Elina Widiastuti, dengan rambut sehitam malam yang terurai lembut membingkai wajahnya yang cantik jelita, bukanlah putri seorang bangsawan. Ia hidup sederhana di sebuah rumah kecil yang catnya mulai terkelupas, bersama adik perempuannya, Sophia, yang masih belia, dan kedua orang tuanya. Kehidupan mereka, yang tadinya dipenuhi tawa riang, kini diselimuti bayang-bayang ketakutan. Ketakutan yang berasal dari sosok lelaki yang menyebut dirinya ayah, namun perilakunya jauh dari kata seorang ayah.
Elina pun terjebak di pernikahan tanpa dilandasi rasa cinta, ia pun mendapatkan perlakuan kasar dari orang orang terdekatnya.
bagaimana kelanjutannya?
silahkan membaca dan semoga suka dengan ceritanya.
mohon dukung aku dan beri suportnya karena ini novel pertama aku.
jangan lupa like, komen dan favorit yah 😊
kunjungan kalian sangat berarti buat aku. see you
selamat membaca
see you 😍
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona Rmaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
Sejak tadi Elina merasa kebingungan, entah dimana Luna akan membawanya. Luna hanya diam tanpa sepatah kata pun membuat Elina sangat merasa penasaran.
"Lun, kita mau kemana? tanya Elina.
" udah diam aja nanti juga kamu tau kok" ujar Luna.
Elina hanya bisa pasrah.
Setelah tiga puluh menit lamanya menanti akhirnya Elina dan Luna sampai ditempat yang dituju. mata Elina tertegun, kagum dan tidak percaya dengan keindahan tempat ini.
mereka pun duduk di bawah pohon yang lebat di dekat danau. Luna mulai mengeluarkan peralatan yang mereka bawa, serasa seperti piknik.
Mentari senja menyelimuti lembah, mewarnai langit dengan gradasi jingga dan ungu. Aroma bunga liar memenuhi udara, menciptakan suasana magis di sekitar air terjun kecil. Elina dan Luna duduk berdampingan di atas batu datar, Elina masih sibuk dengan pikirannya yang berputar-putar. Kehadiran Ryan yang tiba-tiba memecah kesunyian. Langkah kakinya terdengar samar di antara dedaunan, mendekat dengan hati-hati.
Ryan berhenti beberapa langkah dari mereka, wajahnya tampak tegang namun berbinar. Luna, dengan gerak tubuh halus dan penuh pengertian, berdiri, memberi ruang bagi Ryan dan Elina. Dia tersenyum lembut, lalu menjauh sedikit, seolah memberikan mereka ruang untuk berbicara tanpa gangguan.
Elina menatap Ryan, matanya membulat sedikit karena terkejut. Dia tidak menyangka Ryan akan datang. Pikirannya kembali berputar-putar, mengulang keraguan dan ketakutan yang sebelumnya telah menghantuinya. Apakah dia siap? Apakah dia pantas? Pertanyaan-pertanyaan itu kembali menghantuinya, membuat dadanya sesak.
Ryan mendekat, menawarkan senyum yang berusaha menyembunyikan kegugupannya. Dia menarik napas dalam-dalam, mempersiapkan kata-kata yang akan diucapkannya. Di matanya, Elina melihat ketulusan yang membuatnya sedikit tenang, namun keraguannya masih belum sepenuhnya hilang.
Ekspresi wajah Elina yang bingung dan sedikit takut, menjadi tantangan tersendiri bagi Ryan untuk mengungkapkan perasaannya. Dia harus menemukan cara yang tepat untuk menyampaikan perasaannya tanpa membuat Elina semakin takut. Detik-detik berikutnya akan menentukan segalanya.
Ryan mengulurkan tangannya, menyentuh lembut tangan Elina. Sentuhan itu membuat Elina tersentak, jantungnya berdebar kencang.
"Elina," suara Ryan terdengar pelan, namun penuh keyakinan.
"aku tahu ini mungkin bukan waktu atau tempat yang tepat, dan aku juga sadar posisiku sebagai atasanmu mungkin membuatmu canggung..." Dia berhenti sejenak, mengamati reaksi Elina.
Elina memang tampak canggung. Dia menarik tangannya dengan lembut, namun tetap menatap Ryan. Mata Elina berkaca-kaca, menunjukkan percampuran antara rasa haru dan keraguan.
"pak Ryan," katanya, suaranya hampir tak terdengar, "aku..."
Ryan melanjutkan.
"Tapi aku tak bisa lagi menahan perasaanku. Aku menyukaimu, Elina. Aku tahu ini mungkin mengejutkan, dan mungkin kamu belum siap, tapi aku ingin kamu tahu betapa istimewa mu bagiku." Dia menatap dalam ke mata Elina, berusaha menyampaikan ketulusan perasaannya.
Elina menggigit bibir bawahnya, merasa dadanya sesak. Dia menghargai kejujuran Ryan, tapi posisi mereka sebagai atasan dan bawahan membuat semuanya terasa rumit.
"pak Ryan," katanya, suaranya sedikit gemetar,
"ini... ini sulit. Aku... aku belum siap. Aku merasa canggung, dan aku tak ingin hubungan ini terpengaruh."
Ryan mengangguk, mengerti keraguan Elina.
"Aku mengerti," katanya, suaranya lembut.
"Aku tak akan memaksamu. Tapi aku ingin kamu tahu perasaanku. Aku akan menghormati keputusanmu, dan aku akan selalu ada untukmu, sebagai teman, atau lebih, jika kamu suatu saat siap." Dia tersenyum, sebuah senyum yang penuh pengertian dan kelembutan. Dia tahu bahwa ini bukan akhir dari cerita mereka, tapi sebuah awal dari perjalanan yang penuh tantangan.
Mendengar pengakuan Ryan yang tulus namun penuh pengertian, sebuah gelombang panas menjalar di pipi Elina. Rasa malu dan keraguan memenuhi hatinya.
Dia tak menyangka Ryan akan mengungkapkan perasaannya secara langsung, dan kejujuran Ryan membuatnya merasa semakin tidak nyaman dengan posisinya sebagai bawahan. Meskipun ada rasa simpati dan ketertarikan, batas profesionalitas di tempat kerja masih terasa sangat kuat.
"pak Ryan," katanya, suaranya hampir tak terdengar karena malu.
"aku... aku minta maaf. Aku... aku tak tahu harus berkata apa." Dia menghindari tatapan Ryan, merasa jantungnya berdebar-debar dengan keras.
Ryan memperhatikan raut wajah Elina yang memerah, mengerti perasaan canggung yang sedang dialaminya. Dia tidak ingin membuat Elina semakin tidak nyaman.
"Tidak apa-apa, Elina," katanya, suaranya lembut.
"Aku mengerti. Mungkin ini terlalu mendadak."
Elina merasa perlu mengakhiri pertemuan itu. Dia ingin menenangkan hatinya yang berdebar dan menata kembali pikirannya yang kacau.
"pak Ryan," katanya, suaranya sedikit lebih tegas,
"aku... aku ingin pulang. Bisakah kau mengantarku?"
Ryan mengangguk, memahami permintaan Elina. Dia tidak ingin memaksakan dirinya.
"Tentu," katanya, sambil berdiri dan mengambil tas Elina. "Mari kita pulang."
Mereka berjalan berdampingan dalam diam, suasana terasa agak tegang namun tidak sepenuhnya tidak nyaman. Elina merasa lega karena Ryan tidak bersikeras, namun juga sedikit sedih karena harus mengakhiri pertemuan yang penuh emosi tersebut. Di dalam hatinya, selain rasa malu dan keraguan, terdapat juga benih-benih rasa suka yang mulai tumbuh, namun masih terhalang oleh dinding-dinding yang harus dia bongkar sendiri. Perjalanan pulang terasa panjang, dipenuhi dengan pikiran dan perasaan yang masih belum terurai.
Saat mereka berdua melangkah pelan di sepanjang jalan setapak, ponsel Ryan tiba-tiba bergetar di dalam saku. Ia mengeluarkan ponselnya dan melihat nama Axel muncul di layar. Ekspresi wajahnya berubah; Axel jarang menghubunginya secara mendesak, dan ini pasti penting.
Ryan menjawab panggilan itu.
"Halo, Axel. Ada apa?"
Suara Axel terdengar serius di ujung telepon.
"Ryan, aku butuh kamu segera. Ada hal penting yang harus kita bicarakan. Bisa ketemu sekarang?"
Ryan mengangguk, meski Axel tidak dapat melihatnya.
"Baik, di mana kita bisa bertemu?"
Setelah beberapa detik bernegosiasi, Ryan menutup telepon dan menatap Elina.
"Elina, Axel butuh aku untuk bertemu sekarang. Ini mungkin mendesak. Tapi... jika kamu tidak keberatan, aku ingin kamu ikut bersamaku."
Elina terkejut.
"Aku? Tapi... aku tidak ingin mengganggu urusan kalian," jawabnya, sedikit cemas. Dia merasa tidak enak jika harus ikut dalam pertemuan yang mungkin bersifat penting.
"Tidak, kamu tidak mengganggu. Justru, aku ingin kamu ada di sisiku" Ryan menjelaskan dengan tulus.
"Axel juga mengenalmu, dan aku merasa lebih baik jika ada kamu di sini. Selain itu, mungkin ini bisa membantu kita berbicara lebih lanjut setelah pertemuan."
Elina ragu sejenak, tetapi dia juga merasakan keinginan untuk tetap dekat dengan Ryan dan tidak ingin meninggalkannya sendirian menghadapi situasi yang tidak diketahui ini.
"Baiklah, kalau begitu," katanya akhirnya, meski rasa canggung masih menghantui.
Ryan tersenyum, senyum yang menghangatkan hati Elina.
"Terima kasih, Elina. Aku senang mendengarnya." Mereka berdua melanjutkan perjalanan menuju tempat pertemuan dengan Axel, dan meskipun suasana masih dipenuhi ketegangan, ada harapan kecil di dalam hati Elina bahwa pertemuan ini bisa menjadi momen baru bagi mereka berdua.
.
.
.
Lanjut yah
See you😍