Halimah, Seorang ibu muda yang tengah mengandung yang harus menerima kenyataan di gugat cerai oleh suaminya karena suaminya lebih memilih perempuan lain yang lebih cantik, lebih mudah dan lebih memperhatikan penampilan dari pada dirinya. dia pun menyetujui permintaan suaminya tersebut dengan syarat dia meminta waktu 40 hari kepada suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yuri_Pen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hari Ke -17, 18, 19
Hari ke -17, 18, 19.
Sudah 3 hari Halimah mendiamkan ku, tak ada satupun pertanyaanku yang dia jawab. Omonganku bak angin lalu yang tak berarti apa-apa untuknya.
Ia lebih sering melamun sendirian di belakang rumah. Bahkan Jingga pun lebih sering ia titipkan pada Rasyid. Sikapnya yang dingin membuat persendian ku ngilu. Aku lebih suka ia memarahiku daripada mendiamkan ku.
Hening... Hanya terdengar bunyi sendok dan garpu berdenting di atas piring, kami sibuk dengan pikiran masing-masing.
"Dik…" Aku berusaha membuka suara, memegang tangannya, lalu dia menghempaskannya kuat. Sesakit itukah perbuatanku hari-hari lalu?
Suasana kembali hening. Jingga sibuk dengan makanannya.
"Mas pulang agak telat nanti, ada meeting dulu." Lagi, Limah hanya terdiam.
Nyatanya didiamkan oleh seseorang yang sempat begitu peduli dengan kita itu sangat menyakitkan.
'Ayo bicara, Dik! Sedikit saja!'
Limah mulai mengangkat piring kotor di meja, membawanya ke westafel, lalu mencucinya. Sesuai kebiasaannya, dia tak suka menumpuk pekerjaan terlalu lama.
Katanya semakin banyak membiarkan pekerjaan terbengkalai, semakin capek nantinya. Ku hampiri dia.
"Mas, pamit ya, Dik." Dia diam masih bergeming.
"Assalamu'alaikum," ucapku lirih.
"Waalaikumsalam," jawabnya. Akhirnya aku mendengar suaramu juga.
Aku berbalik, dia kembali melanjutkan pekerjaan. Tidak ada cium tangan, apalagi ucapan 'Hati-hati di jalan' sudah lama sekali tak kudengar.
"Jingga, ayah berangkat, ya!" Jingga berlari ke arahku.
"Gendong!" Dia mengulurkan kedua tangannya ingin digendong, aku menggendongnya. Beratnya semakin bertambah sekarang.
"Ayah, nanti bawa mainan yang banyak, ya!" rajuk nya,
"Baiklah, tapi, Jingga harus jadi anak baik, ya!" Aku mencubit pipinya gemas. Dia mengangguk.
"Janji?" Aku mengacungkan jari kelingking
.
"Janji." Dia menautkan kedua kelingking kami.
"Yaudah, Ayah berangkat dulu, ya!" Baru saja hendak ku turunkan, tangannya menempel erat di leherku. Duh.
"Ikut!" Nah kan, terlalu dekat dengan anak, susah beranjak kemana-mana, jauh rindu.
“Jingga di rumah aja ya, Sayang. Nanti Bunda gak ada temannya,” bujuk ku. Ia menggeleng.
“Aku mau main sama Ayah aja ke kantor. Bunda sekarang banyak diam aja. Bunda gak mau main sama Jingga lagi,” keluhnya. Hatiku perih mendengarnya.
Harusnya Halimah tidak mendiamkan Jingga begitu. Cukup saja aku yang kena hukumannya. Jingga terlalu kecil untuk memahami permasalahan yang terjadi.
Aku berfikir sejenak, apa aku bawa saja, Jingga? Tapi bagaimana jika dia buat kerusuhan di kantor? 'Sudahlah, dia tak seperti itu'. Akhirnya ku iyakan keinginannya.
"Jingga mau kemana, Sayang?" Limah menyusul kami khawatir.
"Jingga ikut ayah, ke kantor." Jingga semakin erat menautkan tangannya di leherku.
"Jingga di rumah aja ya, sama, Bunda! Ayah kan kerja, enggak bisa jagain Jingga terus," bujuknya.
"Jingga, gak mau. Pengen ikut Ayah!" teriaknya. Dia masih merajuk, lalu turun dari pangkuanku, menggoyangkan kedua tangan ibunya memohon.
"Baiklah, Jingga jangan nakal di kantor, ya!" jawabnya pasrah. Halimah segera bergegas ke kamar, lalu dengan cepat dia kembali mengulurkan tas L.O.L kepadaku.
"Apa ini?" Dia diam, lalu pergi meninggalkanku. Argh, baiklah. Aku akan berangkat saja. Takut kesiangan. Kami berdua segera menuju mobil, Jingga terlihat senang sekali.
***
"Eh anak siapa ini?" Anto mencegah langkah kami, lalu mencubit pipi Jingga gemas.
"Anakku. Lah," jawabku ketus,
Ia berjongkok menyejajarkan diri dengan Jingga. Lalu mengajaknya bicara. Jingga menjawab semua pertanyaan nya, Anto mengacak jilbab Jingga gemas.
"Duh, calon anakku pinter banget, si. Kenalin, Nak! Ini papah. Pa-pah!" Dia mengeja kata berharap anakku akan mengikutinya. Jingga terlihat kebingungan. Benar-benar teman gak ada akhlak memang.
“Om bukan Papah!” jawab Jingga tak suka. Ia menyilangkan tangan di dadanya. Aku tersenyum penuh kemenangan dengan jawabannya. Jingga tidak mudah di provokasi orang lain.
“Sebentar lagi kan Jingga jadi anaknya, Om,”ujarnya lembut.
"Jangan dengerin, Sayang! Ayo kita ke ruangan ayah!" Aku menuntun tangannya menuju ke ruanganku. Bahaya membiarkannya lama-lama berbicara dengan Anto.
"Hore, Jingga ikut ayah!" teriaknya semringah. Sayangnya, suaranya sangat keras. Beberapa pasang mata melihat ke arah kami, lalu tersenyum ke arah Jingga.
“Halo kakak muslim! Halo kakak muslimah!” sapanya sambil melambaikan tangan.
Kadang ia refleks memanggil perempuan yang usianya di atasnya, “Kaka Muslimah”, dan lelaki yang usianya di atasnya ia sebut, “Kaka Muslim.” Aku tidak pernah mengajarkan itu, entah kata-kata itu muncul darimana sehingga Jingga menerapkannya.
“Halo adik manis…” Karyawan yang lain melambaikan tangan kepada Jingga, dan ada juga yang mencubit pipinya gemas. Pagi sekali ruangan dihebohkan dengan kehadiran Jingga yang menyapa banyak orang dengan suara gemasnya.
"Jingga Sayang, pelan-pelan ya bicaranya!" ujarku menunduk. Khawatir banyak yang terganggu olehnya.
"Emang kenapa, Yah?" tanyanya polos.
"Karena di sini kaka-kakanya sedang kerja, jadi gak boleh berisik. Coba lihat ke sana, mereka sedang bekerja, Sayang," terang ku hati-hati sambil menunjuk karyawan yang memulai bekerja.
"Iya, Ayah. Maafin Jingga, ya!" Dia menunduk. Duh, apa aku salah ngomong ya?
“Jingga enggak salah, Sayang. Jingga anak baik. Hanya saja agak dikecilkan saja suaranya,” ucapku lembut. Ia tersenyum girang.
Setelah memastikan ia baik-baik saja, aku mulai menghidupkan komputer, lalu mulai bekerja. Sesekali ku lirik Jingga yang anteng di sampingku, syukurlah. Aku bisa fokus bekerja.
Aku semakin terlarut dengan pekerjaanku, dan Jingga? Syukurlah dia masih di sampingku dan tidak menangis.
"Anak baik." Aku menoleh kepadanya, tidak... Pantesan anteng. Apa yang sedang dia gunting?
"Sayang, ayah lihat sebentar, ya!" Aku merebut bagian yang sudah tak tertolong lagi.
Jangan-jangan? Laporan untuk meeting dimana? Haduh... Segera kucari, dan naas tidak juga ketemu. Jangan-jangan yang tadi digunting adalah laporan untuk nanti sore?
Kutemukan kertas yang sedikit berukuran besar dari yang lain, mencoba membacanya cermat. Aku terduduk lemas, ternyata dugaanku benar. Jingga menggunting laporan itu.
Habislah aku dimarahi sore ini. Aku harus segera meminta tanda tangan ulang para atasan, untuk mengembalikan kekacauan yang telah Jingga perbuat.
"Ayah ..." panggilnya sambil menangis. Kulihat Jingga sedang berjongkok. Apa yang dia lakukan?
"Kenapa, Sayang?" Wajahnya begitu ketakutan, ia terus menangis.
"Ini!" Tunjuknya ke lantai yang airnya menggenang. Ceroboh sekali cleaning service di sini, bisa-bisanya ia menumpahkan air dan lupa mengepelnya.
"Ya ampun siapa yang menaruh air di situ? Kamu jadi basah ya, sayang?" Aku segera menggendongnya, kucium bau yang tak asing.
"Jingga ngompol, Ayah. Maaf." Dia menunduk. Segera ku turunkan dia dari pangkuanku. Oke, sekarang bau pesing berpindah ke pakaianku.
"Jingga, kenapa ngompol si, sayang?" Ingin ku marahi dia, namun rasanya tak tega. Tak mungkin juga aku marah-marah di kantor. Orang-orang bisa menganggap ku Ayah jahat.
“Maaf, Jingga tidak tahan lagi saat bermain tadi,” ucapnya menunduk. Aku semakin tidak tega untuk memarahinya.
Segera ku cari nomor Limah dan menelponnya. Berdering, cukup lama, dia tak mengangkat. Ku ulang lagi menelponnya.
[Kenapa, Mas?] Akhirnya ia mengangkat telpon ku.
"Jingga, ngompol di kantor, Dik," keluhku.
[Oh, kamu emang gak lihat tas dia? Kan aku bawain pempers.] Benar saja, aku melupakan sesuatu. Tas Jingga. Dan masih tertinggal di dalam mobil.
“Kenapa tadi tidak kamu pakaikan pempers di rumah si, Dik?” ujarku sedih.
“Loh, kan Mas sendiri yang membujuk dia ikut ke kantor. Aku mana tahu dia tiba-tiba ingin ikut,” kilahnya cepat. Benar juga, mungkin istriku lupa karena kami terburu-buru berangkat.
“Yaudah kalau gitu, aku ganti dulu celana dia, ya!” ucapku menyerah. Limah langsung mematikan telpon ku.
"Sayang tunggu di sini sebentar, ya! Pokoknya Jingga jangan kemana-mana. Ayah segera kembali ke sini," hibur ku. Aku berlari ke parkiran dengan cepat, khawatir Jingga berjalan-jalan ke tempat lain atau berbuat keonaran lainnya.
Beberapa orang menutup hidung ketika berpapasan denganku, aih pasti karena bau Pesing ini. Segera kuambil tasnya, lalu kembali masuk ke dalam kantor, orang-orang kembali menutup hidung, dan menatapku heran.
"Pak, gak mandi, ya? Apa abis pipis gak disiram?" Seseorang staf memberanikan diri bertanya. Aku tak mempedulikannya, samar kudengar mereka tertawa.
Baru saja aku memasuki ruanganku, Jingga sedang bermain komputer. Duh, apalagi yang dia lakukan?
"Jingga, ke kamar mandi dulu, yuk!" Baru saja aku berjalan menghampiri, kakiku tak sengaja menginjak genangan air, dan akhirnya aku terjatuh. Sempurna sekali pagiku. Tidak hanya bajuku yang bau Pesing, celanaku juga.
"Sayang, ke kamar mandi dulu, yuk!" Aku membujuknya, ia menggeleng, seperti sedang bermain seru.
Benar dugaanku, dia berulah lagi. Pekerjaan yang hampir setengah jam tadi aku garap, hilang semua, dan Jingga sedang asyik mengetik tidak jelas.
Aku menggendongnya paksa ke kamar mandi, lalu membersihkannya meski agak jijik. Untungnya Limah membawakan baju ganti untuknya. Sebelum kembali ke ruangan, aku mengambil lap pel lalu membawanya ke ruangan.
"Wan, bersihin sini, Wan!" Anto meledek. "Uhuy, turun jabatan sekarang?" Dia masih dengan ledekan nya, ingin sekali ku sumpel mulutnya.
Segera ku pel lantai yang basah, lalu kembali mengulang hal yang sama sampai 3 kali. 'Semoga najisnya hilang' batinku.
Jingga sudah ku pakaikan pempers, aman. Kubuka tasnya, ada beberapa Lego yang dibawakan Limah.
"Sayang, mainnya ini aja ya!" Aku menggendongnya, lalu mendudukkan dia di lantai.
“Iya, Ayah!” Ia mengangguk patuh.
“Jangan kemana-mana ya, Sayang! Ayah mau bersihin dulu baju ayah.” Ia hanya mengangguk. Gegas kuambil jas, lalu membawanya ke kamar mandi. Aku mengganti bajuku dengan jas, untungnya kancingnya full tidak hanya dua. Celana kubuka lalu ku bersihkan. Ku peras sekuat tenaga. Biarlah memakai celana basah, daripada orang lain tak nyaman karena bau tidak sedap ini.
Aku langsung mencari Jingga, khawatir ia membuat keonaran lainnya. Letak Jingga sekarang berada tepat di depan pandanganku, agar aku mudah memantaunya.
Aku segera mengerjakan laporan untuk nanti sore, segera menuju ruangan para pimpinan untuk meminta tanda tangan ulang.
"Maaf, Pak, saya kerjakan ulang. Karena anak saya tadi malah mengguntingnya," jelas ku panjang lebar. Semoga aku tidak kena amukan mereka.
"Kenapa Bapak bisa seceroboh ini? Saya rasa ini alasan yang tidak rasional!” hardiknya.
“Bagaimana mungkin seorang manager keuangan bisa membiarkan anaknya menggunting laporan?” imbuhnya terus marah-marah. Aku hanya menunduk tak bisa melakukan pembelaan.
“Ayah enggak salah, Om. Jangan malahan Ayah, ya!’ Jingga menampakkan diri dari balik tubuhku dia menunduk memohonkan maaf untuknya. Hatiku langsung terenyuh dengan apa yang ia lakukan.
"Siapa namanya, Sayang?" Setelah melihat Jingga, Pak Rahmat melunak. Ia membawakan dua permen gagang dan menyodorkannya ke hadapan anakku.
"Jingga, om," ucap Jingga.
“Anak baik…” Pak Rahmat mengusap kerudung Jingga.
“Om mau kan maafin ayah?” tanyanya polos. Aku ingin mencegahnya, namun sepertinya Pak Rahmat malah tertarik dengan kehadiran Jingga.
"Duh pinter nya. Ia, Om udah maafin ayahnya Jingga. Tapi jangan diulangi lagi ya, Sayang!” ujarnya lembut.
“Siap Om! Jingga tidak akan berbuat nakal lagi!” katanya sambil mengambil posisi hormat.
Pak Rahmat memandangi Jingga sambil tersenyum. “Andai saja saya punya anak, pasti lucu seperti ini," lirihnya. Sudah lima belas tahun pernikahannya, tapi ia belum juga dikarunia seorang anak.
"Semoga disegerakan mendapat keturunan ya, Pak!" Kuberi dukungan, hanya itu yang bisa kulakukan.
"Aamiin!" balasnya. Kami pamit dari ruangan beliau. Kehadiran Jingga nyatanya bisa mengakrabkan aku dengan karyawan, juga dengan pimpinan yang lain. Nyatanya anak yang tadi aku keluhkan adalah idaman mereka yang belum punya anak.
Ku tatap Jingga. Dia lucu sekali, langkahnya riang. Walau dia sudah berbuat onar, namun menurutku kesalahannya masih bisa diperbaiki. Berbeda dengan jika dia tak pernah ada di dunia, mungkin tidak hanya laporan dan ruangan yang kacau, bisa saja hatiku hampa tanpa kehadirannya.
***
Sore, selepas shalat ashar kami langsung bergegas ke ruang rapat. Jingga duduk di sampingku, 'semoga dia tidak diusir dari ruangan ini.' batinku.
Para anggota rapat sudah berkumpul, lalu pak Anshor mulai memimpin jalannya meeting.
"Silahkan Pak Ridwan, dipersentasikan mengenai keuntungan kita di bulan ini!" Beliau mempersilahkanku, aku segera berdiri dan bersiap memaparkan semuanya.
"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh," belum selesai aku menjelaskan, orang-orang menutup hidung, kucium bau yang tak sedap.
"Ayah, Jingga berak!" Dia menangis sejadi-jadinya. Haduh perkara apa lagi ini? Baru saja tadi bajuku aku cipratan air lalu ku jemur di depan kipas angin, sekarang sudah ada tragedi lagi.
"Maaf ya, Pak, Bu. Saya bersihin, Jingga dulu." Malu sekali rasanya, namun bagaimana lagi? Untungnya mereka mempersilahkan ku keluar sejenak. Aku segera membersihkan Jingga. Duh baunya benar-benar tida sedap. Aku muntah-muntah dibuatnya.
Setelah selesai, segera masuk ke ruangan meeting, dan ikut serta kembali. Untunglah mereka tidak terlalu mempermasalahkan.
Jingga… Jingga. Baru setengah hari kau sama ayah. Saat itu juga kau berulah.
***
"Assalamu'alaikum, kami pulang!" Kubuka pintu lebar-lebar, mencari keberadaan nyonya pemilik rumah.
"Waalaikumsalam, Jingga Sayang, bunda kangen!" Limah berlari memeluk jingga. Jingga juga segera merangkul ibunya, melupakan kejadian sebelumnya yang katanya kesal karena Limah tidak mengajaknya bermain.
"Kamu gak nakal kan di kantor, Nak?" Ia bertanya khawatir.
"Enggak, ko, Bunda, Jingga baik," jawabnya polos.
"Dia buat gaduh tadi. Untunglah masih bisa ku tangani," ucapku ikut menimpali.
"Berhenti menyalahkan anakku!" Limah pergi menuntun tangan Jingga. Lagi, aku selalu diabaikan.
Suasana rumah selalu hening, kehangatan yang meliputi rumah ini nyatanya sirna. Rindu, kebersamaan kami saat itu. Aku tahu aku pernah salah, namun sudah ku tanamkan dalam diri tuk berubah. Apa kesempatan itu benar-benar sudah tak ada?
Nyatanya luka yang kuberikan mungkin begitu menyakitkan untuk istriku. Aku terduduk sendiri, tak ada secangkir teh yang menyambut ku, juga tak ada pelukan dari seseorang yang dulu begitu tulus menyayangiku.