Roseane Park, seorang mahasiswi semester akhir yang ceria dan ambisius, mendapatkan kesempatan emas untuk magang di perusahaan besar bernama Wang Corp. Meskipun gugup, ia merasa ini adalah langkah besar menuju impian kariernya. Namun, dunianya berubah saat bertemu dengan bos muda perusahaan, Dylan Wang.
Dylan, CEO tampan dan jenius berusia 29 tahun, dikenal dingin dan angkuh. Ia punya reputasi tak pernah memuji siapa pun dan sering membuat karyawannya gemetar hanya dengan tatapan tajamnya. Di awal masa magangnya, Rose langsung merasakan tekanan bekerja di bawah Dylan. Setiap kesalahan kecilnya selalu mendapat komentar pedas dari sang bos.
Namun, seiring waktu, Rose mulai menyadari sisi lain dari Dylan. Di balik sikap dinginnya, ia adalah seseorang yang pernah terluka dalam hidupnya. Sementara itu, Dylan mulai tergugah oleh kehangatan dan semangat Rose yang perlahan menembus tembok yang ia bangun di sekelilingnya.
Saat proyek besar perusahaan membawa mereka bekerja lebih dekat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fika Queen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 10
Hari itu, jam makan siang hampir usai, tetapi Rose masih sibuk di meja kerjanya. Berkas-berkas menumpuk di depan layar komputernya, dan ia belum sempat beranjak untuk mencari makan. Wajahnya sedikit kusut karena lelah, tetapi ia terus bekerja, berharap bisa menyelesaikan tugas sebelum sore.
Dylan, yang kebetulan melewati meja Rose, memperhatikan keadaan itu. Ia melihat bagaimana Rose terlihat kelelahan, dan merasa sedikit bersalah karena mungkin terlalu banyak beban kerja yang diberikan padanya hari ini. Setelah berpikir sejenak, Dylan memutuskan untuk melakukan sesuatu yang jarang—bahkan hampir tidak pernah—ia lakukan.
Ia kembali ke ruangannya dan memanggil asisten pribadinya. “Pesankan makan siang untuk dua orang. Kirimkan ke ruanganku, dan pastikan makanannya tidak terlalu berat. Sesuatu yang sederhana.”
Beberapa menit kemudian, Rose dikejutkan oleh telepon dari ruang Dylan. “Rose, bisa ke ruangan saya sebentar?”
Jantungnya berdegup sedikit lebih cepat dari biasanya. Ini bukan pertama kalinya Dylan memanggilnya, tetapi nada suaranya terdengar lebih santai, tidak seperti biasanya. Ia pun segera menuju ruangan itu.
Ketika pintu terbuka, Rose melihat meja Dylan yang biasanya penuh dengan dokumen kini memiliki dua kotak makan siang yang tertata rapi. Dylan duduk di kursinya, menatapnya dengan santai.
“Pak Dylan?” Rose bertanya dengan nada bingung. “Ada yang perlu saya bantu?”
Dylan menunjuk ke kursi di depannya. “Duduklah. Saya melihat kamu belum makan siang. Dengan semua pekerjaan yang kau selesaikan hari ini, kau butuh energi.”
Rose tertegun, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Dylan—bos yang dikenal dingin dan angkuh—memesan makan siang untuknya? Dan mengajaknya makan bersama? Ini seperti cerita dari dimensi lain.
“Pak, saya tidak bisa—”
“Rose,” potong Dylan, nadanya tegas tetapi tidak keras. “Ini bukan permintaan. Anggap saja ini bagian dari tugasmu hari ini. Duduk dan makan.”
Rose akhirnya menurut, meskipun ia merasa sedikit canggung. Ia membuka kotak makan siang itu, menemukan seporsi salad ayam dan roti lapis yang terlihat segar. Aroma makanannya mengingatkannya bahwa ia memang sangat lapar.
Dylan mulai makan dengan tenang, sementara Rose mencuri pandang sesekali, masih tidak percaya dengan situasinya. Beberapa menit berlalu dalam keheningan sebelum Dylan berbicara.
“Kau sudah berapa lama magang di sini, Rose?”
Rose tersentak, tidak menyangka Dylan akan membuka pembicaraan. “Sudah hampir tiga bulan, Pak.”
Dylan mengangguk kecil. “Dan kau merasa bagaimana?”
Rose berpikir sejenak sebelum menjawab. “Awalnya menantang, Pak. Tetapi saya merasa banyak belajar. Terutama dari cara Bapak memimpin.”
Dylan mendongak, menatapnya dengan ekspresi penuh selidik. “Apa itu pujian, atau kritik terselubung?”
Rose terkejut, tetapi kemudian tersenyum kecil. “Pujian, Pak. Meski… mungkin sedikit kritik juga. Bapak terkadang terlalu tegas.”
Dylan mengangkat alis, tampak terhibur oleh jawaban jujurnya. “Tegas itu perlu. Tapi aku paham. Mungkin aku memang harus lebih sering memerhatikan orang-orang di sekitarku.”
Rose hanya mengangguk, tidak yakin harus menanggapi bagaimana. Ia melanjutkan makannya, sementara Dylan terdiam sejenak sebelum melanjutkan.
“Rose, aku tahu beberapa hari terakhir ini tidak mudah untukmu. Soal data perusahaan yang bocor, dan bagaimana kau dituduh terlibat,” ujar Dylan dengan nada serius. “Aku ingin kau tahu, aku percaya padamu. Dan aku sedang berusaha menyelesaikan masalah ini.”
Rose menghentikan gerakan tangannya. Kata-kata Dylan terasa seperti angin segar di tengah kekhawatirannya. “Terima kasih, Pak. Itu berarti banyak untuk saya.”
Dylan hanya mengangguk, lalu kembali fokus pada makanannya.
Ketika makan siang selesai, Rose merasa jauh lebih tenang dan dihargai, meski rasa herannya terhadap sikap Dylan yang tiba-tiba hangat tetap ada. Saat ia kembali ke mejanya, ia menyadari bahwa mungkin, bosnya yang dingin dan angkuh itu tidak seburuk yang ia pikirkan selama ini.
***
Dylan menghabiskan malam itu dengan gelisah. Bayangan Junho yang semakin intens mendekati Rose membuat pikirannya tidak tenang. Ia tahu Junho adalah tipe orang yang tidak akan berhenti sampai mendapatkan apa yang diinginkannya, meskipun itu berarti merusak hidup Rose. Dylan merasa bertanggung jawab, tidak hanya sebagai atasannya, tetapi juga sebagai seseorang yang semakin peduli pada Rose.
Duduk di ruangannya, Dylan menatap layar laptop tanpa benar-benar fokus pada dokumen di depannya. Pikirannya terus melayang pada satu hal, bagaimana caranya melindungi Rose? Junho bukan sekadar ancaman kecil, ia adalah seseorang yang mampu memanipulasi situasi untuk keuntungannya sendiri. Dylan tidak bisa membiarkan Rose kembali terjebak dalam hubungan toxic itu.
Keesokan paginya, Dylan berdiri di depan kaca besar di kantornya, memikirkan rencana yang terlintas di benaknya. Ide gila, pikirnya. Tetapi itu mungkin satu-satunya cara untuk memastikan Rose aman dari pengaruh Junho, terutama setelah masa magangnya selesai. Dylan mengambil napas panjang, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
Ia memanggil Rose ke ruangannya. Saat Rose masuk, ia terlihat bingung, mungkin karena ekspresi Dylan yang lebih serius dari biasanya.
"Pak Dylan, ada yang perlu saya lakukan?" tanya Rose sambil berdiri ragu di depan meja Dylan.
Dylan menatapnya, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Rose, duduklah. Aku ingin membicarakan sesuatu yang penting.”
Rose menurut, meskipun rasa gugupnya jelas terlihat. “Ada apa, Pak?” tanyanya hati-hati.
Dylan menghela napas, menatap langsung ke matanya. “Rose, aku tahu ini akan terdengar tidak biasa. Tapi aku butuh kau mendengarkan dengan serius.”
Rose mengerutkan kening, tetapi ia tetap diam, menunggu Dylan melanjutkan.
“Aku ingin melindungimu dari Junho,” Dylan akhirnya berkata, nadanya tegas. “Dan satu-satunya cara untuk memastikan itu adalah dengan mengikatmu secara resmi… sebagai istriku.”
Rose terdiam, matanya membesar. Kata-kata Dylan bergema di telinganya, tetapi ia merasa seolah salah dengar. “Maaf, Pak? Apa maksud Anda menikah?”
Dylan mengangguk, ekspresinya serius. “Aku tahu ini terdengar tiba-tiba, bahkan gila. Tapi aku tidak bisa membiarkan Junho terus mengganggumu. Setelah masa magangmu selesai, kau tidak akan punya alasan untuk tetap di sini. Dan itu berarti aku tidak akan bisa selalu ada untuk melindungimu.”
Rose menelan ludah, pikirannya bercampur aduk. “Pak Dylan, saya tidak tahu harus berkata apa… Ini terlalu mendadak.”
“Aku tahu,” Dylan memotong dengan lembut. “Dan aku tidak memintamu untuk memberikan jawaban sekarang. Tapi aku ingin kau tahu bahwa aku serius. Aku ingin menjagamu, Rose. Bukan hanya sebagai atasanku, tapi sebagai seseorang yang benar-benar peduli padamu.”
Rose menatap Dylan, tidak yakin bagaimana harus merespons. Ia tidak bisa mengabaikan ketulusan di mata Dylan, tetapi pada saat yang sama, ia merasa bingung dengan situasi ini. “Saya… saya butuh waktu untuk memikirkannya, Pak.”
Dylan mengangguk, meskipun ada kekhawatiran di matanya. “Ambil waktu yang kau butuhkan. Tapi pikirkan ini baik-baik, Rose. Aku tidak akan memaksamu, tetapi aku akan selalu ada untuk melindungimu.”
Setelah Rose keluar dari ruangannya, Dylan duduk kembali di kursinya, mencoba menenangkan diri. Ia tahu bahwa keputusannya ini mungkin akan dianggap gegabah, tetapi ia tidak peduli. Jika itu yang diperlukan untuk menjauhkan Rose dari Junho, ia bersedia melakukannya.
Di sisi lain, Rose berjalan kembali ke mejanya, pikirannya kacau. Ia tidak pernah membayangkan Dylan, bos yang dingin dan angkuh itu, akan mengajukan sesuatu yang begitu… personal. Tetapi ada sesuatu dalam cara Dylan berbicara yang membuat hatinya bergetar. Ada ketulusan yang sulit ia abaikan.
Namun, satu hal yang pasti, Junho tidak akan tinggal diam jika mendengar kabar ini. Dan bagi Rose, keputusan yang ia ambil selanjutnya akan menentukan jalan hidupnya.