Jo Wira, pemuda yang dikenal karena perburuan darahnya terhadap mereka yang bertanggung jawab atas kematian orang tuanya, kini hidup terisolasi di hutan ini, jauh dari dunia yang mengenalnya sebagai buronan internasional. Namun, kedamaian yang ia cari di tempat terpencil ini mulai goyah ketika ancaman baru datang dari kegelapan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon orpmy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Semaraksa
Hutan gunung Semaraksa, namanya terdengar seperti pelindung kedamaian, namun di dalamnya terhampar neraka yang hidup. Hutan ini bukan hanya sekedar hutan lindung biasa, ia adalah sebuah contoh berapa mengerikannya alam liar yang sebenarnya.
Bayangkan sebuah kanopi raksasa, dedaunan yang menutup langit, membuat siang terasa seperti senja. Tapi jangan tertipu, karena kegelapan itu bukan pelukan hangat, melainkan jebakan yang mematikan.
Di balik setiap batang pohon tua yang menjulang, ada binatang buas yang matanya bersinar dalam gelap. Macan gunung dengan cakar sebesar pisau. Ular berbisa yang menggantung diam, menunggu mangsanya lewat. Dan jangan lupakan serangga yang ukurannya tidak masuk akal, satu gigitan cukup untuk mengirimkan racun ke aliran darahmu, membuat detik terakhir terasa seperti siksaan abadi.
Namun, bukan hanya binatang yang mengancam di Semaraksa. Tanahnya beracun akibat aktifitas vulkanik. Akar-akar tumbuhan yang tampak indah menyembunyikan perangkap mematikan. Ada bunga yang warnanya merah menyala seperti darah segar mewah, memikat, tapi satu hirupan baunya cukup untuk membuatmu pingsan, dan itu baru awal penderitaan.
Mereka yang masuk ke dalam hutan ini dengan harapan membawa pulang cerita petualangan yang menyenangkan, jarang sekali berhasil keluar dengan selamat. Mereka berbicara tentang suara-suara aneh, bisikan yang tak berwujud, sesuatu yang selalu mengintai namun tak pernah terlihat. ‘Hutan adalah neraka,’ kata mereka yang beruntung.
Namun, terlepas dari bahaya itu, Semaraksa tetap memanggil para penantang. Kenapa? Karena legenda mengatakan, jauh di dalam kegelapan hutan, ada sebuah reruntuhan kuno yang menyimpan harta karun tak ternilai harganya, dan kitab kuno yang di dalamnya terdapat rahasia besar kejayaan masa lampau.
Tidak ada yang tahu secara pasti akan legenda itu merupakan kebenaran atau hanya karangan, namun satu hal yang pasti, hutan ini tak pernah benar-benar membiarkanmu pergi. Jika tubuhmu bisa keluar, jiwamu mungkin tertinggal di sana, tersesat di antara akar-akar tua yang seperti tangan pencabut nyawa.
***
Basecamp 17, sebuah pos yang terletak jauh di jantung Hutan Semaraksa, kini berdiri sunyi dan terbengkalai. Tempat ini pernah menjadi pos penjagaan terjauh di wilayah berbahaya itu, namun tiga tahun yang lalu, penjaga terakhirnya dilaporkan menghilang tanpa jejak.
Kini, pondok kayu yang kusam dan rapuh itu hanya menjadi saksi bisu yang terlupakan oleh waktu.
Atau setidaknya, begitulah yang terlihat di kulit luarnya.
Pagi itu, keheningan Basecamp 17 pecah. Pintu pondok yang terlihat nyaris hancur perlahan bergeser dengan bunyi berderit. Dari dalamnya, seorang pemuda keluar, tubuhnya disinari lembut oleh matahari pagi yang menerobos kanopi hutan. Lingkaran hitam di bawah matanya dan wajahnya terlihat lelah, mengisyaratkan jika dia kekurangan tidur.
Pemuda itu meregangkan tubuhnya, tulang-tulangnya berbunyi ringan saat ia bergerak. "Ugh... tubuhku terasa remuk. Harusnya aku benar-benar mengurangi waktu bermain game. Berapa bodohnya aku, memilih mengabaikan kesehatan hanya untuk mengejar event permainan online." gumamnya penuh penyesalan.
Jo Wira mengusap wajahnya, mencoba menghilangkan rasa kantuk yang masih menghinggapi. Tubuhnya masih terasa lemas, seakan setiap ototnya menjerit minta istirahat setelah semalaman terjaga.
Di balik lingkaran hitam di matanya, ada penyesalan yang mengendap, penyesalan atas waktu yang terbuang sia-sia saat dia terlalu tenggelam dalam dunia permainan.
Biasanya, Wira bangun lebih awal, bermain dengan anjing kesayangannya, merawat kuda, lalu menikmati sarapan sambil meresapi ketenangan pagi. Namun hari ini, rutinitasnya terganggu oleh sesuatu yang dia anggap sangat bodoh.
Pagi itu, tubuhnya terasa remuk, seolah setiap ototnya memprotes kebiasaannya semalaman bermain game. Wira menghela napas panjang, berusaha mengusir rasa bersalah yang terus menghantuinya.
Tiba-tiba, suara gonggongan keras menyentak keheningan pagi. Seekor anjing berlari mendekat, melompat-lompat dengan semangat yang kontras dengan suasana hati Wira, seolah mengingatkan tuannya yang terlalu sibuk. Wira tersenyum kecil, meskipun matanya masih dipenuhi penyesalan.
“Kintaaaaaa!” serunya sambil menunduk, matanya berkaca-kaca. “Maafkan aku, Kinta... aku terlalu asyik dengan game sampai mengabaikan waktu bermain bersamamu,” ujarnya pelan, memeluk anjingnya erat-erat.
Setelah mengusap wajahnya dan mengusir sedikit rasa malu, Wira berjalan menuju gudang di belakang pondok yang kini sudah diubah menjadi kandang kuda. Begitu pintu terbuka, seekor kuda berbulu coklat kehitaman berdiri tegak, matanya menatap tajam ke arah Wira, seolah tahu ada yang salah.
"Sumba... Maafkan aku," kata Wira dengan suara yang lebih lembut. "Pasti kamu kelaparan, ya? Maaf, aku terlambat mengeluarkanmu tadi."
Sumba hanya menatapnya dengan tatapan yang sulit dimengerti, sementara Kinta yang masih mendekat, tampak menyaksikan kebingungannya. Wira hanya bisa tersenyum canggung, lalu membukakan pintu kandang untuk Sumba.
Setelah kedua hewan itu dikeluarkan, Wira membiarkan Sumba merumput di halaman luas, sementara dirinya menyiapkan sarapan. Ketika makanan sederhana sudah siap, ia duduk di teras pondok, menikmati sarapannya bersama Kinta.
Udara pagi di hutan Semaraksa terasa segar, membawa aroma khas dedaunan basah dan tanah yang baru terkena embun. Namun, di kejauhan, terdengar raungan samar, suara yang menjadi pengingat bahwa bahaya selalu mengintai di tempat ini.
Bagi Wira, suara-suara itu bukan lagi sesuatu yang mencemaskan. Ia telah terbiasa dengan keheningan yang diselingi kengerian, dan memilih mengabaikan ancaman yang tampak jauh. Baginya, pagi ini adalah tentang menikmati momen singkat di mana ketenangan terasa nyata.
Meski banyak yang menyebut hutan Semaraksa sebagai tempat yang menyeramkan, bagi Wira, ada kedamaian yang tak tergantikan di sini—kedamaian yang hanya bisa ditemukan di tempat sejauh ini dari hiruk-pikuk dunia luar.
Namun, ketenangan yang sedang Wira nikmati sedikit terusik ketika telinganya menangkap suara tak biasa. Kepakan sayap yang kacau. Ia mendongak, melihat kawanan burung terbang berhamburan dari dalam hutan, seolah melarikan diri dari sesuatu. Wira mengernyit, matanya menyipit mencoba mencari penyebabnya.
Kinta dan Sumba yang sedang sarapan juga ikut terdiam, mereka juga merasakan sesuatu yang tidak biasa di dalam hutan. "Hmm, ada apa lagi kali ini?" gumamnya, sedikit waspada, tapi tidak cukup khawatir untuk bergerak.
Jauh di dalam hutan, sesuatu memang sedang terjadi. Tanah yang gelap dan lembap mendadak berguncang pelan. Seekor gagak hinggap di atas ranting, matanya menatap tajam ke bawah sebelum terbang dengan pekikan nyaring.
Di bawahnya, sebuah tangan yang membusuk keluar dari tanah, diikuti oleh tubuh yang bergerak kaku. Bukan hanya satu, beberapa tubuh lainnya, yang sebelumnya tergeletak diam, mulai bangkit perlahan. Wajah mereka pucat dengan mata kosong yang memancarkan kehampaan.
Mayat-mayat itu, tanpa suara, tanpa tanda-tanda kehidupan, kini berdiri di antara pepohonan, menatap kosong ke arah luar hutan. Seolah mereka hanya menunggu perintah... atau mungkin, menunggu korbannya.
Ketenangan Semaraksa mulai retak, diawali dengan munculnya sesuatu yang diluar akal sehat.
mohon berikan dukungannya