"Hanya satu tahun?" tanya Sean.
"Ya. Kurasa itu sudah cukup," jawab Nadia tersenyum tipis.
"Tapi, walaupun ini cuma pernikahan kontrak aku pengen kamu bersikap selayaknya istri buat aku dan aku akan bersikap selayaknya suami buat kamu," kata Sean memberikan kesepakatan membuat Nadia mengerutkan keningnya bingung.
"Maksud kamu?"
"Maksud aku, sebelum kontrak pernikahan ini berakhir kita harus menjalankan peran masing-masing dengan baik karena setidaknya setelah bercerai kita jadi tau gimana rasanya punya istri atau suami sesungguhnya. Mengerti, sayang!"
Loh, kok jadi kayak gini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Araya Noona, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keluarga Nadia pt 2
Nadia merotasikan matanya malas. Sungguh dia merindukan Sean yang pemalu dan tidak banyak bicara, Sean yang terlalu percaya diri yang sekarang tengah duduk di depannya sangat berbahaya. Ya, berbahaya karena membuat jantung Nadia berdegup lebih kencang.
"Iya. Iya. Itu akan menjadi nilai plus buat kamu." Tapi bukan Nadia namanya jika dia tidak bisa menyembunyikan apa yang dia rasakan dengan raut wajah tenang sambil tersenyum tipis. Tidak akan pernah ada yang tahu bagaimana isi hati wanita itu sebenarnya.
Keduanya pun tertawa kecil sebelum Sean mengangguk lalu melanjutkan kembali pekerjaannya sebelum Papa Nadia pulang. Selama itu keadaan kamar tersebut tidak selalu hening. Kadang kala Sean akan mengajak Nadia bicara. Nadia sendiri menanggapi seadanya. Jujur sebenarnya wanita itu tidak ingin mengganggu Sean namun pria itu yang justru terus mengoceh dan setiap kali Nadia berniat pergi, Sean akan langsung menahannya. Ya ampun, sebenarnya ada apa dengan pria itu? Nadia sampai berpikir jika dirinya pasti akan lama di sana karena tidak mungkin Sean bisa menyelesaikan pekerjaannya jika terus seperti ini.
"Oke. Kerjaanku udah selesai."
Sontak kata-kata Sean mematahkan pikiran Nadia. Wanita itu sampai mengerjabkan matanya beberapa kali seakan ragu dengan ucapan Sean. Loh, beneran pekerjaannya sudah selesai? Kok bisa?
"Papamu bakalan pulang sebentar lagi kan?" tanyanya kemudian menutup laptop dan bangkit dari tempat duduknya. "Ayo kita keluar," ajaknya berlalu begitu saja setelah tersenyum manis, meninggalkan Nadia yang masih menatapnya bingung. Seketika Nadia merasa pening. Ada-ada saja tingkah pria itu. Sama sekali tidak bisa ditebak.
***
Sebentar lagi akan tiba waktunya makan malam dan Sandjaya baru tiba di rumah. Pria paruh baya itu terlihat terkejut saat melihat keadaan rumahnya yang ramai oleh anak-anaknya dan cucunya. Ya, pria itu memang belum tahu apa-apa. Namun wajahnya tak terlalu menampakkan ekspresi tersebut, dia dengan santainya berlalu bersama sang istri yang mengikuti dari belakang.
Nadia hanya bisa menghela napas pelan melihat sikap dingin sang ayah. Dia lalu melirik ke arah Sean yang justru menggidikkan bahunya sembari tersenyum simpul seakan tidak terlalu peduli dengan sikap ayah Nadia. Sean sudah tahu kok bagaimana perangai ayah dari wanita yang akan menjadi istrinya itu. Ingat! Dulu mereka pernah bertetangga.
Sekarang mereka semua telah berkumpul di meja makan untuk makan malam. Termasuk Sandjaya. Entah kenapa atmosfer dalam ruangan itu tiba-tiba terasa berat. Tidak seperti tadi saat Sandjaya belum datang dimana semuanya bisa bicara dengan santai. Mereka malah terdiam dan hanya terdengar suara anak pertama Damar yang belum genap berusia satu tahun.
"Pah, kenalin ini Sean Binathara," Nadia mencoba memecah keheningan. "Calon suamiku."
Awalnya Sandjaya terlihat tidak begitu tertarik namun saat Nadia mengatakan jika pria yang dibawanya hari ini setelah sekian lama tidak pulang adalah calon suaminya, pria itu langsung menatap Nadia. Tentu saja dengan tatapan yang begitu dingin terkesan datar.
Sean yang kebetulan duduk tepat di samping Sandjaya berdiri di tempatnya berusaha menyapa calon mertuanya dengan mengulurkan tangan sambil menunduk sedikit.
"Kamu yang dulu tinggal di samping rumah kan?" Sandjaya membuka suara tanpa menjabat tangan Sean.
"Benar, Om," jawab Sean.
Sandjaya pun akhirnya tersenyum, ikut berdiri lalu menjabat tangan Sean. Tak hanya menjabat tangan, pria itu juga memeluk Sean beberapa saat. Ibu dan saudara Nadia yang awalnya tegang kini bisa bernapas lega. Ternyata Nadia dan Sean tidak perlu bekerja keras untuk mendapatkan restu.
"Nadia memilih calon suami terbaik. Saya merestui hubungan kalian," ujar Sandjaya menepuk pundak Sean sebelum kembali duduk disusul oleh Sean beberapa detik kemudian.
"Syukurlah kalo Papa setuju," ujar Lucy, ibunda Nadia ikut bahagia. Mereka semua pun tertawa di sana. Kakak serta kakak ipar Nadia sampai menatap seakan tidak percaya ke arah Sean kemudian ke arah Sandjaya. Sungguh Sean benar-benar hebat bisa menaklukkan hati ayah mereka dalam kurung waktu yang sangat singkat.
Setelah selesai makan malam, Sean langsung pamit pulang. Sebenarnya keluarga Nadia masih ingin pria itu ada di sana namun dengan alibi ada pekerjaan yang harus dia urus secepatnya sebelum menikah, mereka pun membiarkan Sean pergi.
Karena sudah larut malam, Nadia memilih untuk menginap di rumah orangtuanya. Tak bisa wanita itu pungkiri, ada kalanya dia sangat merindukan kamarnya.
Sementara sedang menikmati aroma kamar yang sepertinya selalu dijaga kebersihannya itu, samar Nadia mendengar suara seseorang dari arah luar. Kebetulan pintu kamar Nadia tidak tertutup sepenuhnya. Dia pun mendekat ke arah pintu. Nadia sebenarnya tidak penasaran sebelum namanya disebut.
"Pah, itu kan tanggal pernikahan Nadia. Kok Papa malah mau pergi sih?" Itu Damar yang bicara.
"Memangnya kenapa?" Sekarang Sandjaya yang bicara.
"Papa---"
"Cukup, Damar! Papa harus pergi. Mereka itu klien penting Papa," potong Sandjaya.
"Apa lebih penting dari pernikahan putri Papa satu-satunya?"
Seketika tubuh Nadia menegang. Entah kenapa dia tiba-tiba diserang perasaan gelisah dan takut untuk mendengar jawaban ayahnya.
"Tidak ada yang namanya satu-satunya. Bagi Papa kalian itu sama. Tidak ada bedanya pria ataupun wanita," jawab Sandjaya kemudian berlalu dari sana.
Sebenarnya prinsip Sandjaya itu bagus karena dia tidak membeda-bedakan anaknya. Ya, jika saja apa yang dia katakan sesuai dengan apa yang dia lakukan. Karena pada kenyataannya Sandjaya sangat membedakan Nadia dengan kedua kakaknya. Menjadi satu-satunya anak perempuan dalam keluarga tak membuat Nadia spesial. Sebaliknya, Nadia justru diperlakukan tidak adil karena dia seorang perempuan.
Nadia merasa jika justru dia yang seperti laki-laki di dalam keluarga itu. Di mana kedua kakaknya diberikan perusahaan untuk dikelola, Nadia justru harus bekerja keras sendiri agar bisa punya klinik. Mulai dari masih sekolah, kuliah, hingga sekarang dia punya bisnis, Nadia hidup dari hasil kerja kerasnya sendiri dengan sedikit bantuan dari kakaknya yang tentu saja tidak diketahui oleh orangtuanya.
Bisa Nadia katakan jika orangtua, terutama sang ayah tidak akan peduli apa yang terjadi pada Nadia. Inilah yang mendasari kenapa Nadia lebih memilih hidup sendiri. Toh, ada tidaknya dia di rumah itu tidak akan memberikan efek berbeda. Bahkan saat perjodohan yang ditolak Nadia pun, Sandjaya lakukan karena keperluan bisnisnya. Sempat marah besar sampai memaki-maki Nadia anak tidak berguna namun pada akhirnya Sandjaya punya cara sendiri untuk tetap mendapatkan apa yang dia mau tanpa harus melibatkan Nadia.
Sekarang kalian mengerti kan kenapa Sandjaya dengan mudah merestui hubungan Nadia dan Sean tadi. Bukan karena Sean pintar mengambil hati namun karena Sandjaya memang tidak peduli.
****