Selama 10 tahun lamanya, Pernikahan yang Adhis dan Raka jalani terasa sempurna, walau belum ada anak diantara mereka.
Tepat di ulang tahun ke 10 pernikahan mereka, Adhis mengetahui bahwa Raka telah memiliki seorang anak bersama istri sirinya.
Masihkah Adhis bertahan dalam peliknya kisah rumah tangganya? menelan pahitnya empedu diantara manisnya kata-kata cinta dari Raka?
Atau, memilih meladeni mantan kekasih yang belakangan ini membuat masalah rumah tangganya jadi semakin pelik?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#32•
#32
Anggi kembali berbalik, ia mengambil sesuatu dari dalam laci meja riasnya, kemudian menunjukkannya pada Raka. “Tapi, maaf, Mas, karena kini ada satu nyawa lagi yang membutuhkan aku, dan juga perhatian darimu.”
Anggi menunjukkan alat test kehamilan, yang menjadi petunjuk, bahwa ada satu nyawa yang kini bergantung hidup padanya.
Raka membeku kala menatap alat tes kehamilan yang Anggi tunjukkan, “Sepertinya, ini buah dari kali terakhir itu … “ cetus Anggi gugup, ia bahkan meremas ujung pakaiannya karena gugup.
Raka sangat berhati-hati jika berhubungan intim dengan istri keduanya tersebut, karena ia sudah tak berniat untuk memiliki anak kembali bersama Anggi. Karena itulah, biasanya Raka selalu mengeluarkannya di luar. Tapi kali terakhir kemarin yang ada di pikirannya adalah Adhis, karena itulah beberapa kali pula Raka mengeluarkannya di tempat yang seharusnya.
“Mas … maaf,” cicit Anggi.
Raka memeluk Anggi, istrinya tak bersalah, bahkan kini ada nyawa lain yang harus ia pertahankan, karena tak mungkin ia mengingkari benih tersebut.
“Bukan salahmu, dan maaf, karena masalahku, kamu jadi sering jadi pelampiasan amarahku.” Raka berbisik.
“Apakah, Mas juga akan menyayangi anak ini?” tanya Anggi.
“Tentu saja, aku akan menyayanginya. Tapi tolong mengertilah, karena aku sedang berjuang agar Adhis bersedia membatalkan keinginannya.”
Walau pilu, tapi Anggi hanya bisa mengangguk pasrah.
•••
Seperti hari-hari sebelumnya, hari ini pun Anggi menyempatkan diri mendatangi rumah sakit tempat ibunya menerima perawatan, walau tak setiap hari, minimal dua hari sekali Adhis mengunjungi ibunya.
Kondisi ginjal bu Ema masih belum menunjukkan tanda-tanda stabil, walau sudah menerima donor ginjal serta perawatan secara intensif. Karena itulah, hingga saat ini, bu Ema masih berada di bawah pengawasan medis.
“Anakku … kenapa wajahmu muram?” tanya bu Emma pelan, wajahnya terlihat semakin pucat dari hari ke hari.
“Gak papa, Bu, Anggi hanya sedikit pusing, Ibu sudah makan?” tanya Anggi, mencoba mengelak dari pertanyaan bu Ema.
“Alhamdulillah, tadi makan ditemani suster Lila. Terima kasih, Nak, Ibu masih bisa makan enak, dan menerima perawatan terbaik berkat suamimu,” ungkap bu Ema, ia tahu pernikahan macam apa yang dijalani Anggita, dan kini melihat wajah muram putrinya, bu Ema semakin merasa sedih.
“Maafkan Ibu, nak.” Bu Ema mengusap kepala Anggi.
Anggi menggenggam tangan bu Ema, “Kenapa Ibu minta maaf padaku? Ibu sama sekali tak bersalah.”
“Tapi, Ibu sudah membuat hidupmu sengsara.” Air mata Bu Ema kembali berlinang.
“Aku melakukan semua ini adalah bentuk kasih sayangku pada Ibu. Hidupku sangat nyaman, Mas Raka baik, mertuaku juga sangat menyayangiku, aku bahkan memiliki anak yang cantik dan pintar.”
“Tapi Raka tak mencintaimu, itulah yang membuat ibu sedih,” sambung bu Ema.
Anggi mengusap kasar air matanya, “Tak penting, Bu, karena yang paling penting, aku sudah melakukan kewajiban dan bakti sebagai seorang istri, aku tak butuh yang lain lagi, selama Mas raka menepati janjinya untuk membayar biaya perawatan Ibu.”
Bu Ema mengusap air mata yang meleleh di pipi Anggita, “Anakku yang malang,” gumam bu Ema. Hati ibu mana yang tega melihat air mata mengalir di pipi darah dagingnya. “Mungkin lebih baik ibu jika pergi saja menghadap Tuhan, agar kamu terbebas dari perjanjian menyakitkan ini.”
Anggi memeluk tubuh lemah bu Ema, “Ibu bicara apa? jangan bicara seperti itu, aku sudah tak punya siapa-siapa selain Ibu.”
Ibu dan anak itu saling berpelukan dalam tangis kesedihan.
…
Hari ini, sepulang kerja, Raka mendatangi rumah yang dulu ia tempati bersama Adhis. ia terkurung dalam kesedihan setelah puluhan kali usaha untuk menemui istrinya gagal begitu saja, karena jangankan bisa bicara, hanya ingin melihat saja Raka tak bisa.
Tak terhitung pula berapa ratus kali ia melakukan panggilan, namun Adhis mengabaikannya. Nomor Raka memang belum di blokir, tapi justru hal itu yang membuat Raka semakin frustasi, karena Adhis terus mengabaikan panggilan dan semua pesan-pesannya.
Tujuan Raka datang ke rumah ini adalah untuk melepas rasa rindunya, setelah Adhis memilih pergi dari hidupnya, Raka seperti terombang-ambing di lautan lepas.
Tapi Raka kembali dibuat tercekat ketika menemukan tumpukan amplop-amplop berlogo Pengadilan Agama di kotak surat.
Raka, urung masuk ke rumah, ia tak pernah setuju untuk mengakhiri pernikahannya bersama Adhis, karena cinta yang ia miliki sudah mengakar dengan kuat, hingga tak mungkin bisa dicabut begitu saja.
Anggap saja jika kemarin ia terlena dengan bujukan ibunya, yang ingin memiliki cucu darinya, karena itulah ia pun tergoda untuk mencicipi madu dari cawan yang lain demi memuluskan keinginan ibunya. tapi ternyata memiliki seorang anak membuatnya sangat bahagia, hingga terlupa bahwa ia pernah bersusah payah meraih hati dan cinta Adhis.
Raka menghentikan mobilnya di depan gerbang rumah ayah Bima, ia melonggarkan dasi yang menggantung di lehernya, kemudian keluar dari mobil dengan kedua tangan di pinggang. Rasanya sungguh lelah melakukan hal yang sama berulang-ulang, namun hasilnya pun tetap sama saja, karena Ayah Bima sepertinya tak pernah menghargai usahanya untuk memperbaiki pernikahan.
Melihat gerbang kosong tanpa penjaga, Raka segera berjalan cepat menghampiri pintu masuk tersebut, namun belum sampai setengah jalan melewati halaman, langkah kaki Raka dihalangi para penjaga yang tiba tiba datang menghubunginya.
“Minggir,” perintah Raka. Namun para penjaga yang berjumlah 6 orang itu tak bergeming sedikitpun.
“MINGGIR KATAKU!!, APA KALIAN TULI?!” Raka mengulang kalimatnya.
“Maaf, Ndoro Bagus, kami hanya menjalankan tugas, dari Ndoro Kakung.” Jawaban Itu spontan membuat Raka semakin kesal. Pria itu pun mendorong kasar salah seorang yang kebetulan menjadi ajudan kepercayaan ayah Bima, bukan hanya itu Raka pun mencoba menghajar para pengawal tersebut, namun karena kalah jumlah, usahanya berakhir sia-sia.
“Ayah … ! Kembalikan istriku!” teriak Raka. “Jangan pernah berharap aku bersedia menceraikan Adhis, aku mencintainya, Yah! sampai kapanpun dia akan tetap menjadi milikku!!” Raungan itu bagai tiupan angin di lahan kosong. Terabaikan, bahkan tak ada yang ingin menanggapi.
Sementara dibalik tirai Adhis hanya mampu melihat dengan tatapan sedih.
Melihat Raka berteriak kesal bercampur frustasi, bahkan Adhis yakin Raka meraung memanggil namanya. Tapi hatinya terlalu sakit, bahkan kini, untuk menoleh ke belakang saja Adhis sudah tak sudi.
“Adhiiiis, keluarlah Sayang … izinkan Mas bicara … “ Raka kembali berteriak putus asa, ia mengguncang bahkan menendang pagar dengan kaki kanannya, tapi tentu saja hal itu sia-sia. Hingga akhirnya Raka terduduk di tanah setelah lelah berteriak.
Hingga hampir jam 10 malam, barulah Raka bersedia pergi dari tempatnya.
“Jangan pernah lagi menangisi Pria itu!” Suara ayah Bima mengagetkan Adhis.
Adhis menoleh, ke asal suara, kedua matanya berkaca-kaca, Adhis merangsek masuk ke pelukan ayah Bima, dan kembali menumpahkan tangisnya di sana. “Aku hanya mencintainya, Ayah, apa aku salah jika menginginkan dia memilihku saja?”
“Kamu tak salah, dia yang rugi karena telah menyia-nyiakan istri sepertimu,” hibur ayah Bima, sementara ia sendiri menahan rasa geram serta amarah yang siap setiap saat untuk di ledakkan.
•••
Trauma Center, tempat para pasien yang mengalami cedera berat serta luka yang menimbulkan trauma cukup mendalam. Biasanya Trauma Center berada di IGD, dan peralatan di sana sudah sangat lengkap karena harus mampu menunjang kinerja Dokter. Penanganan cepat dan tepat merupakan kunci utama, agar pasien bisa segera mendapatkan pertolongan pertama, yang akan menyelamatkan nyawa pasien.
Disinilah Dean berada, bergelut dengan pasien dengan luka ekstrim sudah menjadi makanan sehari-hari baginya.
Di Rumah Sakit sebelumnya, tepatnya di sebuah Rumah sakit besar pinggir kota, Dean biasa bertugas menangani pasien yang mengalami luka-luka cukup serius.
Kecelakaan lalu lintas akibat pengemudi yang ada di bawah pengaruh alkohol termasuk yang paling sering terjadi, setelah itu perkelahian di bar atau tempat hiburan malam, menduduki peringkat tertinggi kedua, setelah kecelakaan lalu lintas.
Tapi di sini, di Rumah Sakit ini, ternyata jarang ada kasus kecelakaan dengan luka trauma yang cukup berat, karena itulah Dean cukup santai menjalani hari-hari pertamanya di tempat kerja baru.
“Dok, makan siang, Yuk.” Ajak salah seorang perawat, yang biasanya bertugas di bagian operator.
“Ayo, siapa yang ulang tahun hari ini?” seloroh Dean santai.
“Gak ada, Dok, kenapa? Mau gratisan lagi?” gurau suster Maria.
Dean memasang senyum semanis gula warna-warni, kedua matanya berkilat jail jika ia tidak sedang bertugas, sikapnya yang santai dipadu dengan paras rupawan, membuat Dean cukup terkenal di antara para perawat wanita, terutama yang masih sendiri.
“Pengennya sih begitu, kalau makan di traktir orang tuh, rasanya bikin perut lebih adem.”
“Gombaaaalll,” ledek tiga orang perawat yang tengah berjalan mengiringinya.
Dean tertawa geli, para perawat-perawat di sini terkesan jauh lebih ramah, dari rekan perawat di rumah sakit tempat Dean bekerja sebelumnya. Atau mungkin karena karakter asli masyarakat Yogyakarta memang demikian. Tapi satu hal yang pasti Dean sangat betah tinggal dan bergaul dengan orang-orang Yogyakarta.
“Dok, tahu nggak, beberapa hari ini banyak perawat yang ingin di rolling ke Trauma Center.” Suster Maria mula bercerita. “Padahal dulu selalu menghindar, jika dirolling di bagian kita.”
“Oh, iya?”
“Serius, Dok, sampai kadang kami kewalahan jika ada pasien kecelakaan beruntun,” Imbuh suster Diah.
Dean mengangguk, masalah di Trauma Center selalu sama, yakni kekurangan tenaga ahli. Bukan karena tak ada sumber daya manusianya, melainkan perlu keterampilan khusus untuk para perawat yang bertugas di Trauma Center. Selain itu, kecepatan, ketepatan, dan ketelitian mutlak dibutuhkan sebagai penyangga utama.
Brak!
Suster Elia datang dan meletakkan piring berisi makanannya dengan kasar, kemudian dengan wajah mendengus kesal ia berbicara, “Dok, dapat salam lagi,” lapor suster Elia dengan wajah cemberut.
“Dari siapa?” Dean menanggapi.
“Entah, aku lupa.” Padahal tadi suster Elia hanya mengantar laporan ke lantai atas saja, lalu bergegas kembali ke posnya. Tapi sepanjang perjalanan melewati lorong para perawat banyak menitipkan salam untuk Dokter yang kini sedang naik daun di Trauma Center Rumah Sakit Persada Utama tersebut. Selain karena parasnya, Dean ramah dan mudah bergaul, maka tak heran jika banyak yang seketika kagum pada pesona sang duda.
Dean kembali tertawa, mendengar jawaban suster Elia. “Jangan tertawa, Dok, itu tidak lucu,” gerutu suster Elia.
“Oke … oke … aku minta maaf, sekarang duduk dan makanlah, sebentar lagi kita bertugas.” Dean mempersilahkan suster Elia untuk segera duduk dan makan.
“Makanya, Dok, jadi orang jangan kelewat tampan, menyusahkan hidup orang saja.”
Lagi-lagi Dean tertawa keras, suter yang satu ini selalu all out jika sedang mengeluarkan isi hatinya.
“Tahu gak, Dok, suamiku saja sampai keki, karena sepanjang hari aku melihat Dokter di tempat kerja, sementata bertemu dengannya hanya malam hari saja.” Suster Elia melanjutkan kalimatnya, sementara Dean serta rekan kerjanya yang lain menikmati makan siang mereka.
“Ya sudah, resign saja,” cetus Dean, bukannya ia antipati pada wanita yang bekerja, sementara di rumah ia pun memiliki tanggung jawab. Tapi pengalamannya berumah tangga dengan istri yang super sibuk bekerja, sementara waktunya di rumah sangat minim. Percaya atau tidak, kebanyakan rumah tangga semacam itu tak akan bertahan lama. Akan ada banyak sekali masalah yang menyertainya.
“Seandainya aku bisa hidup nyaman di rumah,” ringis suster Elia, “biaya sekolah anak terus membengkak, Dok, padahal kami sehari-hari sudah makan menu sederhana, asal ada sayur, nasi, dan protein. Sementara buah-buahan, hanya selingan kalau ada sisa uang belanja.”
Dean tersenyum, apa yang dikatakan suster Elia banyak dialami masyarakat menengah kebawah, bukan berarti para wanita hebat ini, tak mau mengurus anaknya di rumah. Tapi mereka murni berjuang bersama pasangan, demi kelangsungan hidup keluarga mereka. Sementara dirinya dan Celline dahulu, murni karena Celline memang sangat berambisi mempertahankan jenjang karirnya, padahal secara materi Dean sangat mampu membiayai keluarganya.
“Dokter …!!”
Dean menoleh, menatap suter Yanti yang berlari menghampirinya. “Ada … pasien …” lapor suster Yanti dengan nafas terputus-putus. Tadi ia sedang dalam perjalanan menuju kantin, dan di tengah jalan, ia berpapasan dengan salah seorang dokter di Rumah sakit tersebut.
Dean segera berdiri, dan meninggalkan piringnya, pembayarannya menyusul saja. Ia berjalan cepat demi mengejar waktu emas bagi pasien, yang mana bila waktu tersebut terlewatkan, kemungkinan pasien bisa tak terselamatkan.
Dean membeku di tempatnya, dari tempatnya berdiri, ia melihat Raka dengan pakaiannya yang berlumuran da^rah, tengah membantu para petugas melakukan pertolongan pertama. Entah siapa pasien yang ia bawa, semakin dekat langkah kakinya, perasaan Dean semakin carut-marut tak karuan.
Berjalan semakin dekat, dengan rasa penasaran yang terus meningkat, membuat Dean merasa jantungnya terhenti seketika.
“Sayang … aku mohon buka matamu, bertahanlah, aku akan menyelamatkanmu.” Kedua tangan terampil Raka terus bergerak menghentikan pendarahan, sementara air mata berlinang dari kelopak matanya.
Dean sungguh tak bisa lagi menahan diri, mendekat dan mencengkram kerah pakai.
“Tidak cukupkah kamu hanya menyakiti hatinya saja? Hah?!”