelan, hampir tidak terdengar.
Zen hanya tersenyum dan melanjutkan makan. Suasana pagi itu terasa begitu damai, seolah-olah dunia luar yang penuh kekacauan tidak ada lagi. Dalam momen itu, keduanya merasa bahwa meskipun mereka berasal dari dunia yang berbeda, ada kehangatan yang tumbuh di antara mereka.
Zen menatap Selvina dengan penuh rasa terima kasih. Baginya, Selvina adalah salah satu alasan mengapa ia masih memiliki harapan untuk melanjutkan hidup di dunia baru ini. Sementara Selvina, meskipun tidak mengatakannya dengan kata-kata, mulai merasakan bahwa kehadiran Zen di dunianya membawa sesuatu yang istimewa.
Setelah sarapan pagi yang penuh kehangatan bersama Selvina, Zen melangkah keluar dari ruangan tempatnya beristirahat. Namun, langkahnya terhenti, dan matanya membelalak takjub. Yang terbentang di hadapannya bukanlah daratan biasa, melainkan sebuah negeri apung yang melayang di atas lautan awan. Struktur bangunannya bercahaya lembut, dengan arsitektur megah penuh ukiran yang tampak bercahaya seperti permata di bawah sinar matahari.
Zen memandangi pemandangan itu dengan penuh kekaguman. Udara di sana terasa ringan, dan ada aura magis yang memenuhi setiap sudut tempat itu. "Inikah... negeri Lumoria?" gumamnya lirih.
Tak lama, Eryon Velthar, pemimpin ras Lumoria, menghampirinya dengan senyuman bijaksana. Eryon adalah sosok tinggi dengan rambut perak panjang yang memancarkan aura ketenangan, mengenakan jubah biru tua berhiaskan rune bercahaya. "Selamat pagi, Zen," sapanya dengan nada ramah. "Apakah kau merasa lebih baik setelah beristirahat?"
Zen mengangguk, meski pikirannya masih dipenuhi kekaguman terhadap keindahan negeri apung ini. "Tempat ini... sungguh luar biasa. Rasanya seperti dunia mimpi," katanya.
Eryon tertawa kecil. "Kami menyebut tempat ini Elysarion. Ini adalah rumah kami, negeri Lumoria. Sebuah negeri yang melayang di antara langit dan bumi, dijaga oleh sihir kuno yang diwariskan dari leluhur kami."
Zen mengangguk pelan, matanya masih memandang sekeliling dengan takjub.
Eryon melanjutkan, "Ikutlah denganku. Aku ingin menunjukkan lebih banyak tentang dunia ini, dan memperkenalkanmu pada kehidupan baru yang kini menjadi bagianmu."
Mereka berjalan menyusuri jalanan bercahaya yang menghubungkan berbagai bangunan melayang. Sepanjang perjalanan, para penghuni Lumoria menyapa Zen dengan senyuman hangat dan anggukan ramah. Zen merasa diterima, tetapi di balik itu, ada perasaan asing yang mengganjal dalam hatinya.
Eryon memandu Zen ke pusat kota, di mana sebuah pohon raksasa berdiri menjulang ke langit. Cahaya lembut mengalir dari batang dan dedaunan pohon itu, memberikan kehidupan bagi negeri apung ini. "Ini adalah Luminalis, pohon kehidupan kami. Sumber kekuatan dan perlindungan negeri ini," jelas Eryon dengan nada bangga.
Zen mengamati pohon itu dengan kagum, tetapi pikirannya terusik oleh sesuatu yang lebih dalam. Ia merasa bahwa semua ini terlalu sempurna, terlalu damai. Sebuah perasaan gelisah mulai menggerogoti hatinya.
"Eryon," Zen memecah keheningan. "Semua ini sungguh indah, dan aku bersyukur masih hidup untuk melihatnya. Tapi ada sesuatu yang mengganjal di pikiranku. Aku merasa... elemen yang menghancurkan dunia lamaku mungkin masih ada, dan aku harus memastikan bahwa dunia ini tidak mengalami nasib yang sama."
Eryon menatap Zen dengan sorot mata yang penuh pemahaman. "Aku mengerti kekhawatiranmu, Zen. Kau telah melalui begitu banyak hal, kehilangan begitu banyak. Namun, ketahuilah bahwa dunia ini berbeda dari dunia lamamu. Kami memiliki perlindungan yang kuat, tetapi jika ada ancaman seperti elemen itu, kau pasti akan menjadi sosok yang sangat penting untuk menghadapinya."
Zen mengepalkan tangannya. "Aku tidak akan membiarkan kehancuran terjadi lagi. Aku berjanji akan melindungi dunia ini, apa pun yang terjadi."
Eryon menepuk pundak Zen dengan lembut. "Kau memiliki keberanian yang luar biasa, Zen. Dan itu adalah kekuatan terbesarmu. Dunia ini membutuhkan seseorang sepertimu."
Meskipun Zen masih merasa gelisah, tekad dalam hatinya semakin menguat. Ia tahu bahwa perjalanan ini belum berakhir. Dunia ini mungkin menawarkan keindahan dan kedamaian, tetapi ia tidak akan membiarkan apa pun mengancamnya lagi.
Dengan pemandangan negeri apung yang megah di sekelilingnya, Zen mulai menyadari bahwa takdirnya di dunia baru ini mungkin jauh lebih besar daripada yang ia bayangkan sebelumnya.
Setelah berjalan mengelilingi negeri apung Elysarion, Zen dan Eryon duduk di bawah pohon Luminalis. Angin sepoi-sepoi membawa aroma segar dedaunan yang bercahaya lembut. Di sana, Eryon memandang Zen dengan tatapan yang serius, tetapi penuh kehangatan.
"Zen," kata Eryon, memecah keheningan. "Kau mungkin merasa asing di dunia ini. Aku memahami betapa sulitnya menerima kenyataan bahwa kau adalah manusia terakhir. Namun, aku ingin kau tahu sesuatu. Kau bukan sekadar penyintas. Kau adalah simbol harapan, seseorang yang telah ditakdirkan untuk menjadi pahlawan dunia ini."
Zen menunduk, menatap tangannya sendiri. "Pahlawan, ya? Rasanya aneh mendengar itu. Aku bahkan tidak bisa menyelamatkan duniaku sendiri. Apa yang membuatku pantas dianggap pahlawan di sini?"
Eryon tersenyum tipis. "Takdir sering kali tidak datang dengan jawaban yang jelas. Namun, aku percaya pada pesan leluhur kami. Kau adalah manusia terakhir, tetapi bukan yang tidak berarti. Kau adalah penghubung antara masa lalu dan masa depan dunia ini."
Zen termenung. "Tapi tidak semua ras akan memandangku seperti itu, bukan? Aku mendengar bahwa beberapa ras menganggapku sebagai sesuatu yang tidak jelas... NULL."
Eryon mengangguk. "Benar. Ras seperti Beast dan Firlinione memiliki pandangan yang berbeda. Mereka menganggap keberadaanmu sebagai anomali, sesuatu yang tidak seharusnya ada di dunia ini. Namun, kau tidak perlu membuktikan apa-apa kepada mereka. Apa yang penting adalah bagaimana kau melihat dirimu sendiri, dan apa yang ingin kau lakukan untuk dunia ini."
Zen tersentuh oleh kata-kata Eryon, tetapi hatinya tetap berat. "Apakah mereka benar? Mungkin aku memang seharusnya tidak ada. Aku hanya... sisa dari dunia yang hancur."
Eryon meletakkan tangan di pundak Zen. "Jangan pernah meragukan dirimu, Zen. Kau masih hidup karena kau memiliki tujuan yang belum selesai. Dunia ini membutuhkan seseorang sepertimu, meskipun belum semua ras menyadarinya."
Setelah hening sejenak, Eryon melanjutkan, "Karena itu, aku ingin memberikanmu sesuatu yang penting. Wasiat dari leluhur kami. Jika kau ingin melindungi dunia ini, kau harus memahami dan memanfaatkan kekuatan dunia ini. Dunia ini bukan lagi seperti Bumi yang kau kenal. Di sini, sihir adalah sumber kekuatan utama, dan kau harus belajar menggunakannya."
Zen mengerutkan dahi. "Sihir? Aku bahkan tidak pernah berpikir bahwa aku akan memiliki kemampuan seperti itu."
Eryon tertawa kecil. "Sihir tidak hanya soal kemampuan. Ini soal pemahaman, keterhubungan, dan kehendak. Dan aku melihat kehendak yang kuat dalam dirimu, Zen. Aku yakin kau bisa mempelajarinya."
Eryon berdiri, lalu mengangkat tongkat berhiaskan kristal di ujungnya. Cahaya lembut keluar dari kristal tersebut, membentuk pola-pola yang indah di udara. "Aku akan mengajarimu dasar-dasar sihir, dimulai dengan memahami esensi mana, energi yang mengalir di dunia ini. Tapi kau harus berjanji satu hal, Zen. Gunakan kekuatan ini bukan hanya untuk dirimu sendiri, tetapi untuk melindungi dunia ini dan semua yang ada di dalamnya."
Zen bangkit berdiri, menatap Eryon dengan tekad yang mulai membara di matanya. "Aku berjanji. Jika sihir ini bisa membantuku menjaga dunia ini tetap utuh, aku akan belajar dan menggunakannya sebaik mungkin."
Eryon tersenyum puas. "Baiklah. Maka perjalananmu sebagai pelindung dunia baru ini dimulai sekarang."
Setelah pembicaraannya dengan Eryon, Zen kembali ke tempat tinggalnya dengan langkah penuh keyakinan. Udara segar Elysarion terasa mengisi paru-parunya dengan semangat baru. Ia tahu, perjalanan untuk menguasai sihir tidak akan mudah. Namun, ia juga sadar bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk melindungi dunia baru yang kini ia pijak.
Sesampainya di tempat tinggalnya, Selvina telah menunggu di depan pintu. Wajahnya yang cerah menyambut Zen dengan senyuman lembut. "Bagaimana pembicaraanmu dengan Eryon?" tanyanya.
Zen mengangguk dengan senyuman kecil. "Dia akan mengajarkan sihir kepadaku. Katanya, jika aku ingin melindungi dunia ini, aku harus memahami kekuatan yang ada di sini. Dan aku setuju."
Selvina menatap Zen dengan penuh kebanggaan. "Aku tahu kau bisa melakukannya. Kau adalah seseorang yang kuat, Zen. Jika ada yang bisa mengatasi tantangan ini, itu adalah dirimu."
Zen tertawa kecil. "Aku berharap itu benar. Sejujurnya, aku tidak tahu apa yang harus diharapkan. Belajar sihir? Itu bukan sesuatu yang pernah ada di dunia lamaku. Bahkan aku belum bisa membayangkan bagaimana caranya."
Selvina mendekat dan menepuk bahu Zen dengan lembut. "Tidak perlu khawatir. Aku yakin kau akan mempelajarinya dengan cepat. Kau sudah melewati begitu banyak hal. Ini hanya satu langkah lagi dalam perjalananmu."
Zen terdiam sesaat, menatap mata Selvina yang penuh keyakinan. Kehadirannya memberikan rasa tenang yang ia butuhkan. "Terima kasih, Selvina. Aku tidak tahu apa yang akan kulakukan tanpa dukunganmu."
Selvina tersenyum hangat. "Aku akan selalu ada untukmu, Zen. Kau tidak sendirian."
Dengan semangat baru, Zen mulai mempersiapkan dirinya. Ia membersihkan ruangannya, memastikan semua peralatan siap, dan mengenakan pakaian yang nyaman untuk latihan. Selvina, yang selalu mendukungnya, menyiapkan makanan ringan dan minuman hangat untuknya.
Saat malam tiba, Selvina memberikan semangat terakhirnya sebelum Zen beristirahat. "Besok adalah hari pertama dari perjalanan barumu. Ingatlah bahwa tidak ada jalan pintas untuk belajar, tetapi aku percaya kau akan melaluinya dengan baik."
Zen tersenyum sambil duduk di tempat tidur. "Aku hanya berharap semuanya berjalan lancar. Tapi denganmu di sini, aku merasa semuanya mungkin."
Selvina tersipu mendengar kata-kata Zen, tetapi ia hanya tersenyum kecil. "Istirahatlah, Zen. Besok akan menjadi hari yang panjang."
Zen mengangguk, lalu merebahkan dirinya. Dalam hatinya, ia merasa lebih siap dari sebelumnya. Dunia ini mungkin baru, tetapi semangatnya untuk melindungi dan menjaga keindahan dunia ini tidak pernah surut.
Malam itu, di bawah langit berbintang negeri apung Elysarion, Zen memejamkan mata dengan keyakinan bahwa esok adalah awal dari langkah baru. Perjalanan untuk menjadi bagian dari dunia ini, dan untuk menjadi pahlawan yang sebenarnya, baru saja dimulai.
Bersambung!