seorang wanita tangguh, yang dikenal sebagai "Quenn," pemimpin sebuah organisasi mafia besar. Setelah kehilangan orang yang sangat ia cintai akibat pengkhianatan dalam kelompoknya, Quenn bersumpah untuk membalas dendam. Dia meluncurkan serangan tanpa ampun terhadap mereka yang bertanggung jawab, berhadapan dengan dunia kejahatan yang penuh dengan pengkhianatan, konflik antar-geng, dan pertempuran sengit.
Dengan kecerdikan, kekuatan, dan keterampilan tempur yang tak tertandingi, Quenn berusaha menggulingkan musuh-musuhnya satu per satu, sambil mempertanyakan batasan moral dan loyalitas dalam hidupnya. Setiap langkahnya dipenuhi dengan intrik dan ketegangan, tetapi ia bertekad untuk membawa kehormatan dan keadilan bagi orang yang telah ia hilangkan. Namun, dalam perjalanan tersebut, Quenn harus berhadapan dengan kenyataan bahwa dunia yang ia kenal bisa berubah, dan balas dendam terkadang memiliki harga yang lebih mahal dari yang ia bayangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4: Dalam Cengkeraman Musuh
Suasana di dalam gedung semakin menegangkan, seiring dengan semakin dekatnya Quenn dengan Marco dan pria besar yang berdiri di hadapannya. Quenn dapat merasakan hawa panas yang mengalir melalui tubuhnya, bukan karena kepanikan, tetapi karena adrenalin yang memuncak. Tidak ada ruang untuk keraguan. Di depan matanya, musuh yang sudah lama ia incar berdiri dengan penuh kebencian, namun di balik itu, ada ketakutan yang samar. Marco tahu betul, malam ini adalah penentuan.
“Quenn…” Marco memulai, suaranya sedikit serak, tetapi dengan usaha keras berusaha terdengar yakin. “Kau datang terlalu jauh. Ini bukan lagi masalah antara kita. Kau terjebak dalam permainan yang lebih besar, dan kau tidak akan bisa keluar hidup-hidup.”
Quenn menatap Marco tanpa berkedip, senyum sinis muncul di bibirnya. “Jangan bicara tentang hal yang tidak kau mengerti, Marco. Semua ini berakhir malam ini.”
Namun, tidak ada lagi waktu untuk berbicara. Pria besar itu bergerak maju, langkahnya berat, dan setiap gerakannya mengirimkan getaran ke seluruh ruangan. Tubuhnya yang kekar dan tinggi menyamarkan sepasang mata yang dipenuhi kebencian. Dia adalah pelindung utama Marco, dan malam ini, dia akan menjadi penghalang terakhir bagi Quenn untuk meraih kemenangan.
Kedua belah pihak tahu, hanya satu yang bisa bertahan hidup dari pertempuran ini. Quenn menggerakkan tubuhnya, merespons gerakan pria besar itu dengan cepat. Ia menghindari tinjunya yang meluncur ke arah wajahnya, kemudian melangkah mundur untuk memberi ruang. Tetapi pria besar itu bukan hanya soal kekuatan—gerakannya cepat, dan dia melanjutkan serangannya tanpa ampun.
Dengan segenap kekuatan yang dimilikinya, pria itu mengayunkan tinjunya lagi, kali ini lebih keras, lebih cepat. Quenn menghindar lagi, namun tak cukup cepat. Tinju pria itu menyapu sisi tubuhnya, dan ia merasakan sakit yang tajam di dadanya. Namun, ia tidak jatuh. Tidak ada waktu untuk itu.
Quenn menahan napas, fokus. Ia tahu ini saat yang menentukan. Ia harus lebih cepat, lebih cerdas. Saat pria itu hendak mengayunkan pukulan ketiga, Quenn beraksi. Ia melangkah maju dengan kecepatan luar biasa, memutar tubuhnya untuk menangkis serangan itu dengan siku, lalu menyarangkan tendangan telak ke lutut pria besar tersebut. Suara retakan terdengar keras, dan pria itu terhuyung mundur, namun tidak jatuh.
“Tidak cukup kuat, Quenn,” pria besar itu mendengus, meskipun terlihat sedikit terengah-engah. Senyumnya yang penuh rasa angkuh membuat Quenn semakin bertekad. Kali ini, ia tak akan memberi ampun.
Dengan cepat, Quenn melangkah lebih dekat dan dengan gerakan brutal, menusukkan pisau ke sisi tubuh pria itu, tepat di bawah tulang rusuk. Pria besar itu mengeluarkan suara tercekik, matanya membelalak, tapi ia masih berusaha berdiri. Quenn tidak memberi kesempatan untuk melawan lagi. Dalam sekejap, ia menarik pisau itu keluar dan memutar tubuh pria itu dengan cepat, menjatuhkannya ke tanah dengan satu pukulan keras di bagian tengkuk.
“Gugur,” Quenn mengucapkan kata itu dengan dingin, matanya menatap pria yang kini terkapar tak berdaya.
Namun, kemenangan kecil itu tidak bertahan lama. Saat Quenn berbalik untuk menghadapi Marco, ia merasakan sesuatu yang tidak beres. Suara langkah kaki yang tiba-tiba menghentikan gerakannya. Pintu darurat terbuka dengan keras, dan dari sana, sebuah kelompok pria berseragam hitam muncul—bergerak cepat, senjata mereka terarah lurus ke Quenn dan anak buahnya yang sedang siap tempur. Serangan mendadak ini seperti sebuah jebakan yang telah disiapkan dengan cermat.
“Bertahan!” teriak Erik, tangan kanannya yang tangguh. Semua anggota geng Quenn mengeluarkan senjata mereka, namun mereka tidak bisa menghindari kenyataan—musuh kali ini lebih banyak, lebih terorganisir.
Marco mundur ke belakang, berlindung di balik meja besar. Matanya berbinar, penuh rasa takut yang ia coba sembunyikan. “Ini lebih dari yang kau kira, Quenn. Jika kau ingin bertahan hidup, kau harus lebih pintar dari itu.”
Quenn menatap Marco dengan tatapan kosong. “Sudah cukup, Marco. Aku sudah lelah mendengar omong kosongmu.” Ia menoleh kepada pasukannya, memberi isyarat. “Serang!”
Ledakan tembakan membelah kesunyian. Quenn bergerak cepat, tubuhnya berkelit di balik tembok besar yang menghalangi tembakan musuh. Mereka bertempur dengan brutal, saling beradu senjata, berusaha mendapatkan posisi yang lebih baik. Rina, meski berada di belakang, mengendalikan komunikasi dengan cermat, memberikan arahan kepada seluruh tim untuk berkoordinasi.
Tapi semakin lama, Quenn semakin sadar. Mereka tidak hanya berhadapan dengan Marco dan anak buahnya. Ada lebih banyak yang terlibat di balik layar. Ada seseorang yang sangat kuat yang mengatur semua ini—seseorang yang menginginkan kematiannya.
“Erik!” seru Quenn dengan suara penuh perintah, sementara di depan matanya, satu persatu anggota geng Marco tumbang. “Periksa pintu belakang! Jangan biarkan mereka mengunci kita di sini!”
Erik mengangguk tanpa berkata apa-apa, dan bergerak cepat menuju pintu darurat. Quenn tahu, jika mereka tidak segera keluar dari situasi ini, mereka akan terperangkap di sini selamanya. Suara tembakan terus berdengung, beberapa di antaranya meleset, beberapa lainnya menghantam dinding beton dengan dentuman keras.
Tiba-tiba, suara ledakan keras mengguncang ruangan, diikuti dengan suara kaca pecah yang berserakan. Sebuah ledakan besar datang dari salah satu ruangan samping, dan ketika debu dari ledakan itu mulai menghilang, Quenn melihat sosok yang dikenal—pria besar yang ia hadapi tadi sudah bangkit kembali, meskipun tampak lebih terluka. Di tangannya, ia memegang senjata api otomatis.
"Jangan kira kau akan menang, Quenn," pria besar itu mengancam, langkahnya berat, matanya penuh kebencian. “Kau hanya melawan bayangan. Aku adalah bayangan itu, dan aku tidak akan membiarkanmu hidup.”
Quenn melangkah maju, matanya penuh tekad. “Kau sudah membuat kesalahan besar, dan aku tidak akan membiarkanmu lolos. Kau akan mati di sini, sama seperti Marco.”
Dengan gerakan cepat dan gesit, Quenn bergerak menyerang. Kali ini, serangan yang dilancarkan tidak memberi kesempatan. Sebuah pukulan telak mengenai tangan pria besar itu, membuatnya kehilangan kendali atas senjata yang dibawanya. Quenn menyambar senjata tersebut, mengarahkan laras ke dada pria itu.
“Kau sudah kalah,” Quenn berkata dengan suara dingin. “Kau tahu itu.”
Namun, di saat yang sama, Marco melangkah keluar dari balik meja, dengan senyum yang tidak lagi terlihat sombong. “Ini belum berakhir, Quenn. Kau hanya menghancurkan tubuh, tapi tidak akar dari semua ini.”
Quenn menatap Marco, mengetahui ada sesuatu yang lebih besar yang sedang terjadi. Musuh mereka lebih kuat dari yang bisa ia bayangkan, dan kali ini, pertarungan ini akan membawa mereka jauh lebih dalam ke dalam dunia kegelapan. Apa pun yang terjadi malam ini, Quenn tahu satu hal: tidak ada jalan keluar selain berjuang sampai titik darah penghabisan.
Dan pertempuran ini, baru saja dimulai.