Apa jadinya ketika seorang mantan Casanova jatuh cinta pada seorang gadis yang polosnya tingkat dewa?
"Kau tahu tidak apa artinya cinta?"
"Tahu,"
"Apa?"
"Kasih sayang dari orangtua pada anak mereka."
Jleebb
Akan bagaimanakah kisah mereka selanjutnya? Mampukah seorang CIO MORIGAN STOLLER menaklukkan hati sang pujaan hati yang terlalu lambat menyadari perasaannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rifani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1
"Kalian harus menikah."
"A-apa?!!"
Elil mengerjapkan mata. Sedangkan Cio, kedua mata pria tersebut membelalak besar seperti jengkol.
"Menikah? I-Ibu, apa-apaan ini?" teriak Cio syok.
"Kau itu yang apa-apaan!" Patricia meradang. Dia melepas high heels miliknya kemudian dilemparkan ke arah putranya yang telah berkelakuan buruk. "Ibu sangat kecewa padamu, Cio! Lihat apa yang telah kau lakukan pada Elil. Kau melecehkannya!"
"Itu fitnah. Aku tidak melakukan apapun padanya!"
"Tidak kepalamu itu! Coba perhatikan baik-baik penampilan kalian sekarang. Sama-sama tidak memakai baju dan banyak bekas keunguan di tubuh Elil. Apanya yang tidak melakukan apa-apa hah!!"
Gluk
Cio menelan ludah. Setelah itu dia menoleh, menatap nanar ke arah jejak kissmark yang tertinggal di leher, dada, serta bahu Elil. Dengan bukti sejelas ini wajar jika ibunya kesurupan. Cio kemudian mengumpat dalam hati, merutuki kebodohannya yang gagal melawan hawa nafsu untuk tidak meniduri gadis tersebut.
(Arghhh, sial! Sial! Sial! Kenapa aku bisa lepas kendali begini sih. Elil itu hanya gadis ingusan berdada rata yang tidak menarik sama sekali. Bagaimana bisa aku terbujuk pesonanya yang tidak seberapa itu. Ini tidak benar. Semalam aku pasti tidak sadar saat melakukan itu padanya. Ya, aku sedang tidak sadar)
"Masih ingin mengelak? Iya?" tanya Patricia sambil bernapas terengah-engah. Dia lalu berkacak pinggang sambil menatap bengis pada putranya yang malah melamun sambil menatap dada Elil yang setengah terbuka.
"Bibi, kau itu sebenarnya kenapa?" tanya Elil dengan polosnya.
"Hah?"
"Aku dan Cio itu cuma tidur kok. Memang kalau orang tidur itu berdosa ya?"
"E-Elil, kau .... "
Jantung Patricia seperti berhenti berdetak melihat sikap polos Elil dalam menanggapi amarahnya. Yang benar saja. Apa gadis ini tidak sadar akan perbuatannya dengan Cio? Jelas-jelas putranya telah merenggut kesuciannya, tapi kenapa gadis ini malah bersikap bodoh begini?
"Aduh, kok sakit ya," gumam Elil saat ingin menggerakkan kaki. Dia merenung sesaat. "Seperti ada yang mengganjal. Aneh,"
Sambil tertawa kikuk, Cio menggaruk rambutnya. Dia bingung sendiri harus bersikap bagaimana menghadapi kepolosan Elil. Apa gadis ini tidak sadar kalau rasa sakit yang muncul berasal dari keperawanan yang telah dia renggut? Bodoh.
"Uh, seperti ada batang kayu di dalam milikku. Aku ... aku tidak bisa berjalan!" pekik Elil sambil mengernyit menahan sakit. Dia lalu menatap ibunya Cio dengan sorot mata memelas. "Bibi, tolong bantu aku mengeluarkan batang kayu ini supaya aku bisa berjalan lagi. Rasanya benar-benar aneh. Juga sangat sakit. Tolong aku ya,"
Junio yang baru masuk ke dalam kamar seperti akan muntah darah mendengar ucapan Elil. Dia heran, gadis ini bodoh atau polos? Sudah jelas di sampingnya ada laki-laki yang bertelanjang badan, mengapa malah dikira ada batang kayu yang terselip di lubang guanya? Mungkinkah Elil tidak tahu apa itu hilang keperawanan?
"Tundukkan pandanganmu bodoh! Sekali lagi berani melihat ke arah depan, akan ku congkel biji matamu itu sampai keluar. Mau!" ancam Patricia sambil mencubit pinggang Junio.
"Aku tidak melihat apa-apa, sayang. Cuma tidak mengerti saja dengan cara berpikir gadis itu," bisik Junio sambil meringis. Cubitan istrinya sangat pedas.
"Kau pikir aku akan percaya? Kau dan Cio itu sama mata keranjangnya ya. Lebih baik sekarang cepat tundukkan pandanganmu sebelum aku benar-benar mencongkel biji matamu. Cepat!"
(Huh, resiko punya istri raja rimba. Baru juga menikmati barang bagus sudah saja diancam akan dicongkel biji matanya. Patricia ini tidak tahu saja orang sedang bahagia,)
Melihat Elil yang kesulitan saat ingin menggerakkan kaki, Patricia pun segera berjalan menghampirinya. Dengan kasar dia menarik selimut yang menutup tubuh Cio kemudian melilitkannya ke tubuh polos gadis ini.
"Mau ke mana, hm?"
"Bibi, hikss. Apa semalam aku terjatuh dari pohon? Rasanya seperti ada batang kayu yang menancap di milikku. Sakit sekali," rengek Elil mulai terisak. Dia tak bohong. Rasanya benar-benar sangat sakit.
"Tidak, sayang. Kau tidak jatuh dari pohon, tapi ...."
"Tapi apa, Bi? Pohonnya yang jatuh dan menimpa milikku ya?"
Jawaban polos Elil sukses membuat Cio mendengus kasar. Bodoh, benar-benar sangat bodoh. Padahal sangat jelas kalau semalam mereka melakukan hubungan intim, tapi kenapa gadis ini masih tak sadar juga? Memang sih mereka melakukannya dalam kondisi Elil sedang terpengaruh alkohol, tapi masa iya sepolos itu sampai tak menyadari sudah kehilangan keperawanan?
"Cio, cepat bangun dan belikan obat untuk Elil. Gara-gara ulahmu juga dia jadi kesakitan begini!" teriak Patricia geram. Sebagai sesama wanita yang pernah menjadi perawan, Patricia jelas tahu seperti apa rasa sakit yang sedang ditanggung oleh Elil. Rasanya cukup menyiksa.
"Ck, pesan lewat online sajalah, Bu. Aku sedang malas," sahut Cio sekenanya.
"Oh, sudah berani membantah perintah Ibu ya?!"
"Ya tidak begitu juga, Bu. Astaga." Cio mengusap wajah. Dengan sangat terpaksa dia akhirnya beranjak dari ranjang, membiarkan tubuhnya yang polos terekspos begitu saja tanpa merasa malu.
Patricia berdecih. "Lihatlah kelakuan bajingan itu. Dia bahkan tak merasa malu pada ibunya sendiri. Benar-benar jelmaan ayahnya."
"Aku mendengarmu, sayang," protes Junio. Kepalanya masih tertunduk, tak berani melanggar perintah sang nyonya.
"Memang benar kok apa yang aku katakan. Mau mengelak?"
"Tidak. Semua yang kau katakan adalah benar."
"Baguslah kalau kau sadar."
Elil yang sedang kesakitan, semakin meraung saat rasa sakit di bagian miliknya kian terasa. Melihat hal itu pun Patricia merasa semakin tak tega. Dia lalu berteriak memanggil Cio.
"Apalagi sih, Bu!" kesal Cio yang kini sudah berpakaian lengkap. Ekor matanya tampak melirik ke arah Elil yang sedang menangis tersedu-sedu.
(Berlebihan sekali. Memangnya sesakit itu ya?)
"Cepat bantu Elil ke kamar mandi."
"Aku?"
"Lalu siapa lagi kalau bukan kau? Ayahmu?"
"Ck, dia itukan punya kaki. Kenapa tidak berjalan sendiri? Merepotkan saja!"
Jtaakkk
Satu jitakan melayang keras di kepala Cio setelah melontarkan kalimat tersebut. Tak berani mengaduh, dia bergegas mengangkat tubuh Elil dan membawanya masuk ke kamar mandi. Urusannya akan jadi panjang kalau dia berani membantah keinginan ibunya.
"Hikss, Cio. Tolong bantu aku melihat apa yang ada di sini ya. Rasanya sungguh sangat luar biasa sakit. Tolong ya," ucap Elil sembari menunjuk ke bagian bawah tubuhnya. Saking merasa sakit, dia sampai tak memperhatikan kalau selimut yang membungkus tubuhnya tersingkap. Bukan tersingkap sih, tapi memang sengaja dia buka untuk memudahkan Cio menarik batang kayu yang terselip diantara dua paha.
Tubuh Cio membeku dan matanya lurus menatap ke arah gundukan daging yang semalam membuatnya hampir gila. Apakah ini undangan?
"Elil, kau yakin memintaku untuk melihatnya?" tanya Cio tak berhenti menelan ludah. Dia pria normal, wajar kalau juniornya menegang.
"Iya. Matamu tidak buta 'kan?"
"Te-tentu saja tidak."
"Kalau begitu tolong bantu aku ya. Aku tidak tahan dengan rasa sakitnya."
Kembali Cio menelan ludah. Tepat ketika akan menyentuh gundukan daging tersebut, pintu kamar mandi dibuka dari luar. Sontak hal itu membuat Cio terjengkang ke depan hingga wajahnya menyentuh sesuatu yang ....
"CIO MORIGAN STOLLER! APA YANG SEDANG KAU LAKUKAN HAH!!"
***
"Aku?"
cio bukan pengangguran 😀
tapi sayang banyak cerita yg belum selesai
Namun meski begitu aku selalu setia dgn karya2 nya....